50

1.1K 74 11
                                    

Sementara di tempat lain ada Deva yang memeluk erat tubuh Fahri sangat erat. Pemuda itu menangis dalam diam bergumam banyak hal yang hanya bisa didengarkan oleh sang ayah.

"Fahri!" panggil Rey.

Fahri melirik kearah lain. Pria dewasa itu menunduk dan melindungi sang anak dari tembakan peluru. Tak lama ada puluhan pria berbaju hitam mengepung mereka berdua.

"Zyandru!" panggil Fahri kepada Deva.

Deva mengangkat kepalanya menatap wajah sang ayah sejenak. Pemuda itu melepaskan pelukan dari sang ayah. Kedua pria berbeda usia itu memasang posisi siaga saling melindungi satu sama lain.

"Kita bertaruh pah," ujar Deva.

"Heh siapa takut," ujar Fahri menerima tantangan sang anak.

Mereka berdua saling melirik satu sama lain. Saat para penyerang maju mereka dengan cepat menghajar mereka satu-persatu.

Beberapa menit kemudian semua musuh telah berhasil dilumpuhkan. Kisaran tiga puluh orang mampu dikalahkan oleh mereka berdua. Ayah dan anak itu tersenyum satu sama lain walaupun sedikit kelelahan.

"Berapa, pah?" tanya Deva.

"18 orang," ujar Fahri.

"Argh papa kok tidak mau ngalah dari anaknya sendiri," protes Deva tidak menerima kekalahannya.

"Sudahlah nak. Kita berdua lebih baik pergi dari sini. Mengenai taruhan itu anggap saja papa kalah," ujar Fahri santai.

"Dev minta es krim ya," ujar Deva.

"Ayo kita beli!" ajak Fahri.

"Yeah es krim!" pekik Deva senang.

Fahri terkekeh geli melihat tingkah menggemaskan sang anak. Kadangkala Deva itu seperti anak remaja pada umumnya yang sering melawan semua ucapan darinya. Duda itu tidak masalah akan kenakalan sang anak. Lagipula kenakalan Deva masih dibatas wajar.

Fahri bahkan senang apabila Deva lebih terbuka mengenai tingkah nakal dia sendiri. Anaknya juga masih sedikit tertekan akibat ekspestasi dari orang-orang yang mengharuskan dia menjadi serba bisa. Fahri tidak masalah mengenai prestasi akademik Deva di sekolah, lagipula Deva memiliki kelebihan sendiri dan itu lebih dari cukup bagi Fahri.

"Papa, ayo! nanti es krim favorit Dev habis!" teriak Deva yang melihat sang ayah malah melamun.

Duda itu berlari menghampiri sang anak. Mereka berdua berjalan menuju kedai es krim langganan mereka sejak dulu.

Kedai es krim sederhana yang terlihat cukup sudah tua menjadi langganan mereka. Deva tidak masalah dibelikan es krim murah dia bukan tipikal anak yang pemilih juga.

"Kamu duduk saja nak. Papa yang akan pesankan seperti biasanya," ujar Fahri menepuk pundak sang anak.

"Otey," jawab Deva.

Pemuda itu duduk di bangku tak jauh dari kedai es krim. Deva melirik kearah samping karena mendengar suara dari kedua anak kecil yang menginginkan es krim juga, tapi mereka tidak memiliki uang sama sekali.

Deva berdiri menghampiri sang ayah. Dia menepuk pundak ayahnya. Fahri mengernyitkan dahi bingung akan kehadiran sang anak.

"Pah belikan dua es krim cokelat sekalian," ujar Deva.

"Jangan kebanyakan memakan es krim nak," nasihat Fahri.

"Bukan untukku. Aku mau kasih sama anak kecil yang duduk disana," tunjuk Deva mengarahkan telunjuknya kearah bangku yang tadi dia tempati.

"Ok deh," ujar Fahri.

Deva kembali duduk di bangku tadi. Dia melirik kearah kedua anak kecil yang sepertinya kakak beradik itu.

Deva (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang