30. Enggak tahu diri

1.6K 177 3
                                    

Joanna menundukkan kepalanya sambil melihat kakinya yang mulai terasa sakit. Sejak Andi membuang sandal miliknya ke laut semalam, ia harus puas dengan berjalan secara nyeker ke sana kemari. Kini sepatu gunung miliknya yang berwarna abu-abu dan pink yang belum ia kenakan sepertinya tidak akan banyak menolong kondisi kakinya saat ini.

"Jo, buruan kamu pakai sepatunya. Kita harus jalan sekarang," kata Andi yang sudah siap dengan tas gunung yang tidak seberat kemarin ketika ia membawanya pertama kali.

"Kamu duluan aja, An. Sekalian tolong awasin anak-anak juga."

Andi menghela napas panjang dan ia langsung berkacak pinggang. Joanna benar-benar menguji batas kesabarannya sejak tadi. Mulai dari ia yang lebih banyak berdebat dengan Enzo hingga drama tentang bajunya yang mulai basah karena keringat.

"Enggak bisa begitu. Ayo buruan kamu pakai sepatunya terus aku tungguin."

Joanna hanya menatap Andi beberapa saat kemudian ia segera mengenakan sepatu miliknya. Ia tidak mau semakin lama berdebat dengan Andi. Selesai memakai sepatu gunung miliknya, Joanna segera melangkahkan kakinya menuju ke arah Andi yang sedang menunggunya.

"Ayo, An kita jalan," kata Joanna ketika melewati Andi.

"Jalan ke mana?" Tanya Andi yang masih diam saja dan ia memperhatikan langkah kaki Joanna yang seperti orang menahan sakit di telapak kaki.

"Parkiran mobil nyusul anak-anak."

Joanna memilih menjawab Andi dengan terus berjalan dan tidak membalikkan tubuhnya. Ia tidak mau Andi melihatnya yang berjalan dengan menahan rasa sakit hingga beberapa kali dirinya sampai meringis.

"Oh, aku kira kamu ngajakin jalan ke KUA."

Ya Allah, ya Gusti....
Joanna mencoba menutup kedua matanya sekejap lalu ia membukanya kembali. Ia berharap semoga Tuhan benar-benar bisa membuat laki-laki ini sedikit cool dengan tidak banyak membuka mulutnya. Karena setiap kali Andi membuka mulutnya, selalu saja itu berhasil memancing tombol on off emosi yang ada di dalam diri Joanna.

Joanna tidak menanggapi kata-kata Andi. Ia memilih terus berjalan ke arah parkiran mobil berada. Dalam hati ia sudah sangat menanti saat-saat di mana Andi akan go away dari hidupnya. Semoga saja itu tidak akan lama lagi terjadi.

Andi yang melihat Joanna seakan berusaha untuk terus mengabaikannya hanya bisa memilih untuk berjalan di belakang tubuh Joanna. Sesekali Andi melihat ke kiri dan kanannya untuk menikmati pemandangan yang begitu indah. Rasanya berjalan dalam keadaan sepi dengan Joanna yang ada di depannya benar-benar sangat membosankan. Tanpa Andi sadari menggoda Joanna adalah salah satu hal yang nyatanya mampu membuatnya cukup senang dan mampu mengusir rasa sepinya. Andi benar-benar menikmati setiap kemarahan yang Joanna muntahkan kepadanya.

"Kayanya enak ya, Jo kalo punya villa di pinggir tebing pantai gini. Kira-kira kalo aku bikin villa di pinggiran tebing gini, gimana?"

"Enggak gimana-gimana. Memangnya kenapa?"

"Masa kamu enggak melihat aku sebagai kandidat calon suami yang potensial, Jo."

Joanna menggigit bibir bawahnya agar dirinya tidak tertawa saat mendengar kata-kata Andi ini. Andi kira baginya hal ini adalah hal yang istimewa? Tentu saja tidak, karena ia memiliki beberapa villa di pulau Bali serta Lombok. Beberapa villa miliknya bahkan ia sewakan kepada para warga negara asing dengan sistem kontrak tahunan.

"Sorry, An. Bagiku, kamu itu rekan bisnis yang potensial bukan calon suami yang potensial."

"Aku tajir lho, Jo. Rumah sama tanah banyak. Villa-resort bintang lima ada beberapa. Punya bisnis developer perumahan di beberapa kota besar. Kerjaanku di belakang layar jadi bandar saham. Biar kelihatan sibuk, setiap 5 hari dalam seminggu aku kerja di kantor. Kalo enggak begitu nanti dikira aku ternak tuyul."

When Duda Meet Janda (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang