15. Fifteen

2.5K 246 3
                                    

Aku melirik dara yang sedang menikmati sarapannya. Kita hanya berdua disini, mama papa masih ada kerjaan di luar kota. Kita berdua adalah anak yang sudah terbiasa ditinggal dan berteman dengan kesepian. Bedanya, aku selalu dengan kesendirianku, dara menyulap harinya lebih berwarna dengan memiliki sahabat.

Aku tersenyum canggung ketika dara menatapku di tengah makannya.

"Lo udah kenyang?" Tanya dara memperhatikan piringku yang masih penuh. Aku buru-buru memakan makananku.

Aku menghampiri dara yang berdiri di depan pintu apart memainkan ponselnya. Aku mengajaknya turun ke basement. Kita akan pergi sekolah. Dalam perjalanan dara sibuk dengan ponselnya. Aku sesekali melirik dara. Aku ingin memulai percakapan namun aku tak memiliki bahan.

"Chatingan sama siapa sih?, pacar?" Ucapku.

"Abri" dara menjawab singkat. Aku diam sejenak. Sejak main basket bareng, dara sepertinya mulai dekat dengam abri. Aku tak senang memikirkan hal ini. Lihat saja, ia fokus memainkan hp nya dibanding mengajakku ngobrol.

"Nanti temenin ke perpus ya" pintaku. Aku menoleh ke dara yang tak merespon ucapanku.

"Dara!" Aku memanggilnya, dara mengangguk. Aku membuang mukaku ke jalan, kesal dara terlalu fokus dengan hp nya.

"Nanti temenin gua ke perpus" ucapku lagi setelah kami sampai di parkiran sekolah.

"Iya, kan lo udah bilang tadi" ucap dara lagi yang masih menatap hp ny

"Kalau orang ngomong tu dilihat, ini orang bukan patung" ucapku kesal melepas seatbelt dengan kasar. Dara menoleh padaku, ia memasukkan hpnya ke saku.

"Iya sorry" ucap dara. Aku tak menjawab, aku langsung keluar mobil dan mendahului dara.

Aku memasuki kelasku. Pandanganku bertemu dengan boy yang duduk di bangku terdepan. Aku berjalan melewatinya duduk jarak 3 baris darinya.

Aku mulai menjaga jarak dengan boy sejak hari itu. Hari diamana boy yang kuhormati sebagai ketua kelas dan ketua kelompok belajar, beruba menjadi orang asing yang tak akan aku oedulikan.

Boy orang baik dan bertanggung jawab. Ia perhatian padaku, namun ia mensalah artikan responku padanya. Ia perhatian berlebihan hingga posesif. Membuatku tak nyaman berada di dekatnya, terutama tak nyaman dengan pandangan orang lain. Mereka menghormati boy, mengagumiku namun mereka tak suka melihat boy memperlakukanku spesial.

Malam itu sebelum pulang, aku berbicara dengam boy. Aku ingin memperjelas posisiku. Aku tidak ingin menjadi duri di kehidupan siapapun. Aku hanya ingin menjadi aku yang tak terikat dengan rasa balas budi, segan ataupun terima kasih.

Boy menyatakan perasaannya padaku saat itu. Aku memperjelas semuanya saat itu juga. Pertama kalinya aku berhadapan dengan seseorang yang menangis dengan penolakanku. Aku merasa kasihan melihatnya begitu, aku tak tega. Aku mungkin menyakiti hatinya, namun aku juga menghiburnya sebelum dara tiba.

Memutuskan untuk tak belajar bareng mereka adalah keputusan terbaikku. Saat ini aku nyaman les private dengan pak rangga yang juga teman sekolah papa, dan sosok yang dikagumi dara.

Ketika jam istirahat pertama aku tetap duduk di kelas. Aku tak lapar, dan aku malas keluar kelas. Aku duduk di bangkuku, menopang daguku, menatap keluar jendela kelas. Aku melihat ke bawah, anak-anak bermain basket disana.

"Mau ke perpus sekarang?" Aku membaca pesan dara

"Istirahat kedua" balasku. Aku menatap layar, tak ada balasan lagi dari dara. Aku kembali menyimpan hp ku dan memperhatikan mereka yang di lapangan. Aku memakai earphoneku.

Tok tok... aku terkejut menyadari mejaku diketuk keras. Aku menoleh ke samping. Aku mengerutkan keningku, dara berdiri di depanku dengan senyum manisnya. Ia menunduk mendekatkan wajahnya padaky, aku refleks mundur.

Don't Leave Me AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang