Chapter 4

167 29 1
                                    

Setelah kelelahan sepanjang hari, Yan Hui sudah berharap untuk tidur nyenyak. Kontras dengan harapannya, ia terbangun ketika langit masih gelap gara-gara ayam jantan yang berkokok di luar sana. Ia memejamkan matanya berusaha keras untuk menghadang suara itu. Ayam itu akan berkokok sendiri sampai kelelahan, pikirnya. Namun, sama saja seperti kemarin malam. Sekalinya ayam-ayam itu mulai berkokok, tidak ada hentinya untuk sepanjang malam.

Pagi-pagi sekali, Yan Hui bangun dari ranjang dengan lingkaran hitam. Sekali lagi ia bersumpah dengan tegas bahwa, sebelum ia pergi, ia akan mengubah ayam jantan itu menjad sup.

Saat Yan Hui bangun, A'Fu, yang duduk di pojokan, juga bangkit berdiri. Ia meluruskan pakaiannya sebelum berjalan mendekat dan berdiri di depan ranjang. Ia menggigit jarinya dan mengusapkan darah itu ke seprainya.

Yan Hui mengangkat satu alisnya setelah melihat tindakannya: "Kau masih memikirkan tentang menipu si nenek tua itu. Kau memperlakukannya dengan baik. Kau masih bersikap seolah kau adalah cucu lelakinya."

A'Fu mengabaikan ledekannya: "Sudah selesai. Ayo pergi untuk mendapatkan makanan. Jangan sia-siakan napasmu."

Yan Hui mengerutkan bibirnya: "Kapan kau akan membawaku ke pusaka itu?"

"Aku akan membawamu saat aku pergi bekerja di ladang."

Yan Hui mengangguk. Hatinya mendadak merasakan perasaan yang lucu meskipun ia tidak bisa mengatakan kenapa. Tidak ada waktu untuk merenunginya sebelum si nenek masuk. Ia berseri-seri dan mengelus wajah Yan Hui: "Gadis kecil itu tidak rewel lagi?"

Karena ia akan pergi setelah mendapatkan pusaka rahasia itu, Yan Hui tidak merasa ingin mengoreksi si nenek. Ia mengangguk dan membuat suara setuju. Yan Hui berjalan keluar dan melihat ke belakang sembari menutup pintunya. Ia menangkap sekilas, si nenek yang bersandar di tempat tidur, satu tangan merasakan seprainya, dan mendekatkan hidungnya untuk mengendusnya.

Yan Hui merasa mual dan malu melihatnya. Ia segera menutup pintu dan pergi.

Tiba-tiba saja, ia merasa sedikit bahagia karena dirinya yang tertangkap dan bukannya gadis lainnya. Setidaknya, ia punya kemampuan untuk pergi. Jika itu orang lain, ia takut kalau mereka akan menyia-nyiakan seluruh hidup mereka di sini.

***

Setelah makan, A'Fu membawa cangkul di pundaknya untuk bekerja. Sesuai janji, ia juga membawa Yan Hui.

Nenek itu jelas merasa sangat yakin setelah memastikan Yan Hui dan A'Fu sudah melakukan perbuatan itu. Ia tidak terlalu rewel sebelum membiarkan keduanya pergi. Mungkin, di mata Nenek Xiao, selaput dara menentukan nasib seorang gadis. Kepada siapa pun itu diberikan, maka itu juga memberikan nasib gadis itu.

Untuk sesaat, Yan Hui tidak tahu apakah baik atau buruk karena si iblis ular merasuki tubuh A'Fu.

***

Setelah sampai di ladang dengan cangkulnya, A'Fu membawa Yan Hui melewati rute memutar dan berkelok-kelok untuk keluar dari desa.

Yan Hui sudah menghafal rute mereka dengan hati-hati, tetapi ketika mereka tiba di ujungnya, ia menyadari bahwa jalan ini tidak membawa mereka turun gunung. Itu sebenarnya menuju ke sebuah danau di belakang desa.

Sumber dari danau itulah tepatnya, sungai yang sama yang menghanyutkan Yan Hui dari dalam pegunungan di hari yang menentukan itu.

Yan Hui memerhatikan A'Fu mencari sebuah rakit kayu di tepi danau dengan gerakan yang menyiratkan ia pernah melakukan ini sebelumnya. Ia memanggilnya: "Naiklah."

Yan Hui melihat danau yang terbentang sejauh mata dapat memandang. Kemudian ia melihat ke air yang mengalir di atas rakitnya. Ia berkultivasi teknik api, yang mana secara alaminya, membenci air. Beberapa hari yang lalu, ia merasa seolah terbakar oleh api di dalam. Selain itu, lalu ia pun tergelincir dengan kepala yang jatuh lebih dulu ke dalam air. Sekarang, melihat ke arah danau seluas ini ....

Heart Protection [Terjemahan Indonesia]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang