Fabian keluar dari mobil bersama Marlo di sampingnya. Ia sedikit heran karena Vani bisa berakhir di tempat seperti ini. Bukankah seharusnya Vani bisa menikmati apa yang sudah didapatkan dari almarhum Papanya dulu. Yah, mungkin benar apa kata orang, yang namanya segala tindakan kita di dalam kehidupan ini, memiliki konsekuensinya masing-masing. Berbuat tidak baik hingga membuat sebuah rumahtangga hancur, ada anak yang harus merasakan broken home, balasannya justru kini menjadi ODGJ. Sudah seperti kisah sinetron azab di stasiun televisi ikan terbang.
"Mar, Lo beneran valid 'kan kasih informasi ini ke gue?"
Pertanyaan Fabian membuat Marlo memutar kedua bola matanya dengan malas. Sepertinya mantan teman sekolahnya ini sangat meragukan kemampuannya. Padahal ia sudah berkecimpung di dunia ini sejak dirinya masih bersekolah. Ini semua karena almarhum Papanya yang selalu mengajaknya bekerja setiap kali ia sedang libur sekolah. Kata almarhum Papanya dulu, daripada membayar jasa orang lain, lebih baik uangnya diberikan kepada anaknya sendiri walau konsekuensinya anaknya harus ikut meringankan pekerjaan orangtuanya.
"Kapan sih gue pernah ngecewain lo masalah hal beginian?"
"Pernah. Dulu lo enggak valid kasih informasi tentang bini gue. Gue malah tahu sendiri pas dia ngaku kalo sebenarnya dia anaknya Galih Sudjatmiko Utama. Jangan bilang lo tiba-tiba amnesia."
Marlo tertawa saat mendengar kata-kata Fabian ini. Karena istri Fabian yang terlalu menutup diri hingga tidak pernah muncul di depan publik. Itu yang membuat dirinya sedikit kesulitan mendapatkan informasi apapun tentang sosok Deva. Deva begitu misterius karena tidak pernah ada yang membicarakannya sama sekali di lingkungan para pengusaha dan anak-anak mereka.
Kini Fabian mulai melangkahkan kakinya menuju ke arah pintu utama rumah sakit jiwa ini. Marlo memilih berjalan dua langkah di belakang Fabian. Apalagi saat Fabian menanyakan di mana Vani berada. Marlo memilih diam dan menunggu saja. Andai bisa, rasanya ia malas mengikuti Fabian sampai di tempat ini.
"Mar?" Panggilan Fabian membuat Marlo mengangkat pandangannya dari yang sejak tadi menatap layar smartphonenya.
"Apa?" Tanya Marlo sambil ia memasukkan kembali handphonenya ke dalam saku celana.
"Ayo, buruan kita masuk."
Marlo mencoba menarik oksigen sebanyak-banyaknya dan pelan-pelan ia embuskan perlahan. Saat ia sudah merasa yakin bahwa nantinya ia tidak akan ketakutan berada di dalam rumah sakit jiwa ini, Marlo segera berdiri. Ia kemudian berjalan mendekati Fabian. Saat Marlo sudah cukup dekat dengan dirinya, Fabian segera melangkahkan kakinya menuju ke arah bangsal para penghuni berada. Fabian memilih berjalan di belakang seorang perawat laki-laki yang mengantarkan dirinya dan Marlo.
Jika Fabian mencoba fokus kepada tujuannya datang ke mari dan mengabaikan para penghuni tempat ini, berbeda dengan Marlo. Marlo sudah memepet Fabian sejak mereka semakin berjalan masuk ke dalam hingga membuat Fabian merasa risih sendiri.
"Lo ngapain sih, Mar?"
"Takut gue, Bi."
"Kagak ada setan di sini. Lagian ini siang hari."
"Mending setan kemana-mana, Bi. Karena kalo ngamuk enggak akan bikin kita babak belur. Kalo mereka para penghuni tempat ini, lain. Lebih nakutin."
Fabian memilih tidak menanggapi ocehan Marlo ini. Lagipula badan saja yang besar tapi mental seperti bocah sekolah dasar. Marlo... Marlo, riwayatmu kini, sungguh tidak ada gagah-gagahnya sebagai seorang laki-laki.
Setelah mengikuti perawat itu berjalan untuk menuju bangsal perawatan, akhirnya Fabian sampai di depan pintu kamar Vani. Tampak di sana Vani sedang duduk di dekat jendela sambil memandang halaman rumah sakit. Fabian bisa melihat tatapan mata Vani yang tampak kosong. Seakan Vani hanya seonggok tubuh yang hidup tapi tidak memiliki nyawa di dalamnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Duda Meet Janda (Tamat)
General FictionSpin off from #Defabian and Seducing Mr. Julien. Joanna Tan, seorang wanita pebisnis berusia 55 tahun yang tidak pernah memiliki keinginan untuk menikah kembali setelah pernikahannya dengan mantan suaminya yang bernama Ferdian Kawindra gagal di ten...