55. fifty five

1.5K 169 0
                                    

Tangisku tak ada hentinya. Aku hidup, tapi seperti tak berpijak. Hari-hariku mengurung diri di kamar. Aku mulai mencoba minum minuman beralkohol agar aku lupa, tapi yang ada malah aku semakin terpuruk. Mencoba menghubunginya, telponku selalu diangkat namun tak ada satupun kata yang keluar dariku atau dia. Aku hanya menangis.

Papa selalu menemaniku. Tiap papa mencoba menghiburku, yang kulakukan malah meraung dan berkeluh kesah di depannya.

"Pa, aku gak bisa. Aku capek pa. Aku gak akan bisa bertahan, aku mau berhenti nangis, aku mau bahagia pa. Kembalikan dia pa" rengekku tiap kali mabuk. Papa sabar menenangkanku, ia tak pernah meninggalkanku.

Aku mencapai batas lelahku. Semakin hari semakin meringkuk di balik selimut. Merenung sendirian membuatku semakin hilang kendali. Air hangat dalam bathub membuatku lebih rilex, ditambah harum lilin aromaterapi dan alunan piano. Aku menenggelamkan seluruh tubuhku.

*****

"AURI"

Wanita cantik itu, kekasihku. Aku berlari mengehampirinya. Ia memakai dress putih, rambut yang ia ikat menyisakan poni bergoyang terkena angin. Aku memperhatikan sekitar, aku dan auri sedang berdiri di tengah taman bunga.

"Are you ok?" Auri menyentuh kepalaku, memperbaiki rambutku yang berantakan.

"Hmm, kamu dari mana?, aku cariin kamu" aku sedikit manyun.

"Aku harus pergi dar"

"Kemana?, kamu harus lanjut bacain aku buku"

"Kamu bisa baca sendiri"

"Tapi aku maunya kamu, aku mau kamu selalu disampingku, aku mau selalu dengar suara kamu" aku memeluk lengannya dan mencium pipinya.

"Dasar anak nakal" ujar auri mencubit hidungku. Kami tertawa bersama. Auri menggenggamku erat, kami melangkah menyusuri taman bunga yang tak kelihatan ujungnya. Tak apa, aku tak akan lelah selagi auri bersamaku.

"Dara, dar!!!!"

Aku merasakan guncangan, sayup ku dengar suara papa. Dadaku terasa penuh dan tak ada ruang napas, aku spontan menarik napas dalam dan terbatuk keras. Dadaku terasa sakit ketika batuk berusaha mengambil udara. Mataku sakit dan kepalaku berat, aku mengerjap melihat papa.

"Ah syukurlah nak" ujarnya mengusap bahuku dengan handuk, papa memelukku erat. Aku menyadari sekitarku yang basah, tetesan air dari rambutku. Papa menutupi tubuhku dengan handuk berlapis dan membawaku kembali ke kamar.

"Tolong bik" papa memberiku ke wanita paruh baya yang aku tahu dia adalah salah satu ART dirumah papa. Aku menatap papa yang cemas, matanya basah seperti habis memangis.

Ingatanku kembali, aku baru bermimpi kembali bertemu dengannya. Aku mengingat senyumnya, lembut sentuhan bibirnya, suaranya, dan harumnya. Air mataku kembali jatuh. Ku genggam erat tangan papa yang duduk disisiku.

"Pa, help me" lirihku dengan deraian air mata. Papa memeluk dan menangis bersamaku. Aku merasakan getaran tubuh papa.

"Dara, papa boleh minta satu hal?" Ujar papa menangkup wajahku dikedua telapak tangannya.

"Papa minta jangan lakuin hal seperti ini, kamu harus kuat. Papa selalu disini bersama kamu. Papa bukan orang tua baik buat kamu, tapi papa mohon jangan seperti ini, papa gak mau kehilangan kamu lagi"

Aku meminta maaf pada papa. Aku terlalu jatuh sampai ingin menyerah untuk hidup. Padahal aku juga udah berjanji ke mama untuk tetap kuat dan bertanggung jawab dengan jalan yang aku pilih.

Sejak saat itu, aku kembali belajar berdiri. Berusaha kembali hidup. Walau aku tak akan jadi orang yang sama, setidaknya aku punya hasrat untuk kembali berjalan.

Aku kembali melanjutkan keseharianku. Aku kuliah dan berteman baik dengan agatha. Ia satu-satunya orang yang menemani keseharianku selain papa. Aku juga kembali bekerja di cafe, kali ini bukan untuk tambahan saku, melainkan untuk produktif.

Perkuliahanku berjalan seperti biasa, walau masih satu lingkup kampus, aku tak pernah bertemu dengan auri. Aku masih melalui jalan yang sama, sesekali aku berhenti di depan gedung jurusanku, tempat biasa aku dan auri berpisah. Ketika berhenti ditempat itu, yang kulakukan hanya menarik napas dalam lalu kembali berjalan.

Aku tak pernah bisa melupakan sedikitpun kenangan yang udah kami lalui. Tiap teringat aku tak lagi menangis, tapi aku akan selalu menutup mata dan menarik napas dalam. Tak ada yang kusesali dalam perjalanan berharga kami, rasa cinta, sayang, peduli, rindu. Aku gak pernah melupakan semua itu.

Kehidupanku banyak berubah. Papa memberikan semua yang terbaik untukku, semua fasilitas aku punya, mulai dari kendaraanku, isi rekeningku. Mungkin papa akan memberikan semua hartanya untukku anak satu-satunya.

"Papa aku gak bisa pakai mobil ini, ini terlalu mewah. Mobil sedan papa yang biasa juga udah bagus kok" kataku menolak kunci mobil baru yang bertengger di halaman rumah. Aku merasa tidak pantas menerima ini, aku tidak mau jadi anak yang tak tahu untung.

"Kenapa?, kamu gak suka?" Seorang pria keluar tiba-tiba dari porsce mewah ini, ia berperawakan tinggi, memakai setelan jas dengan celana jins. Kaca mata hitam, rambut ikal, jam dan sepatu mahal. Harum parfumnya menusuk hidungku. Ia berdiri di depanku menyilangkan tangannya depan dada.

"Come on Erick, she is my daughter" papa mendekati pria itu, pria itu menurunkan tangannya dan mengulurkan tangan padaku.

"I know jem, she is also my daughter. Hai, I'm erick" ujarnya. Aku melihat senyum manisnya. Aku ragu menyambut uluran tangannya. Aku menoleh ke papa yang mengangguk. Pria itu pun membuka kaca matanya, bola matanya yang biru memukauku.

"Wow" ujarku tanpa sadar. Papa tertawa dengan reaksiku.

"Dara" jawabku memyambut uluran tangannya.

"I'm a... hmm.. your.. hmm me & your dad..."

"I know" kataku tersenyum tipis.

"Ok" sahutnya, ia tampak gugup. Papa mengajak kami masuk rumah.

"Ini hadiah dari saya dan papa kamu, saya terlalu semangat untuk bertemu kamu. Saya juga bingung mau bawa apa untuk kamu So, yeah... thats the present" ujarnya. Aku mengernyitkan dahiku. Dimana papa menemuka pria kaya raya ini, itu bukan sekedar hadiah yang bisa dibeli dengan uang cash dari dompet.

"Saya harap kamu bisa kembali happy dengan hadiah itu" tambahnya

"Thankyou erick...." kataku ragu memanggilnya dengan sebutan apa.

"Welcome" jawabnya. Aku membalas senyum manisnya.

Aku kembali ke kamar setelah beberapa saat ngobrol dengan erick dan papa. Aku memperhatikan foto terbaru yang dikirim mama, foto kenzo yang lucu.

Ah, mama baik-baik saja disana. Mereka kembali seperti tak terjadi apa-apa. Aku bersyukur jika mama menikmati harinya bersama kenzo. Tak ada yang perlu dikhawatirkan. Hubunganku dengan papa andrea terbilang alot. Jangankan berbicara atau menghubunginya, aku pun tak pernah menanyakan bagaimana kabarnya pada mama.

Lalu, bagaimana dengan auri?.
Aku tak pernah bertanya ke mama, aku tak pernah mencari tahu apapun tentang dia. Auri yang memutuskan pergi meninggalkanku ketika aku sangat mencintainya. Auri yang memutuskan menyerah dan melepaskan tanganku. Aku tak membencinya, aku tak kecewa padanya. Karena aku tahu, ia juga sangat mencintaiku. Jika dikasih kesempatan, aku ingin dia berada di depanku sekarang merentangkan kedua tangannya untuk peluk aku, memberikanku senyum terbaiknya dan menciumku.

Don't Leave Me AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang