76

956 71 2
                                    

Tempat yang sangat ingin Deva kunjungi jaraknya lumayan jauh. Tidak masalah bagi Fahri asalkan sang anak bahagia. Bahkan selama perjalanan menuju tempat tujuan Deva nampak tersenyum bahagia.

Mereka kesana menggunakan kereta cepat agar tidak terlalu lama. Deva menempelkan wajahnya ke jendela kereta. Sang ayah tertawa akan tingkah random Deva. Anaknya itu memang tidak bisa diam apabila bersama dirinya. Deva menatap wajah sang ayah yang fokus memperhatikan pemandangan di luar jendela kereta.

"Papa setelah ke One Piece Tower ke pantai ya!" pekik Deva.

"Tentu," sahut Fahri.

"Inner child papa sudah terpenuhi semuanya?" tanya Deva terhadap sang ayah.

"Harusnya papa yang bertanya padamu mengenai itu," ujar Fahri.

"Selama ini papa telah memenuhi kebutuhanku jadi aku tidak memiliki inner child," jawab Deva.

"Eh?!" kaget Fahri tidak menyangka ucapan anaknya.

"Setiap perayaan hari ayah atau ibu memang aku sengaja tidak memberitahu papa. Aku tahu bahwa papa sibuk mencari uang demi diriku."

"Namun perayaan hari ibu tahun kemarin cukup berkesan karena kehadiran papa. Papa tidak malu datang ke acara hari ibu walaupun papa seorang pria."

"Papa juga tidak malu memiliki diriku yang tidak pandai dalam pelajaran akademik. Yah menurut diriku tidak ada inner child di dalam diriku."

"Sejak aku kecil hingga sekarang papa berusaha keras memenuhi setiap keinginan diriku. Dan papa menegaskan mengenai aturan apa yang boleh kulakukan maupun yang tidak boleh aku lakukan," ujar Deva panjang lebar.

"Menurut pandangan papa sekolah pertama seorang anak adalah di lingkungan keluarganya sendiri."

"Dulu bahkan papa tidak mengerti mengenai agama itu apa?"

"Hingga dikenalkan oleh kakeknya Hamiz. Akhirnya papa mengerti," ujar Fahri.

"Kakek dan nenek tidak tahu?" tanya Deva.

"Tidak. Mereka lebih fokus mengenai akademik," jawab Fahri.

"Liburan semester tahun depan ke Disneyland yuk pah!" ajak Deva.

"Boleh," sahut Fahri.

"Papa, Leo pacarnya ada dua puluh lho," ujar Deva.

"Lha tuh anak mirip bapaknya banget," komentar Fahri.

"Irsyad pernah punya pacar, cuma dia putusin karena dimarahi habis-habisan sama om Ali semalaman katanya. Jadi Irsyad memilih putus aja daripada kena omel om Ali," lanjut Deva.

"Anak itu memang seperti Ali. Tipikal anak yang mudah terbawa arus jadi kadang harus diperhatikan lebih," ujar Fahri.

"Sandy bahkan lebih parah pernah mengajak Dev ke klub malam tahu," ujar Deva memberitahu.

"Awas kamu memasuki area terlarang itu," peringat Fahri.

"Dilarang sama Hamiz juga kok. Bahkan Hamiz langsung memukul perut Sandy karena ucapannya," ujar Deva.

"Hamiz dan Atha pasti anak baik. Hamiz pasti menahan diri mengenai kenakalan remaja dan menasihati kalian. Sementara Atha anak polos yang baru saja memasuki usia remaja," ujar Fahri.

"Aku heran sama papa," celetuk Deva.

"Heran mengenai apa?" tanya Fahri.

"Aku kehilangan mama saat usiaku tujuh tahun. Namun papa masih setia dalam status duda, padahal bisa saja papa menikah tanpa restu dariku," ujar Deva.

"Cinta papa telah habis untuk mama. Secantik apapun wanita yang diperkenalkan oleh kakek dan nenekmu kepada papa. Bagi papa tidak ada yang lebih cantik dibandingkan mama kamu," jawab Fahri.

"Jadi hingga papa tua nanti tidak akan menikah lagi?" tanya Deva.

"Tidak nak. Untuk apa menikah lagi. Bagi papa tidak perlu membuka lembaran baru untuk suatu kisah cinta. Ucapan papa mengenai menikah lagi setelah dirimu menikah kepada para sahabat hanya penenang agar mereka tidak mendesak papa tentang menikah."

"Lagipula diatas sana mama kamu menunggu papa sangat setia. Jadi papa akan setia untuk menyendiri agar bisa memeluk mama kamu lagi," sahut Fahri.

"Kenapa angka kelahiran di jepang rendah?" tanya Deva.

"Kebanyakan dari mereka memilih tidak menikah, bahkan walaupun menikah sebagian besar tidak mau memiliki anak," jawab Fahri.

"Kok gitu?" bingung Deva.

"Biaya hidup disini sangat mahal. Dibandingkan negara kita jadi yah untuk memiliki anak memerlukan biaya cukup besar," ujar Fahri.

"Langkah yang dilakukan pemerintah jepang apa?" tanya Deva.

"Disebabkan angka kematian semakin tinggi akibat kerja terlalu keras dan angka kelahiran rendah. Mereka membuat program bagi mereka yang ingin menikah, dan memiliki anak yaitu tunjangan dari pemerintah," ujar Fahri.

"Hebat dong. Mereka menikah bahkan mendapatkan tunjangan dari pemerintah," ujar Deva.

"Agar mereka tertarik menikah," sahut Fahri.

"Dev mengganggap papa layaknya sahabat. Tidak ada rasa canggung saat berbicara sama papa," ujar Deva.

"Bagus dong," sahut Fahri.

"Lama belum sampai," keluh Deva yang merasa bosan di kereta.

"Perjalanan dari tokyo ke hyogo memerlukan waktu empat jam," ujar Fahri.

"Susu!" rengek Deva kepada Fahri.

Fahri yang memang membawa sebuah tas membuka tasnya lantas memberikan susu strawberry yang memang dia bawa. Deva menerima bahkan berpindah tempat ke pangkuan sang ayah agar cepat tidur.

Pria itu mengelus punggung Deva agar segera tertidur tak lama Deva tertidur lelap. Pemuda yang sangat dingin di mata sahabatnya itu tidak peduli diledek manja.

"Jagoan papa mintalah apapun kepadaku. Diriku akan memenuhi setiap keinginan kau," ujar Fahri.

Deva sedikit tertawa akan ucapan sang ayah. Beberapa jam kemudian mereka tiba di tempat tujuan. Deva bahkan langsung berlari keluar saat kereta berhenti sang ayah sedikit kewalahan akan tingkah Deva.

Di dalam tempat yang disebut desa konoha Deva seperti anak kecil yang menemukan mainan baru. Deva berlarian kesana kemari sangat antusias.

Sang ayah tersenyum melihat wajah bahagia sang anak. Dia tidak masalah mengenai biaya perjalanan liburan asal sang anak bahagia.

Mereka berdua berkeliling cukup lama hingga beberapa jam kemudian Deva yang sudah kelelahan memeluk tubuh sang ayah.

"Lelah, nak?" tanya Fahri mengelus rambut Deva yang tampak basah disebabkan keringat.

"Laper mau makan," gumam Deva.

"Sebelum pulang ke restoran dulu. Setelah itu kita melaksanakan salat magrib dan isya ya," ujar Fahri.

"Hm," gumam Deva.

Deva mengerti dimanapun mereka berada mengenai kewajiban beribadah tidak pernah dilupakan sang ayah. Bahkan Fahri pernah memarahinya karena Deva lupa salat.

Sosok Fahri sangat tegas mengenai agama dia bahkan sering menghukum Deva apabila melupakan kewajiban salat. Walaupun Fahri bukan lulusan suatu pondok pesantren.

"Kamu jalan sendiri saja," ujar Fahri.

"Mager," sahut Deva memasang wajah memelas kepada Fahri.

Fahri akhirnya menggendong sang anak di depan. Interaksi mereka sedikit ditatap aneh oleh orang sekitar.

Namun seperti biasa Fahri tidak peduli mengenai itu semua. Fahri lebih memilih mencari restoran terdekat.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan agar penulis semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Rabu 17 Januari 2024

Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang