Di sebuah restoran terlihat beberapa remaja yang masih asyik menyantap menu berbuka puasa. Adzan telah berkumandang beberapa menit yang lalu.
Selesai berbuka puasa Hamiz berdiri begitupula para sahabatnya. Mereka akan salat magrib berjamaah di masjid terdekat. Tak lama Deva menaruh beberapa lembar uang berwarna merah untuk membayar.
Mereka pergi menuju masjid terdekat. Salat berjamaah kali ini yang menjadi imam Hamiz. Memang diantara mereka yang paling sering menjadi imam yah Deva dan Hamiz.
Selesai salat magrib mereka masih berada di masjid. Deva hanya bisa mendengarkan suara para ibu dari sahabatnya. Hal yang kadang membuat iri Deva sebab dia tidak memiliki seorang ibu.
"Bang Dev kenapa sedih?" tanya Atha.
"Merindukan mama," ujar Deva.
"Tante Bella pasti bangga punya anak soleh sepertimu," ujar Hamiz.
"Iya," sahut Deva.
Mereka salat berjamaah bersama yang lain. Selesai salat mereka duduk dan Sandy mengambil beberapa Al-Qur'an. Yah mereka berdatarus bersama-sama sambil menunggu waktu salat taraweh.
Benar kata pepatah apabila kita berbaur dengan anak baik maka terbawa juga. Leo playboy, Sandy tidak jauh beda dengan Leo, Rian anak yang sering gibah, Irsyad si pelawak receh, Hamiz pak Ustadz bagi mereka, Atha paling kecil diantara mereka semua, dan Deva kulkas berjalan.
Tepukan di pundak mengalihkan antesi Deva. Seorang pria paruh baya tersenyum kearah Deva. Deva yang mengerti melirik jam ternyata telah jam salat isya.
"Aku saja paman," ujar Deva.
"Silahkan anak muda," ujar pria tersebut.
Deva mengumandangkan adzan. Semua sahabatnya tersenyum. Salat taraweh selesai dilaksanakan. Deva telah mengantarkan Leo ke rumahnya. Dia berniat menuju ke kantor sang ayah. Fahri memberi pesan akan lembur hari ini.
Perusahaan Fabel yang didirikan Fahri berkembang pesat. Fahri mempertaruhkan segala uang dia selama dia muda dulu. Kerja keras Fahri berhasil di usia muda sukses mendirikan perusahaan sendiri. Deva bangga memiliki ayah sehebat Fahri.
Koridor kantor sangat sepi wajar karena telah jam pulang kantor. Setiap bulan puasa Fahri mewajibkan seluruh karyawan pulang tepat jam empat sore. Bulan biasa mereka bebas lembur dan jam pulang kantor di bulan biasanya jam lima sore.
Deva mendengar suara bernada tinggi dari ruangan Fahri. Dia mengenali suara itu lagi-lagi namanya terbawa akan hal yang tidak dia lakukan sama sekali.
Pemuda itu berdiri diam di ruangan sang ayah. Dia tidak berniat membuka pintunya sama sekali. Luka hati kembali dia dapatkan dari orang yang memiliki hubungan darah dengannya.
"HENDRA HARUSNYA KAU BUANG DIA SEJAK KEMATIAN BELLA!" marah Rahmat.
"DEV DARAH DAGINGKU PAH!" marah Fahri.
"DIA PEMBUNUH ISTRIMU!" marah Rahmat.
"BELLA MATI KARENA TAKDIR!" marah Fahri.
"KALAU KAU TIDAK MAU MENYINGKIRKAN BOCAH ITU MAKA AKU YANG AKAN MEMBUNUHNYA!" marah Rahmat.
Deva memegang dadanya. Rasa sesak ini kembali dia rasakan. Kehadirannya ditanggap aib dan pembunuh. Deva menjauh sedikit dari ruangan Fahri suara bertengkar sang ayah dan kakeknya membuat dia merasakan rasa bersalah.
Deva terduduk dan memeluk lututnya sangat erat. Pemuda itu menangis dalam diam mengatakan kata maaf terus-menerus. Traumanya kembali mendengar suara bentakan amat keras.
Di ruangan Fahri dia akhirnya terpaksa mengusir ayah kandungnya. Fahri tidak bermaksud durhaka namun ucapan Rahmat sudah keterlaluan.
"Ah sial. Ini takdir kenapa kalian malah beranggapan putraku pembawa sial," gumam Fahri.
Fahri mengambil hp untuk menghubungi Deva. Wallpaper hp duda itu hanya foto Deva yang tengah tertawa lepas. Fahri menghubungi Deva anehnya dia mendengarkan ringtone hp Deva.
"Astaga jangan bilang!" kaget Fahri.
Fahri keluar ruangannya. Terus menghubungi ponsel Deva dia mengikuti suara ringtone Deva. Ternyata Deva tidak jauh dari ruangan Fahri.
"Nak!" panggil Fahri menepuk pundak Deva.
Deva malah mundur mendapatkan tepukan dari Fahri. Deva melindungi kepalanya dan Fahri bisa melihat ada sedikit tetesan darah juga.
"Ini papa nak," ujar Fahri lembut.
Deva mendorong tubuh Fahri sampai terjatuh. Dia semakin ketakutan bahkan tubuhnya semakin gemetar. Fahri menatap kearah keatas sejenak dia harus menahan air matanya agar tidak keluar.
"Mama pergi karena Dev,"
"Dev pembunuh,"
"Dev pantas dibunuh,"
"Aku pembawa sial,"
"Dede dan mama pergi disebabkan aku," lirih Deva.
"Ya Allah. Buatlah trauma itu lenyap aku tidak mau melihat putraku menderita," doa Fahri di dalam hati.
Fahri memeluk Deva sangat erat. Deva memberontak bahkan mengigit sangat kuat pundak Fahri. Fahri menahan ringisan sampai Deva tenang.
"Zyandru Bakrie Radeva. Jagoan papa Fahri lupakan segala kenangan burukmu. Deva bukan pembunuh dan tidak pantas dibunuh. Papa ada di sisimu sekarang jadi tenanglah," ujar Fahri memenangkan Deva.
"Papa," lirih Deva.
Fahri mengelus rambut Deva. Deva akhirnya tenang dia melepaskan pelukan bahkan tersenyum kepada Fahri.
"Salat taraweh sudah selesai?" tanya Fahri mengalihkan pemikiran Deva.
"Udah. Dev jadi imam. Kata pak Ustadz suaraku merdu," ujar Deva.
"Capek dong lu jadi imam," ujar Fahri.
"Iya makanya gua kesini. Gua mau langsung tidur biar mobil dibawa sama lu," ujar Deva.
"Ayo deh pulang," ujar Fahri.
Fahri berdiri dan menarik tangan Deva. Deva kembali tersenyum. Obat trauma Deva itu sang ayah begitupula sebaliknya. Hubungan Deva dan Sisi berjalan lancar akan ada acara lamaran setelah lebaran usai.
"Kerjaan lu emang udah kelar semua gitu?" tanya Deva.
"Udah dong," jawab Fahri.
"Baiklah. Gua minta gendong sekalian," ujar Deva.
Fahri mengambil sapu tangan di kantong celananya. Pria dewasa itu membersihkan jejak darah di hidung sang anak. Deva tersenyum lebar sosok ayahnya itu keren.
"Ayo!" ajak Fahri yang telah berjongkok di depan Deva.
Deva memeluk leher Fahri sangat erat. Fahri langsung menggendong putranya menuju ke parkiran perusahaan. Ternyata ada seorang satpam menjaga mobilnya. Fahri berpesan untuk menjaga motor milik putranya. Suara dengkuran halus membuat Fahri tersenyum.
Fahri menurunkan anaknya di kursi belakang. Membiarkan Deva beristirahat dengan nyaman. Fahri mengendarai mobil dengan kecepatan sedang. Pikiran Fahri bercabang kemana-mana hampir setiap minggu keluarga kandungnya dan keluarga Bella memaksa dia agar menyingkirkan Deva.
"Dulu aku tidak bisa merasakan kasih sayang kedua orangtua. Sekarang aku tidak mau putraku mengalami hal yang sama sepertiku dulu," ujar Fahri.
Fokus Fahri ke jalanan walaupun dia tengah memikir keras untuk keselamatan Deva. Fahri takut mereka nekat dan malah menyakiti Deva. Saat Fahri koma saja mereka berani memukul wajah Deva beberapa kali.
"Papa ingin kau bahagia nak. Kuharap keputusan papa di masa depan tidak membuatmu sedih," harap Fahri.
Cukup lama perjalanan akhirnya tiba di rumah. Deva yang akan digendong terbangun. Dia langsung kabur begitu saja dari hadapan Fahri.
"Oi Dev ganti bajumu!" pekik Fahri.
"Berisiklah duda jelek!" ledek Deva.
Fahri mengejar putranya membuat Deva mempercepat larinya. Deva tepat waktu masuk ke kamar jadi dia terbebas dari jeweran sayang Fahri.
Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan bagi penulis agar semakin bersemangat menulis
Sampai jumpa
Senin 15 Mei 2023
KAMU SEDANG MEMBACA
Deva (END)
Teen FictionNot BL/Only Brothership. Ini hanya kisah ayah dan anak saja tidak lebih. Zyandru Bakrie Radeva cowok dingin yang sering disebut kulkas berjalan oleh teman-temannya menyimpan trauma berat tentang suatu kejadian di masa lalunya. Deva panggilan akrabny...