Rena merasa udara seolah ditarik menjauh paksa dari jangkauannya. Ia berdiri mematung dengan kedua tangan terkulai di sisi tubuh. Refleks pelukan yang diberikan Andreas, membuat akal sehatnya melayang dalam beberapa detik saja. Sehingga respon yang ia berikan hanya bergeming kaku bak manekin bernyawa.
Terlebih ketika merasakan embusan napas hangat pria itu membelai setengah tengkuknya. Disertai dekapan lengan yang bertambah kian erat, menjadikan Rena kehilangan kemampuan berbicaranya untuk sesaat.
"Mari buat kesepakatan, Serena," tutur Andreas di balik punggungnya. "Jadi teman tidur saya."
"APA?" Rena yang baru saja disentil kewarasan setelah nyaris membisu oleh keterkejutan pelukan tak terduga Andreas, memekik seraya mendorong kuat tubuh jangkung itu menjauh darinya. Beruntung, di saat bersamaan Andreas tak menolak saat dipaksa mengurai kedekatan nyaris tak berjarak di antara mereka.
"Jangan bercanda!" Rena melangkah mundur dengan sikap defensif. Kewarasannya sungguh telah kembali ke tempat semula.
"Apa saya kelihatan sedang bercanda?" Sekalipun raut wajahnya terlihat sayu sarat kelelahan, Rena tak bisa menampik setiap ketegasan terpancar dari sorot mata itu. "Saya benar-benar serius saat meminta kamu menjadi teman tidur saya."
Rena mendesis tajam. "Kamu gila..."
"Ya. Kalau begitu mari buat kesepakatan dengan orang gila ini." Andreas melangkah maju. Merapatkan sedikit jarak yang Rena cipta.
"Jangan macam-macam," peringat Rena sembari berusaha bergerak mundur.
"Saya bahkan hanya minta satu macam." Andreas mengabaikan pelototan penuh emosi itu. Tanpa ragu ia terus melangkah mendekat. "Jadi mari kita buat semuanya sedikit lebih mudah."
"Saya bukan pelacur yang bisa kamu tawar seenak jidat!" Rena tanpa sadar membentak dengan napas tersengal. Pelupuk matanya terasa memanas oleh amarah dan perasaan terhina yang menyongsong masuk. Ia betul-betul menyesal sempat terbawa perasaan empati pada sosok itu beberapa saat lalu.
Andreas yang mendengar hentakan kemarahan tersebut, serta merta menghentikan langkah. Gambaran kebingungan terpatri jelas di wajahnya.
"Siapa yang menganggap kamu pelacur?" desis Andreas. Ia tampak terganggu oleh kalimat yang Rena kuarkan.
"Kamu!" sergah Rena masih dengan emosi berapi-api. "Menawari saya jadi teman tidur kamu dengan uang, memangnya apa sebutan yang lebih pantas dari itu?"
Andreas terdiam. Lelaki itu menunjukkan ekspresi tanya teramat kentara. Kepalanya sibuk merangkai apa yang sebenarnya menjadi titik pemicu ledakan emosi perempuan di depannya ini. Dan setelah menemukan benang merah serta mengetahui makna dari ucapan yang dimaksud, sunggingan di ujung bibirnya pun tak dapat terhindarkan.
"Yang saya maksud sebagai tawaran teman tidur itu memang dalam artian benar-benar teman tidur." Andreas menjelaskan tanpa meluruhkan sunggingan tipis terbentuk di bibirnya. "Sama sekali tidak ada hubungannya dengan istilah pelacur yang kamu sebutkan."
Rena mengerjap dengan mulut nyaris menganga. "Ma-maksud kamu?"
"Tidur bersama kamu di sofa waktu malam demam itu, adalah istirahat singkat paling melegakan untuk saya setelah mimpi buruk yang datang," ucap Andreas kembali. "Saya rela membayar berapapun agar bisa mendapatkan ketenangan tidur yang sama, tanpa ada gangguan alam bawah sadar manapun. Meski hanya satu jam saja."
"Ja-jadi yang kamu maksud tidur itu memang hanya sekedar tidur?" tanya Rena. Lebih tepatnya tanya untuk meyakinkan diri sendiri.
Andreas mengangkat sebelah alis. "Memangnya apa yang kamu bayangkan selain itu?"

KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
Любовные романы[On going] Andreas Pramoedya tak pernah membiarkan siapapun mengusik ranah pribadinya. Sikap dingin dan tertutup pria itu makin tak tersentuh saat Namira istrinya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan tragis. Kematian Namira yang penuh tragedi, s...