16. sixteen

2.4K 250 4
                                    

Aku menatap wajahku di cermin. Aku berbicara pada diriku sendiri. Aku merasakan hal aneh di dadaku. Aku merasa ia terlalu sering berdebar akhir-akhir ini. Aku tahu penyebabnya adalah dara, namun kenapa?.

Dara menjadi sosok candu untukku. Aku ingin selalu bersama dara. Aku ingin dara selalu menemaniku kemanapun aku pergi. Kesendirianku selama ini seperti menjadi alasan akan hausnya aku dengan kebersamaan.

Akhi-akhir ini aku tidak hanya punya dara, beberapa orang hadir dalam kehidupanku. Namun, dara memiliki porsi terbesar dan posisi penting buatku. Aku yakin jika ia tak ada akan memberi ruang kosong yang besar.

Seperti saat ini. Aku akan mengajak dara menemaniku. Tempat yang aku datangi selalu itu-itu saja, ya tempat yang berhubungan dengan buku. Kali ini aku ingin membeli buku best seller terbaru.

Kita sedang dalam perjalanan ke sekolah. Dara masih selalu sibuk dengan ponselnya, jujur aku terganggu. Namun aku tak banyak protes padanya.

"Dar, nanti pulang sekolah ke mall yuk. Temenin gua cari buku" ujarku ketika kami jalam beriringan menuju kelas. Dara menghentikan langkahnya.

"Harus hari ini?" Tanya dara. Aku mengerutkan keningku.

"Kenapa?" Tanyaku balik. Dara menggaruk kepalanya.

"Gua ada janji"

"Kemana?"

"Gua mau temenin abri tanding basket hari ini" ujar dara. Aku terdiam, aku membuang mukaku berusaha menyembunyikan kekecewaanku. Tentu saja aku sedih, ternyata dara memiliki prioritas laim dalam hidupnya. Bodohnya aku, kenapa hariku harus selalu dara.

"Gua bilangin amel dan rina deh biar bisa temenin lo, gak apa kan?" Tanya dara. Aku mengangguk pelan.

"Ya udah, gua naik dulu" ucapku. Aku berjalan menaiki tangga menuju kelasku. Langlahku terasa berat, moodku rusak.

Aku tidak fokus mengikuti pelajaran hari ini. Aku menopang daguku, mencoret-coret kertas. Pikiranku penuh dengan dara. Apakah dara dan abri punya hubungan khusus?, kenapa dara harus nemenin tanding basket. Bukannya hal seperti itu hanya dilakuin orang spesial?. Ah, aku kesal.

Aku sudah mendapatkan buku yang aku mau. Aku mangajak amel dan rina untuk nongkrong di cafe sebelum kita pulang. Aku memesan makanan dan minuman manis untuk memperbaiki moodku.

"Kak, aku boleh nanya sesuatu yang privasi gak?" Tanya amel.

"Apa itu?"

"Kak auri dengan dara itu temen?, atau.."

"Pertanyaan lo mel. Temenlah, kan dara udah jelasin" sahut rina menepuk lengan amel.

"Gua penasaran rin, kalau temen kenapa selalu pergi dan pulang bareng. Sering bareng. Kita berdua juga temenan, tapi gak selalu bareng" jelas amel. Rina berusaha menghentikan amel. Aku tertawa pelan. Aku meneguk minumanku sebelum menjawab.

"Temen, sahabat. Kakak, adik" jawabku. Amel dan rina kompak menatapku.

"Dara, adik tiriku" jawabku. Amel dan rina saling pandang.

"Maaf ya kita gak bilang dari awal. Kita masih kurang nyaman saat itu, sekarang kita udah dekat jadi aku udah bisa kasih tahu ke kalian" jelasku.

"Berarti waktu itu mama dara nikah dengan papa kak auri?" Tanya amel. Aku mengangguk di iringi dengan anggukan mereka berdua

"Aku mau tanya hal privasi juga boleh?" Tanyaku pada amel dan rina.

"Dara dan abri pacaran?" Tanyaku tanpa basa basi. Aku tahu ini harusnya tidak perlu aku tanyakan ke mereka, namun aku penasaran. Pasti ada beberapa hal yang tak dara ceritakan padaku, apalagi masalah asmara.

Amel dan rina saling pandang.

"Abri emang lagi deket kak sama dara. Di kelas juga lagi serig ngobrol" jawab amel dibalas anggukan rina.

"Pacaran?" Tanyaku lagi

"Sepertinya belum kak, masih deket" jawab rina. Aku mengangguk sedikit lega.

Aku suda kembali ke apart. Rumah terasa kosong, biasanya ada dara bersamaku. Aku melihat ponsel hendak menghubungi dara, namun aku urungkan. Hari sudah mau gelap, namun tak ada tanda-tanda dara akan pulang.

"Gua udah masak, lo pulang jam berapa?"  Aku akhirnya mengirim pesan ke dara. Aku mengerjakan hal lain sembari menunggu balasan dara. Satu jam berlalu dara juga belum respon.

"Dar, lo ok?. Perlu gua jemput gak?" Aku kembali mengirim pesan. Aku mulai gelisah berjalan kesana kemari mengelilingi ruang depan.

Aku kembali mengerjakan halaim seperti mandi dan membaca buku. Aku menunggu dara di meja makan. Aku suda lapar, namun aku ingin makan bareng dengan dara. Sudah jam 20.00, dara juga belum ada kabar.

"Mel, dara ada ngabarin gak?. Dia belum pulang" aku mengirim pesan. Amel langsung merespon, ia bilang terahir dara lagi makan bareng abri dan teman-temannya.

Mataku terasa panas membaca pesan itu. Aku beranjak dari meja makan masuk ke kamar. Aku kesal, rasa kesalku semakin memuncak ketika memdengar suara pintu apart terbuka. Aku melihat jam, 22.00.

"Ah ri, belum tidur" dara menutup pintu kamar. Ia meletakkan barang-barangnya.

"Ri, lo chat gua?. Sorry gua baru baca" ucap dara. Aku menoleh menatap dara dengan tajam.

"Sengaja gak baca kan lo"

"Ya gak lah ri, gua baru pegang hp"

"Kenapa?, lo sibuk pacaran makanya gak bisa buka hp?"

"Apa sih ri, selalu bahas pacaran"

"Cuma pacar yang nemenin cowok tanding basket" ketusku

"Itu pikiran lo. Kenapa sih gak mikir yang positif aja. Gua emang suka temenan sama siapa aja, gua bukan kayak lo..." dara mengehentikan ucapannya. Aku menggertakkan gigiku. Aku marah. Aku beranjak dari dudukku

"Bentar ri, maksud gua.."

"Maksud lo, lo bukan kayak gua yang susah berteman kan?, iya gua tau kok. Gua manusia apatis, gua gak seceria lo, gua gak sekeren lo bisa akrab ke siapa aja" aku berbicara dengan sura keras

"Ri, gua gak mungkin bisa terus temenin lo kemanapun, gua cuma punya dunia gua sendiri" dara membalasku lebih keras. Aku merasakan sakit di dadaku, sesak, mataku panas dan rasanya air mataku akan tumpah.

"Iya, gua tau. Gua yang aneh, gua cuma punya lo. Gua cuma mau kemana-mana sama lo, gua mau lo punya semua waktu lo buat gua, gua..." suaraku gemetar dan tercekik. Aku memilih berbalik badan, keluar dari kamar ini dan masuk ke kamar papa mama.

Aku akan tidur disini. Aku sering beradu argumen dengan dara. Namun ini pertama kalinya aku merasakan sakit, air mataku merembes juga. Aku memejamkan mataku. Ku biarkan air mataku jatuh membasahi bantal.

Aku sadar. Hal ini tidak baik, aku tidak boleh begini. Aku juga tak tahu kenapa aku seposesif ini dengan dara. Dara benar, ia memiliki dunianya. Tak melulu denganku ataupun tentangku. Lalu bagaimana denganku?. Duniaku kini adalah dara. Kesepian dan kesendirianku pergi karena dara. Wajarkan aku begini?, aku hanya ingin dara.

Aku meringkuk memeluk guling. Aku masih menangis, perutku yang kosong pun mulai terasa perih. Tidak, aku tidak akan keluar mencari makanan dalam keadaan begini. Aku sudah puas menangis, aku memilih tidur.

Don't Leave Me AloneTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang