74. Breakfast

1K 150 5
                                    

Joanna tidur dengan tidak nyaman di ranjang khusus penunggu pasien yang ada di dalam kamar perawatan Andi. Sudah sejak tadi Andi tidur lebih dulu daripada dirinya. Mungkin karena efek obat yang ia minum tadi. Kini mau tidak mau Joanna terpaksa bangun dan berjalan menuju ke arah kulkas berada. Ia mencoba membuka kulkas itu. Joanna cukup kaget karena semua makanan serta buah yang ada di dalam sini adalah kesukaan Deva. Kini mau tidak mau ia jadi teringat pada menantu tunggalnya itu. Tanpa banyak membuang waktu, Joanna mengambil satu jus jambu kemasan dari dalam kulkas dan menutupnya lagi.

Ia kembali berjalan menuju ke arah sofa dan mengambil handphone miliknya yang sedang di charger. Kini ia cabut dan hidupkan kembali handphone miliknya. Joanna memilih berjalan menuju ke pintu keluar agar ia bisa menelepon Deva dengan tenang. Saat sudah berada di luar kamar perawatan Andi, Joanna langsung mencari nomer telepon menantunya itu dan  menghubunginya.

Tutt.....

Tutt.....

Tutt.....

Suara nada sambung telepon itu kembali terdengar. Kini setelah nada sambung ketiga akhirnya Deva mengangkat panggilan Joanna.

"Assalamualaikum, Ma?"

"Waalaikum salam, Dev."

"Mama enggak pulang malam ini?"

"Mama nunggu Andi di rumah sakit. Oh, iya Dev, Mama mau minta maaf sama kamu tentang kejadian tadi siang. Seharusnya sebagai seorang ibu, Mama tidak seperti itu. Maafin Mama, ya?"

Di ujung telepon, mata Deva sudah membelalak lebar saat mendengar kata-kata Joanna ini. Tidak ia sangka jika Joanna justru meminta maaf lebih dulu kepadanya. Padahal jika dirunut lebih dalam, bukan Joanna yang seharusnya meminta maaf tetapi dirinya. Ia yang sudah memulai konflik ini lebih dulu.

"Ma, aku yang seharusnya minta maaf. Sebenarnya tadi aku mau minta maaf langsung ke Mama tapi Mama malah sudah masuk lift lebih dulu."

Joanna tersenyum saat mendengar kata-kata menantunya ini. Ia tahu jika sesampah-sampahnya mulut menantunya ini, Deva adalah orang yang tidak akan segan-segan minta maaf jika ia memang bersalah.

"Iya, Dev enggak pa-pa. Hasil tes tadi menunjukkan kalo tangan kiri Andi retak."

"Innalilahi, terus gimana sekarang keadaan om Andi, Ma?"

"Alhamdulillah sudah membaik. Sekarang dia sudah tidur."

"Temani bobok deh, Ma."

"Enggak bisa, Dev. Mama lagi mikir ini, besok Andi sudah boleh pulang, tetapi kasihan juga dia, enggak ada yang merawat. Sedangkan kalo Mama ajak pulang ke rumah kalian, dia pasti enggak bisa istirahat. Tahu sendiri anak-anak gimana kalo ke Andi."

Deva memamerkan senyum tiga jarinya. Otaknya mulai berpikir keras, solusi apa yang bisa ia berikan untuk Joanna dan Andi saat ini. Beberapa saat berpikir, akhirnya Deva menemukan solusinya.

"Ma, ajak Om Andi ke guest house aku yang di daerah Wonosari aja gimana, Ma? Hitung-hitung sekalian liburan gitu."

Satu detik ...

Dua detik ...

Tiga detik....

Joanna hanya bisa diam dengan mulut sedikit terbuka. Apa Deva kira jarak Jogja ke Wonosari itu dekat? Mereka bahkan harus menempuh perjalanan selama satu jam lebih dengan menggunakan mobil.

"Terlalu jauh, Dev. Mama enggak mau."

Deva menghela napas panjang, kini pilihannya hanya ada dua tempat lagi, rumah orangtuanya atau rumah almarhumah Eyang Putrinya yang lokasinya tidak jauh dari rumah Fabian ini.

When Duda Meet Janda (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang