Bab 23. Awal dari Pelarian

316 33 0
                                    

Dari jok depan, mata Rena menelusuri bangunan dua tingkat berwarna krem, dengan dominasi batu alam pada dinding-dinding pilar penyangga beranda yang tersaji di hadapannya. Gaya bangunan semi Belanda berunsur tropis karena banyak tanaman dedaunan hias atau tanaman berbunga terawat menjajari bagian depan dan teras villa, sedikit membuat Rena bisa bernapas lega karena artinya tempat tinggal ini masih terlihat manusiawi untuk ditinggali. Serta asumsi buruknya tentang adegan pembunuhan berencana langsung terpatahkan begitu saja. 

Lagipula mana ada pembunuh berdarah dingin yang doyan memelihara anggrek ataupun bonsai? Apalagi itu, beberapa koleksi tumbuhan monstera dan aglonemanya yang seharga kavling tanah sedang berbaris rapi di teras masuk, sontak membuat jiwa kriminal Rena ikut meronta-ronta ingin segera dibebaskan. Jika mencuri sudah dihalalkan, ia mungkin dapat memanfaatkan beberapa pot tanaman monstera itu untuk dijual menggantikan biaya cuci darah ibunya selama beberapa bulan.

Awalnya Rena sudah berburuk sangka usai Andreas membawa mobilnya memasuki halaman di belakang gerbang besi tadi yang ternyata teramat luas. Mereka mungkin perlu melewati kurang lebih 500 meter perjalanan lagi dengan mobil demi mencapai bangunan solo yang berdiri sendiri di tengah himpitan pepohonan berbuah dan pepohonan rindang lainnya. Cahaya benderang dari lampu bangunan, menjadikan villa itu terlihat mencolok di tengah-tengah temaram malam.

Syukurlah, semua pikiran negatif tersebut langsung sirna ketika villa dua lantai itu mulai tertangkap netra Rena begitu mobil yang dikemudikan Andreas sudah berjarak lebih dekat dengan tempat tujuan. Meskipun terlihat agak retro karena desain klasik mendominasi setiap pahatan konstruksinya, tapi Rena bisa berdecak kagum dengan semua kesan nyaman dan asri yang menaunginya sekalipun di malam hari.

Bunyi pintu mobil terbuka, mengalihkan perhatian Rena dari rasa kagum suasana villa ke gerakan Andreas yang sudah beringsut keluar dari dalam sana. Mau tak mau, ia pun bergegas turun menyusul langkah kaki Andreas dari belakang. Saking terburu-burunya keluar, ia tanpa sengaja menabrak punggung tegap pria itu dan spontan merintih pelan karena jidat jenongnya berhasil menyundul tubuh menjulang Andreas yang secara tiba-tiba menghentikan langkah. 

"A-apa? Ada apa?" Rena berujar panik saat mendapati Andreas hanya terdiam mematung di tempat, memandangi undakan tangga pendek yang mengarah ke beranda villa tanpa bergerak. Tatapan lelaki itu terlihat menyorot kosong jalan masuk bangunan di depannya, seolah ada banyak pertentangan pikiran memenuhi isi kepalanya. Sehingga menyebabkan Rena jadi was-was sendiri kalau direkturnya ini mungkin saja sudah kesambet dedemit penunggu pohon Asam Jawa yang sempat mereka lewati tadi.

"Pak Andreas? Pak!" panggil Rena sekeras mungkin. "Ini kapan kita masuknya?"

Mengerjap pelan, Andreas seperti baru tersadar dari lamunan panjang usai mendengar panggilan nyaring tersebut. Ia pun berdeham sekilas, kemudian kembali meneruskan langkah menaiki kumpulan anak tangga. Mengabaikan Rena yang mengernyit bingung menyaksikan kelakuan aneh lelaki itu di belakang.

***

"Den Andreas kenapa nggak kabarin Mbok dulu kalau mau datang? Tahu-tahu begitu Mbok udah siapin makan malam dari tadi sore. Kalau baru sampai larut begini cuma menu seadanya di meja makan, Den."

Rena pikir letak rumah yang berada di tengah antah-berantah ini enggan ditempati oleh siapapun saking terpelosok dan jauh dari peradaban. Tapi seharusnya ia tidak perlu heran, karena saat memasuki pekarangan area depan bangunan villa, tanaman terawat dan beranda bersih tertata, serta lampu yang sudah dinyalakan, menandakan bahwa memang tempat yang mereka kunjungi ini bukan villa terbengkalai tanpa aura makhluk hidup seperti yang sempat ia bayangkan. 

Dan ketika mengetahui bahwa tempat ini dihuni oleh pasangan suami istri paruh baya---yang menyambut langsung kedatangan mereka saat mendengar suara mobil dan derit pintu utama terbuka dari luar, Rena tak pelak menunjukkan kelegaan karena tahu dirinya tak harus terjebak berdua saja dengan lelaki itu di tempat terpencil jauh dari pemukiman.

Rena tersenyum kikuk seraya memilin tali tas selempangnya diam-diam saat mata keriput wanita itu beralih menatapnya dengan kening sedikit berkerut, meskipun sunggingan ramah juga ia perlihatkan di detik yang sama. Mungkin di dalam hati, wanita itu jadi bertanya-tanya tentang siapa gerangan gadis asing yang tiba-tiba dibawa Andreas di waktu selarut sekarang. Padahal mereka tahu sendiri istri dari pria itu baru saja meninggal dan dikuburkan kemarin siang.

"Saya berkunjung karena ada beberapa hal mendesak. Tidak perlu repot-repot soal makan malam, kami sudah makan sebelum datang ke sini."

Rena menelan ludah mendengar ucapan Andreas, karena bertepatan di saat yang sama perut kosongnya juga ikut berbunyi nyaring, seolah ingin menyanggah langsung kebohongan sepihak yang dilakukan pria itu. Hingga membuat tiga pasang mata yang berada di sekitarnya langsung menoleh menatapnya bersamaan.

Astaga! Benar-benar memalukan. Rena tertunduk sungkan saat dirinya kelepasan menginterupsi pembicaraan melalui bunyi gong kelaparan dari perutnya. Karena memang seharian ini ia hanya menyantap makan pagi dan siang, lalu tak sengaja melewatkan makan malam karena ruang geraknya terbatasi oleh hilir-mudik wartawan di lantai bawah tempat kafetaria perusahaan berada. Jadilah Rena mengalihkan semua rasa laparnya dengan pekerjaan lembur yang menyita perhatian. Namun selama dua jam berkendara, diselingi udara dingin khas dataran tinggi Bogor, membuat rasa lapar terabaikan itu kini meronta mencari pelepasan di saat yang salah.

"Oalah, sepertinya si Eneng masih butuh tambahan makan malam, Den," kelakar lelaki paruh baya yang berdiri tepat di samping istrinya. 

Mendengar itu, Rena menggaruk tengkuknya yang tidak gatal dan balas tersenyum kaku. Kemudian berselang detik berikutnya senyum itu hilang sempurna saat matanya tak sengaja nenangkap tarikan tipis di bibir Andreas, teramat tipis sampai hanya disadari oleh Rena sendiri. Dan begitu tahu bahwa aksi langkanya tertangkap basah orang lain, pria itu spontan langsung membuang muka. Sehingga otomatis mengundang decih halus mengejek dari bibir Rena. 

Si Mbok yang juga menangkap suara-suara tak lazim dari perut perempuan di depannya, hanya tersenyum dan berujar lembut. "Mari, biar Mbok siapkan nasi dan lauknya. Tapi maaf kalau cuma sederhana saja jamuannya, ya, Neng?" Kemudian beralih menatap Andreas. "Mbok buatkan teh hangat juga untuk Den Andreas karena udah menyetir jauh-jauh kemari, ya?"

Kemudian dua pasangan suami istri tersebut sudah berlalu lebih dulu menuju ruang makan, menyisakan Andreas dan Rena yang masih berdiri di tempat semula.

"Kamar kamu menginap ada di lantai dua. Mbok Irma yang akan mengantar kamu ke sana." Lelaki itu berkata usai keterdiaman singkat di antara mereka. "Soal baju ganti kamu selama di sini, Lukman akan membawanya sebentar lagi."

"Selama di sini?" Mata Rena membola lebar. "Memangnya selama apa saya bakal ada di sini?"

"Selama waktu yang dibutuhkan untuk meredam pemberitaan," balas Andreas anteng.

"Apa?" Rena tak tahu kenapa akhir-akhir ini ia lebih sering dibuat berteriak, apalagi saat harus berhadapan dengan sosok Andreas. "Saya bahkan hidup dari pekerjaan di Jakarta. Kalau saya dipaksa mengurung diri di sini demi menghindari media, bagaimana dengan pekerjaan saya? Kasus ini saja sudah hampir membuat saya jadi pengangguran, kamu tidak perlu makin mempersulit keadaan dengan menurunkan kredibilitas saya sebagai karyawan."

"Memaksa muncul di kantor juga hanya akan membuat kamu keseringan jadi bahan gosip karyawan lain, bukan cuma sekedar incaran media. Selain itu resiko berhadapan dengan Antonio Pramoedya juga hal yang akan sulit kamu hindari."

Rena terdiam. 

"Anggap saja saya memberi kamu cuti tahunan demi kebaikan bersama. Di luar dari itu, biar saya yang menyelesaikan semuanya," imbuh Andreas kembali. "Dan terkait deadline pekerjaan yang kamu maksud, semua bisa dialihkan ke dalam diskusi surel. Biar saya bicarakan ini langsung dengan manajer divisi marketing kamu."

Rena masih memilih bungkam.

"Seperti yang sudah saya tekankan tadi, Serena Amerta. Di sini saya tidak sedang memberi kamu pilihan, tapi sebuah keharusan, kalau kamu juga tidak ingin semuanya berjalan lebih buruk dari ini."

Head Over HeelsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang