Rena menggeliang tak nyaman di tempat tidur, merasakan sinar matahari terlalu menyilaukan mengusik kantuknya. Ia paham hal ini akan lazim terjadi karena letak kasur tempatnya berbaring saat ini hanya berjarak lima atau enam langkah dari jendela lebar menghadap ke arah timur matahari. Tentu saja jika ia terlelap terlalu lama hingga cahaya pagi makin tinggi menapaki langit---Astaga!
Seperti ditarik langsung dari ambang kesadaran, Rena sontak membelalak lebar ketika keadaan ruangan di sekelilingnya berubah drastis dari apa yang sempat tertanam diingatannya semalam.
Otak gadis itu langsung mereka ulang tiap kejadian yang menari-nari di kepala, tentang bagaimana ia yang terbangun di penghujung malam atau mungkin lebih tepatnya disebut dinihari, berniat memanggil kembali rasa kantuk dengan secangkir teh hangat, lalu niat itu harus terurungkan karena mendapati keberadaan Andreas yang terbaring demam di sofa ruang santai. Hingga berujung pada perdebatan sengit yang terjadi di antara keduanya, serta sikap keras kepala Rena dalam memaksa merawat lelaki itu karena kondisi demam tinggi yang ia rasakan.
"Karena aku budak korporat yang sangat pengertian pada atasan, jadi aku izinin kamu istirahat dua puluh menit lagi. Ingat hanya dua puluh menit." Rena mencemooh dirinya sendiri, tatkala ingatan perkataannya pada Andreas beberapa jam lalu menggulir masuk.
Ia tak menyangka bahwa ucapannya itu hanya akan berujung omong kosong, karena alih-alih membangunkan Andreas setelah istirahat 20 menit yang dijanjikan, dengan bodohnya ia sendiri justru ikut-ikutan jatuh tertidur. Dan lebih parahnya lagi terlelap dalam dekapan sosok itu.
Rena merinding ngeri ketika mengingat bayangan bagaimana tubuhnya langsung menegang seketika, saat Andreas mendekapnya secara tiba-tiba. Ia yang tidak pernah menduga akan mendapatkan perlakuan serupa dari lawan jenis, mendadak berubah sekaku papan ketika tangan Andreas secara leluasa melingkari tubuhnya dan mendaratkan kepala di bahunya, menjadikan bagian itu sebagai sandaran menjemput lelap.
Rena yang awalnya berusaha melepaskan diri secara perlahan usai mendapati napas berubah teratur lelaki itu, kembali dibuat tak berdaya karena meski dalam keadaan pulas pun tangan Andreas seolah punya kehendaknya sendiri. Menahan Rena dalam posisi canggung tersebut cukup lama sampai ia lelah memberontak, dan lebih buruknya lagi ikut terbawa kantuk hingga berakhir tertidur.
Mengenyahkan bayangan memalukan dari pelukan yang terjadi, Rena menyibak selimut yang membuatnya sedikit kepanasan. Mengingat di luar sana matahari bersinar terlampau tinggi untuk ukuran pagi hari. Kecuali memang waktu ia terbangun sekarang sudah tak mungkin lagi terbilang pagi. Bergegas turun, Rena memakai sendal ruangan yang terletak persis di bawah ranjang.
Meskipun kepalanya terus diajak bermain asumsi tentang bagaimana dirinya bisa berakhir terjaga di kamar ini, padahal jelas-jelas ia ingat dengan baik bahwa seharusnya masih berada di sofa ruang santai persis seperti keadaan semalam. Namun begitu tahu jam sudah terlalu jauh bergulir, Rena mengabaikan pertanyaan-pertanyaan di benaknya itu, karena ada fokus lain sekarang lebih penting menarik atensinya.
Dengan setengah tergesa berjalan keluar kamar, ia melangkah menuju bagian kamar lain dari lantai itu. Berhenti di depan pintu tertutup berbahan jati yang sempat ia lewati tadi malam. Rena tampak menimbang ragu sebentar, sebelum akhirnya dengan satu tarikan napas panjang memutuskan mengayunkan tangan untuk mengetuk pintu di depannya.
Satu ketukan, dua ketukan, tiga ketukan, hingga berapa kali punggung tangannya bergerak bahkan berubah setengah menggedor, tetap saja tak ada jawaban apapun yang Rena dapatkan di sana. Lalu saat jemarinya berpindah menyentuh gagang pintu, yang rupanya memang tidak terkunci, suasana kosong dan ranjang tertata rapi seolah tak pernah tersentuh sang pemilik, merupakan satu-satunya pemandangan tersaji menyambut Rena.
Sama halnya begitu kaki Rena menyambangi ruang santai, mendapati tak ada lagi laptop menyala, tumpukan berkas, ataupun baki yang ia bawa semalam pada meja yang sudah tampak kosong, menandakan bahwa lelaki itu rupanya sudah tak terlihat lagi keberadaannya di lantai dua atau bahkan mungkin villa ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
Романтика[On going] Andreas Pramoedya tak pernah membiarkan siapapun mengusik ranah pribadinya. Sikap dingin dan tertutup pria itu makin tak tersentuh saat Namira istrinya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan tragis. Kematian Namira yang penuh tragedi, s...