60

1.1K 85 12
                                    

Ulangan kenaikan kelas suatu hal yang membuat hampir seluruh siswa dan siswi tertekan. Di sebuah kamar bertema antariksa ada sosok pemuda yang nampak frustasi setelah membaca buku materi pelajaran.

"Argh sulit," gerutu Deva.

Yah sejak tadi Deva mencoba mengingat semua pelajaran. Dia belajar sangat keras agar dia bisa naik kelas. Tertinggal dua tahun dibandingkan teman yang lain membuat dia sedikit tidak percaya diri. Belum tekanan mengenai orang-orang yang mengatakan bahwa dia tidak pantas menjadi putra ayahnya sendiri.

Sesuatu yang mengalir menghentikan acara belajar Deva. Pemuda itu meraba hidungnya ternyata ada darah mengalir.

"Dev kamu jan-," ucapan sang ayah terpotong ketika melihat ada darah di hidung sang anak.

Duda itu berlari kearah anaknya. Dia mengambil tisu yang berada di atas meja belajar sang anak. Dia menyuruh Deva mendongkak agar darah tidak terus menetes.

"Hey jangan memaksakan dirimu. Itu tidak baik lho," nasihat Fahri mengelus rambut Deva.

"Deva takut tidak naik kelas lagi," ujar Deva.

Fahri tersenyum duda itu mengambil tisu baru untuk membersihkan hidung mancung sang anak. Dirasa tidak ada darah lagi Fahri hanya diam saja menatap sang anak.

"Kan kamu tidak perlu khawatir. Lagipula kamu tetap jadi putra papa apapun yang terjadi," ujar Fahri.

"Pusing," adu Deva kepada sang ayah.

"Istirahat ya. Mengenai ulangan berusaha semampu kamu saja," ujar Fahri.

"Jadwal les ditambah ya pah," ujar Deva kepada ayahnya.

"Jadi seminggu berapa kali?" tanya Fahri.

"Setiap hari saja. Agar Dev bisa mengejar ketinggalan materi," ujar Deva.

"Seminggu lima kali saja atas paksaan darimu ya. Kalau setiap hari papa tidak izinkan sama sekali!" tegas Fahri tidak setuju akan ucapan sang anak.

"Agar Dev pintar pah," ujar Deva.

"Untuk apa pintar kalau kamu jatuh sakit hah?!" kesal Fahri.

"Agar papa bangga memiliki aku," ujar Deva.

"Kamu pintar mengaji saja papa bangga kok."

"Kamu bahkan memenangkan proyek bernilai 10 miliar sendirian saat papa koma itu prestasi yang sangat keren."

"Jadi jangan anggap dirimu bodoh ok. Kamu pintar hanya saja memerlukan sedikit waktu untuk memahami materi," ujar Fahri memberi pengertian.

"Papa pernah merasakan kesulitan belajar?" tanya Deva penasaran.

"Gen sulit mengingatmu turunan dari papa sendiri. Jadi kamu pasti mengerti bagaimana papa masa sekolah," ujar Fahri.

"Kok papa naik kelas mulu?" tanya Deva.

"Papa terlalu memforsirkan waktu belajar hingga hampir mati," ujar Fahri.

Deva memeluk pinggang sang papa sangat erat. Pemuda itu tidak suka akan ucapan Fahri barusan. Fahri tersenyum akan reaksi sang anak terhadap dirinya.

"Jangan berbicara papa akan mati. Dev sedih tahu," ujar Deva.

"Tidak nak. Itu kan dulu saat masa sekolah bukan sekarang," ujar Fahri mengelus rambut Deva.

"Kenapa harus ada ulangan sih?" gerutu Deva.

"Entahlah. Nanti papa akan hapus sistem itu," ujar Fahri.

"Nanti papa dikasih sanksi lagi sama dinas pendidikan," ujar Deva.

"Benar juga sih," ujar Fahri.

"Dev mau tidur saja," ujar Deva.

Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang