113. Sama-sama sudah tahu

898 130 0
                                    

Ceklek....

Anin memasuki penthouse miliknya dengan wajah yang lelah bercampur gemas. Sejak pulang dari kantor, ia memilih mengikuti Fabian ke manapun Fabian pergi dengan menggunakan motor. Jika hanya menggunakan motor matic dan penampilan biasa saja, itu pasti akan mudah ketahuan. Agar misi yang ia kerjakan berhasil, Anin bahkan menggunakan motor sport dengan mesin 250cc. Untung saja ia masih ingat cara mengendarai motor itu dulu ketika masih bersekolah. Jika tidak, entah akan bagaimana tadi dirinya di jalanan.

Kini Anin memilih berjalan memasuki kamarnya. Saat sampai di kamar, ia langsung membersihkan dirinya dan setelah ia menggunakan lingerie berwarna salem, Anin segera menghubungi Joanna. Joanna harus tahu semuanya. Fabian sudah terang-terangan mencari informasi tentang Ferdian dan Vani. Lebih baik segera saja Fabian diberitahu semuanya oleh Joanna daripada Fabian menerima informasi itu dari orang lain.

Beberapa saat Anin menunggu telepon itu diangkat oleh Joanna hingga akhirnya suara khas orang bangun tidur bisa Anin dengar kali ini di ujung telepon.

"Hallo, Nin?"

"Hallo, Jo. Kamu sudah tidur?"

"Iya. Tadi sudah tidur, tapi karena kamu telepon, aku jadinya kebangun."

"Duh, maaf, Jo aku terpaksa hubungi kamu tengah malam begini. Karena aku rasa hal ini tidak bisa diundur sampai besok."

"Santai saja, Nin. Memangnya ada apa?"

"Fabian datang ke rumah keluarganya Vani tadi sepulang dari kantor dan dia langsung bertemu dengan kakaknya Vani di sana."

Satu detik...

Dua detik...

Tiga detik...

Joanna terdiam di atas ranjang tempat tidurnya saat ini. Ia tidak bisa membayangkan kenekatan anaknya itu. Sepertinya memang Fabian benar-benar telah mendobrak aturan yang ia berikan. Padahal Joanna merasa sudah cukup untuk memberikan informasi tanpa harus menjelek-jelekkan Ferdian di depan Fabian. Jika Fabian mencari informasi seorang diri seperti ini, bisa dipastikan jika ia akan mendapatkan berbagai macam informasi tentang almarhum Papanya yang kemungkinan besar sangat jauh dari apa yang ia tahu selama ini. Ferdian tidak sebaik yang Fabian duga baik di kehidupan sosial bermasyarakat apalagi di kehidupan pribadinya. Ambisi Ferdian untuk memiliki semua yang ia inginkan benar-benar membuatnya terkadang menghilangkan sisi kemanusiaan yang ada di dalam dirinya.

"Apa kamu bisa dapat informasi tentang pembicaraan mereka berdua, An?"

"Enggak bisa, Jo. Tapi dari apa yang bisa aku perhatikan, kakaknya Vani mengusir Fabian dari depan pintu rumahnya."

"Di usir? Se... Serius kamu, Nin?"

"Iya, Jo. Aku sih lihatnya begitu. Coba aja kamu hubungi kakaknya Vani dan menanyakan hal ini."

"Enggak, Nin. Walau aku berusaha memiliki hubungan yang baik dengan semua orang, tapi aku juga punya filter untuk membedakan mana yang layak aku jadikan teman dan mana yang tidak. Sedangkan Levita belum mampu menembus filter pertemanan itu hingga aku bisa menganggapnya sebagai orang yang bisa aku tanyai apa saja."

"Ya sudahlah, Jo. Aku cuma mau bilang itu dan ingetin kamu kalo Fabian sudah sejauh ini, kemungkinan besar adalah Marlo yang memberikan petunjuk sama dia. Apalagi mereka ini teman satu angkatan semasa sekolah. Walau kita sudah mengingatkan Marlo tentang perjanjian itu, tapi ya gitu, Jo rasa solidaritas Marlo terlalu tinggi."

Joanna menghela napas panjang. Kini ia menutup kedua matanya dan mau tidak mau ia harus memikirkan langkah selanjutnya yang harus dirinya ambil. Luar biasa, padahal ia mengira dengan memindahkan Vani ke rumah sakit jiwa yang ada di Semarang, maka itu akan membuat masalah ini selesai. Nyatanya tidak, rasa penasaran Fabian terlalu menggebu-gebu dan tidak bisa dibendung lagi.

When Duda Meet Janda (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang