Andreas tahu, berlama-lama menghindari Antonio juga tak ada gunanya. Cepat atau lambat, ia juga pasti akan berhadapan dengan pria tua itu, mengingat betapa gigihnya semua telepon dan pesan masuk yang terus saja meraung di layar ponsel miliknya maupun Lukman.
Seperti sekarang ini, ketika jam makan siang kantor baru berakhir sepuluh menit lalu, Antonio datang menyambangi ruang kerjanya untuk menuntut banyak penjelasan tentang keberadaannya yang tiba-tiba hilang dari ruang komunikasi dan peredaran mata pria itu.
"Darimana saja kamu? Galuh bilang semalam kamu nggak pulang ke apartemen."
Galuh adalah sekertaris pribadi Antonio yang selalu menjadi mata dan telinga bagi pria itu dalam memantau keberadaan putranya.
"Papa juga hubungi asisten kamu tapi malah nggak diangkat, apa kalian kerjasama buat menghindar, Andreas? Dan yang kemarin itu apa-apaan kamu? Bagaimana bisa perempuan sialan itu----"
"Satu-satu." Andreas memotong kalimat berapi-api Antonio yang tampak tak sabaran. Ia mendongak dari balik dokumen perjanjian kerja yang saat ini menyita kesibukannya. "Mulut saya cuma satu untuk menjawab semua pertanyaan itu sekaligus."
Perkataan Andreas yang sarat akan ketidakpedulian, semakin memancing kemarahan Antonio yang sedari kemarin memang sudah menggelegar ingin dilampiaskan.
"Kamu masih bisa bersikap sesantai ini setelah semua kekacauan fatal yang kamu perbuat, Andreas?"
"Dasar anak sinting! Lihat sekarang hasil akhir dari perbuatan ceroboh kamu itu! Kamu berhasil membuat kakek nenekmu dan keluarga besar Pramoedya ikut-ikutan malu. Belum lagi dengan perasaan keluarga Sanjaya mengetahui skandal memalukan yang kamu sebabkan!"
Andreas melepaskan lembaran kertas di tangannya. Lelaki itu memijat-mijat tengkuknya yang mulai keram, karena sebelum ini ia memang menunduk berjam-jam meninjau beberapa proposal kerjasama sekaligus proyek baru yang menyita seluruh atensinya. Mendengar omelan beruntun Antonio, hanya akan semakin memperparah rasa kesemutannya yang menjalar.
Lagipula apa pria tua itu tidak capek mengeluhkan hal yang sama berkali-kali? Andreas yang hanya mendengarnya saja sudah hafal di luar kepala saking terlalu sering makian serupa mengusik mampir memenuhi telinganya.
Berdasarkan pengalaman sudah-sudah, Andreas akan memasang tampang tidak peduli dan kembali menulikan pendengaran membiarkan Antonio mendeklarasikan semua unek-unek dan emosi yang ada. Sampai kemudian pria itu akhirnya capek mengomel sendiri dan meminta Galuh membawakan obat sakit kepala yang selalu asisten multigunanya siapkan.
Antonio kini sudah mendudukan diri pada kursi kosong yang ditarik Galuh tepat berhadapan dengan meja kerja Andreas, setelah berhasil menelan satu kaplet obat pereda migren yang baru saja menyerangnya. Sedangkan Galuh dengan sigap berdiri beberapa langkah di belakang sang atasan.
"Persiapkan diri kamu untuk jadwal konferensi pers yang akan dilakukan secepatnya, Deas." Mulai Antonio dengan nada bicara sedikit lebih tenang. Atau mungkin ia sendiri sudah terlalu lelah berteriak-teriak tanpa tanggapan.
"Terlalu lama menunda-nunda hanya akan menciptakan makin banyak asumsi negatif di luar sana. Biar Papa minta Galuh menghubungi pihak media yang akan membantu proses klarifikasi ini. Kamu cukup menyediakan waktu luang dan mematuhi apa yang harus dilakukan saat menemui pers nanti."
"Tidak perlu repot-repot. Lukman sudah mengurusnya untuk tiga hari ke depan," jawab Andreas lugas.
"APA?" Antonio berteriak spontan, dan langsung menyesal kemudian saat rasa nyeri di tengkuknya datang meradang. Sehingga membuatnya nyaris oleng jatuh dari tempat duduk kalau saja Galuh tidak sigap menahan pria itu dari belakang. Sial, kali ini mungkin darah tingginya yang gantian akan kambuh. Dasar anak kurang ajar!
"Kamu sengaja mau buat Papa mati muda karena sering marah-marah, Deas?!"
Andreas mendongak masih dengan raut datarnya. "Jangan mengada-ngada. Tidak ada istilah mati muda untuk ukuran orang tua yang sudah berumur lebih dari setengah abad. Itu memang sudah ajalnya."
Antonio memejamkam mata berupaya menahan geram, karena tak ingin berakhir mati konyol di depan anak durhakanya ini. Ia sampai sekarang masih bertanya-tanya dari mana gen menyebalkan anaknya berasal sampai kerap menguji kesabaran pria itu yang memang setipis kapas.
Tak ingin memperumit situasi yang justru akan semakin merugikan kesehatan fisik maupun mentalnya, Antonio berujar kalah. "Apapun itu, pastikan kamu tidak mempermalukan nama besar keluarga lebih dari ini, Deas. Kalau sampai hal itu terjadi, Papa jamin bukan cuma Papa yang akan datang kembali menghajar kamu. Kakek Mateo juga nggak akan segan-segan memberi kamu perhitungan."
Andreas mengangkat bahu acuh tak acuh. "Kita lihat saja nanti."
***
"Anda diminta melakukan peninjauan ke lokasi pabrik pengolahan pangan di Tangerang, Pak. Ada laporan tentang masalah keterlambatan produksi karena kerusakan mesin yang sudah tua. Anda perlu memeriksa langsung semua laporan kerusakan dari supervisor di sana, sebelum membahas masalah ini lebih lanjut dengan manajemen operasional dan keuangan untuk biaya perbaikan." Lukman yang duduk menyetir di samping Andreas, menjelaskan rencana kunjungan dadakan yang harus dilakukan atasannya itu akibat kendala tak terduga di salah satu pabrik usaha produksi perusahaan mereka.
"Selain itu anda masih memiliki janji temu dengan Pak Remond dari divisi perkebunan membahas rencana perluasan kebun kakao yang ada di Sulawesi Selatan demi meningkatkan produktivitas hasil olahan produk coklat," lanjut Lukman memperingatkan pertemuan yang mereka tunda selama beberapa jam karena harus mengurusi masalah pabrik ini.
Mengusung bisnis manufaktur pada sektor food and beverage yang menghasilkan beragam produk makanan dan minuman kemasan, membuat Perusahaan Ciputra memiliki lima grup bisnis berbeda yang terbagi atas lini agribisnis, makanan ringan, minuman kemasan, tepung terigu, dan terakhir adalah lini distribusi. Masing-masing mempunyai anak perusahaan sekaligus pabrik pengolahan yang tersebar di daerah sekitar Jakarta, dan beberapa lainnya juga terletak di Sulawesi dan Kalimantan.
Luasnya cakupan bisnis yang ada, tak jarang pula berbanding lurus dengan kendala-kendala teknis ataupun non teknis yang datang melanda tanpa permisi. Sehingga membuat Andreas selaku pion utama penggerak perusahaan, harus sigap menyediakan waktu dan tenaganya menempuh perjalan jauh ke luar kota atau juga tak jarang pulau berbeda untuk meninjau permasalahan lokal yang tercipta.
Andreas yang duduk anteng di kursi penumpang hanya mendengarkan dalam diam setiap penjelasan yang diberikan Lukman, sembari matanya sibuk mengamati pergerakan IHSG pasar saham di layar iPad, tempat di mana ia juga menginvestasikan sebagian pendapatan pribadinya di sana. Sampai tiba-tiba getar panggilan masuk dari ponsel di atas dashboard mobil, mengalihkan fokus lelaki itu.
Nama Hendrawan Sanjaya terpampang nyata berkedip di layar pipih itu. Menimbulkan kernyitan halus di dahi Andreas, karena tak menduga bahwa sang ayah mertua---ya jika status di antara mereka memang masih seperti itu, kembali bersedia menghubunginya setelah apa yang ia ucapkan untuk mempermalukan kedua pasangan suami istri Sanjaya tersebut di pemakaman Namira dua hari lalu.
Meraih ponsel yang hanya sejauh jangkauan tangan, Andreas pun menggeser tanda terima panggilan yang masih berkedip di layar gawai.
"Sebuah kejutan menarik, Pak Hendrawan. Saya cukup tersanjung menerima panggilan tak terduga dari anda." Andreas menjawab tanpa memulai salam terlebih dulu. Sikap sarkasnya memang tak pernah luntur tiap kali berhadapan dengan seorang Hendrawan Sanjaya.
"Berhenti berbasa-basi, Deas. Kamu tahu persis alasan apa yang membuat saya menghubungi kamu tiba-tiba seperti ini." Nada dingin di seberang telepon sana, membuktikan bahwa pembicaraan yang akan terjalin di antara mereka tidak seringan panggilan biasa untuk sekedar bertukar kabar. Melainkan lebih serius dan pelik dari itu. Apalagi Hendrawan sendiri sudah menanggalkan panggilan Papa yang biasa ia sebutkan tiap kali berbicara dengan menantunya tersebut.
"Kalau kamu memang masih menghargai Namira sebagai istri kamu, datang temui keluarga Sanjaya secara langsung dan beri penjelasan terkait aib yang media di luar sana beritakan tentang rumah tangga kalian."
"Saya tunggu secepatnya itikad baik kamu selaku kepala keluarga, Deas. Buktikan kalau kamu tidak sepengecut dan sepecundang yang saya duga."

KAMU SEDANG MEMBACA
Head Over Heels
Romansa[On going] Andreas Pramoedya tak pernah membiarkan siapapun mengusik ranah pribadinya. Sikap dingin dan tertutup pria itu makin tak tersentuh saat Namira istrinya memutuskan untuk mengakhiri hidup dengan tragis. Kematian Namira yang penuh tragedi, s...