143. Curhat pada Anin

728 132 3
                                    

Sinar matahari yang masuk melalui celah-celah jendela kamarnya membuat Andi membuka matanya. Semalam ketika ia sampai di rumah, ternyata sudah cukup larut malam karena ada kecelakaan di tol. Kini saat ia menoleh untuk melihat jam weker kecil yang ada di meja dekat ranjangnya, kedua mata Andi langsung membelalak lebar. Nyawanya bahkan langsung berkumpul tanpa harus goler-goler di atas kasur.

Damn it!

Ia bangun kesiangan pagi ini. Cepat-cepat Andi berlari ke kamar mandi, mandi dan langsung on the way ke kantor. Ia bahkan tidak sempat mengecek handphonenya apalagi sarapan pagi ini. Tidak peduli ia bekerja di perusahaannya sendiri yang kini telah menjadi perusahaan terbuka, tetapi tetap saja ajaran orangtuanya untuk mengikuti SOP perusahaan tetap ia jalankan. Tidak ada istilah terlambat datang ke kantor. Pagi ini pun Andi sudah meminta supirnya untuk cepat-cepat sampai di kantor. Pukul sembilan pagi ia ada jadwal meeting dengan beberapa calon investor yang akan menaruh investasinya di perusahan.

"Bisa cepat sedikit enggak sih, Bin. Biar kita cepat sampai."

"Bisa, Pak. Nanti cepat sampainya di akhirat."

Andi menghela napas panjang. Ia tahu pertanyaannya sangat konyol terlebih saat melihat apa yang ada di hadapannya adalah kemacetan ketika akan keluar pintu tol.

"Saya serius, Bin. Saya enggak berani buka kerjaan karena kita harus buru-buru sampai."

"Iya, Pak. Makanya jangan kebanyakan pacaran sampai lupa jam pulang. Udah kaya ABG aja."

"Udah, kamu nyetir buruan. Tancap gas cepat-cepat."

"Ya, Pak."

Kini Bintang memilih diam. Ia sebenarnya cukup terkejut dengan Andi yang tampak panik pagi-pagi. Biasanya jika di situasi seperti ini, Andi akan dengan senang hati menggunakan jasa sewa helikopter agar tidak terjebak macet, tapi ini kenapa justru memintanya membelah kemacetan ibu kota yang setiap pagi seruwet hidup Bintang.

Di waktu yang sama, di dalam ruangan kantornya, Joanna sudah sibuk menekuni pekerjaannya. Terserah Andi jika memang memilih mengabaikan pesan dari dirinya. Yang terpenting ia tidak akan menanggung semua ini sendirian.

Tok...

Tok....

Tok....

"Come in."

Ceklek....

Joanna tersenyum kala melihat Anin masuk ke ruangannya.

"Good morning, Nin."

"Good morning, Jo. Gimana liburan kamu kemarin sama Andi?" Tanya Anin sambil mulai duduk di kursi yang ada di hadapan Joanna.

Setelah ia duduk, Anin langsung mengulurkan sebuah map kepada Joanna yang langsung diterima Joana sambil mengatakan terimakasih.

"Cukup menyenangkan, Nin. Lumayan juga buat negrefresh otak."

"Aku ikut senang dengarnya. Semalam aku melihat kamu dan Andi cukup bisa menyatu dengan Warren dan Simon."

"Begitulah. Sepertinya Andi cukup bisa diterima oleh keluarga aku."

Anin tersenyum sambil menggelengkan kepalanya. Apa Joanna gila, jika sampai laki-laki dengan spesifikasi seperti Andi saja ditolak oleh keluarganya, memang mereka mau mencari yang seperti apa lagi? Terlebih usia Joanna sudah bukan dalam usia untuk berburu dan memburu. Joanna lebih tepat seperti seorang ular yang sudah terlalu besar dan tua yang pekerjaannya hanya menunggu targetnya untuk datang.

"Memang mau nyari yang kaya gimana lagi kalo yang kaya Andi sampai ditolak-tolakin. Kaya mereka sempurna aja."

Mendengar komentar Anin ini, Joanna memilih menyandarkan tubuhnya di sandaran kursi kerjanya yang cukup tinggi. Kini ia melipat tangannya di depan dada sambil melihat Anin. Dalam hatinya ia berpikir keras, haruskah ia menceritakan semuanya kepada Anin tentang kejadian semalam saat Fabian, Warren dan Deva memintanya untuk menikah secara siri dengan Andi dahulu. Baiklah, memang ia tidak pernah menyembunyikan apapun dari Anin. Anin terlalu cerdas sebagai seorang shemale.

When Duda Meet Janda (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang