93. Pagi yang panas membara

1.8K 133 7
                                    

Sepanjang perjalanan menuju ke rumah almarhumah Eyang Deva, Andi mencoba untuk mengajak Joanna mengobrol karena ia takut Joanna masih mengantuk. Anggap saja ini sebagai tindakan preventif untuk menyelamatkan nyawa mereka berdua dikarenakan saat ia melirik speedometer, Andi bisa melihat Joanna yang tancap gas melebihi 60 kilometer per jam. Kecepatan yang bisa digolongkan sebagai mengebut apalagi di lalu lintas tengah kota seperti ini.

"Kamu enggak tanya aku tadi mampir ke mana dulu gitu, Jo?"

"No." Joanna mencoba menjawab pertanyaan Andi dengan jawaban-jawaban singkat. Sejujurnya ia sudah lelah dan ingin segera sampai di rumah.

"Why?" Tanya Andi untuk memancing Joanna agar lebih banyak berbicara.

"For what?"

Kenapa Joanna sok polos dan tidak peka begini? Jika Joanna seperti ini, mau tidak mau Andi harus menerangkan semua maksud pertanyaannya tanpa ada basa basi. "Biasanya 'kan perempuan selalu tanya sama pasangannya kalo datang terlambat. Misal seperti mampir ke mana kok sampai telat datang? atau udah mikir yang enggak-enggak pakai acara cek ke handphone aku."

Joanna tertawa dibalik kemudi mobilnya. "It's not me," ucap Joanna di sela-sela tawanya.

"Yang bener?" Goda Andi sambil mencolek lengan kiri Joanna dengan jari telunjuk tangan kanannya.

"Iya, An. Aku bukan tipikal perempuan yang terlalu ingin tahu urusan pasangan aku kalo dia sendiri enggak cerita sama aku," terang Joanna dengan santai kemudian ia menarik napas dalam-dalam dan pelan-pelan ia embuskan perlahan. "Itu juga penyebab aku terlambat mengetahui perselingkuhan Ferdian dulu."

"Biasanya orang bakalan belajar dari pengalaman kegagalan dia. Kenapa kamu enggak melakukan itu?"

Joanna memilih menggelengkan kepalanya sebagai jawaban untuk Andi. Ia memilih tidak mengatakan sepatah katapun lagi kepada Andi. Joanna tidak mau mengungkit hal-hal yang akan membuatnya mengingat lagi hal-hal tidak menyenangkan yang pernah ia lalui di hidupnya dulu.

Baiklah, daripada kebaikannya tidak mendapatkan pahala dari Tuhan, lebih baik Andi diam dan tidak meneruskan topik pembicaraan mereka berdua.

Saat berhenti di lampu merah, Andi bisa melihat Joanna yang menguap hingga akhirnya ia ulurkan botol air mineral kepada Joanna setelah ia buka tutupnya terlebih dahulu.

"Jo, minum dulu," ucap Andi yang membuat Joanna menolehkan kepalanya ke arah kiri.

Joanna tersenyum dan ia ambil air mineral yang diulurkan oleh Andi. Setelah itu ia langsung meminum air itu. Beberapa saat kemudian, ia ulurkan lagi botol air minum kemasan yang sudah kosong itu kepada Andi. "Thanks, An."

"Sama-sama. Jangan ngantuk ya, nyetirnya?"

Joanna tertawa dan ia anggukkan kepalanya. Tidak lama kemudian lampu merah itu berubah menjadi hijau dan kini Joanna segera tancap gas kembali.

Saat sampai di rumah almarhumah Eyang Deva, Joanna langsung turun dari mobil dan menuju ke arah pintu utama rumah. Andi yang baru saja mengikuti Joanna turun dari mobil harus menghentikan langkah kakinya karena sebuah pesan yang masuk ke handphonenya dari Bintang.

Bintang : Pak, Saya sudah selesai mengurus berkas kepindahan ibu Vani. Saya pindahkan ibu Vani ke rumah sakit jiwa yang ada di Semarang. Ibu Levita saat ini bersama saya di Magelang. Besok pagi kami akan ikut mengantarkannya ke Semarang.

Andi tersenyum ketika mengetahui rencananya berhasil. Setidaknya ia sudah satu langkah di depan Fabian saat ini.

Andi : Okay, terimakasih, Bin. Selesai mengurus Vani, kamu langsung urus Erlan dan ajak dia pulang ke Jakarta.

When Duda Meet Janda (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang