49

1K 80 5
                                    

Semilir angin sore membuat suasana mengantuk. Di sebuah taman bermain ada sosok pemuda tengah memandang datar canda tawa sebuah keluarga kecil bahagia.

"Mama bahagia dengan keluarga barunya," ujar Deva.

Yah sejak tadi Deva memperhatikan keharmonisan keluarga kecil sang ibu. Pemuda itu tidak bisa mendekat disebabkan suatu hal yang sudah dia ketahui.

"Bolehkan aku membenci adikku sendiri karena merebut mama?" monolog Deva.

Pemuda itu mengepalkan tangannya melihat sosok anak kecil yang tertawa bersama dengan sosok ibunya. Deva tidak suka akan itu semua. Dia ingin egois agar semua perhatian ibunya untuk dirinya saja.

"Itu bukan kesalahan adikmu," ujar seseorang.

"Papa cenayang. Muncul dimana saja seperti setan," gerutu Deva.

Jitakan cukup keras didapatkan Deva karena ucapan dia barusan. Deva hanya meringis saja. Kadangkala Deva heran ayahnya itu seperti seorang setan saja dimanapun dia berada pasti dia tahu.

"Gak meeting, pah?" tanya Deva.

"Baru saja selesai," ujar Fahri.

"Deva boleh berkata kebenaran ini semua kepada mama sekarang?" tanya Deva.

"Boleh saja. Kau bicarakan saja sekarang. Tapi saran papa kau berbicara empat mata saja," ujar Fahri.

"Kalau respon mama mengecewakan diriku boleh ya aku membenci ibuku sendiri?" tanya Deva ragu.

"Tidak boleh sayang. Dia orang yang melahirkan dirimu ke dunia ini," ujar Fahri.

"Papa tidak menikah lagi?" tanya Deva.

"Tidak ada wanita yang seperti ibumu," ujar Fahri.

"Dev ke mama sebentar," ujar Deva.

"Iya nak," ujar Fahri.

Deva tersenyum dia berlari kearah ibunya. Fahri melihat saja dia membiarkan tindakan sang anak.

Deva yang muncul di hadapan keluarga kecil membuat kaget mereka semua. Anak kecil yang berada disana menatap Deva antusias.

"Wah kakak keren!" pekiknya.

"Hm aku boleh berbicara sebentar dengan tante Bella," ujar Deva ragu.

"Kalau kau ingin berbicara dengan istriku disini saja anak muda," ujar pria dewasa yang menatap tidak suka Deva.

"Aku takut om tidak akan percaya ucapanku," ujar Deva ragu.

"Kenapa ucapanmu berbelit-belit. Lebih baik langsung intinya saja!" tegasnya.

"Kau kaku sekali. Dia putraku jangan terlalu keras terhadapnya," ujar Fahri yang datang.

"Papa tidak usah ikut campur dulu!" pekik Deva.

"Lagipula ini berhubungan dengan papa juga," ujar Fahri.

"Lha elu si trouble maker sekolah!" pekik pria dewasa tersebut.

"Sudah lama tidak bertemu Riki. Orang yang menjadi saingannya Rivaldo dulu," ujar Fahri.

"Heh kau masih dendam dikarenakan aku mengalahkan kakakmu itu," ujar Riki meledek Fahri.

"Aku tidak peduli mengenai itu semua. Disini aku hanya mengantarkan putraku saja menemui ibunya," ujar Fahri.

"Bella istri gua bodoh!" kesal Riki menarik kerah baju Fahri.

"Yah sekarang dia memang istri lu, tapi di masa lalu dia istri gua," ujar Fahri santai melepaskan tangan Riki dari kerah bajunya.

"Maaf pak Mahendra saya tidak mengerti maksud anda," ujar Bella bingung.

"Lebih baik anda berbicara berdua saja dengan putraku," ujar Fahri.

"Lu mau merebut istri gua?!" kesal Riki.

"Bukan papa yang merebut, sebaliknya malah om yang merebut mama dariku," ujar Deva.

Riki menatap tajam Deva. Dibalas tatapan lebih tajam oleh Deva. Fahri tersenyum miring saja akan keberaniaan anaknya.

"Aku akan mengatakan semuanya. Kalian mau percaya atau tidak terserah," ujar Deva.

"Katakan saja. Aku yakin kau hanya akan mengatakan omong kosong saja," remeh Riki.

Pemuda itu menceritakan segalanya mengenai sang ibu. Bella tampak terkejut bahwa pemuda di depannya mengetahui semua hal tentang dirinya.

"Sebagai tambahan kau pernah koma," ujar Fahri.

"Tapi kenapa kalian baru muncul sekarang?" tanya Bella heran.

"Bagaimana kita tahu bahwa mama masih hidup. Kan kita berdua hanya melanjutkan hidup saja setelah grandpa berkata bahwa mama itu tiada saat insiden itu," jawab Deva.

"Kalau belum mengingat semuanya tidak masalah. Aku hanya ingin mengatakan bahwa putra kita Deva sangat merindukan dirimu Bella," ujar Fahri merangkul pundak sang anak.

"Ayo pah," ujar Deva.

Pria dewasa menggangguk dia pergi dari hadapan keluarga kecil itu. Bella menatap dalam diam kepergian mereka berdua. Riki sedikit kesal akan ucapan Deva beberapa menit yang lalu.

"Aku memang sering bermimpi bahwa ada sosok anak kecil yang memanggil dirinya sebagai Deva. Ternyata dia putra pertamaku, tapi aku malah belum mengingat dia dengan jelas," batin Bella.

"Kita pulang saja," ujar Riki.

Mereka memutuskan pergi dari taman. Walaupun Bella memikirkan ucapan dari Deva mengenai dirinya.

Jangan lupa tinggalkan vote, komentar dan kritikan bagi penulis agar semakin bersemangat menulis

Sampai jumpa

Selasa 10 Oktober 2023

Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang