"Gimana, kamu sudah bisa lihat sendiri 'kan kalo Mama itu butuh pendamping," tutur Deva sambil menatap Fabian yang sejak tadi memilih duduk dan memperhatikan hasil gambar CCTV di smartphone miliknya.
Fabian memilih diam dan terus memperhatikan interaksi sang Mama dengan Andi di layar tersebut.
"Jadi anak jangan egois. Aku yakin Mama juga punya rasa suka sama Om Andi. Daripada kamu menentang hubungan mereka, lebih baik kamu coba mengenal Om Andi lebih dekat sebagai seorang calon Papa sambung. Jangan cuma kamu kenal dia sebagai rekan bisnis."
Karena Fabian yang masih diam saja sejak tadi dan tidak bereaksi apa-apa, Deva akhirnya nyerocos tiada henti saat ini.
"Om Andi juga kelihatan sayang dan sabar ngadepin anak-anak kita. Kamu tahu sendiri anak-anak kita terutama Enzo itu kelakuannya bikin orang ngelus dada. Kalo Om Andi aja bisa sesabar itu ngadepin dia, harusnya enggak perlu diragukan lagi sih kesabarannya."
Lelah mendengar ocehan Deva, Fabian menolehkan kepalanya. Ia tatap istrinya yang masih terlihat imut dan menggemaskan di usia 35 tahunan itu. Dari wajahnya orang mungkin tidak akan mengira jika Deva memiliki sifat kritis bahkan mulutnya bisa benar-benar setajam silet.
"Kamu dari tadi udah ngoceh terus. Sudah mirip radio yang baru aja diganti baterainya."
"Aku itu lagi usaha biar kamu mau membuka hati kamu buat restuin hubungan Mama dan Om Andi."
Fabian menghela napas panjang dan kini ia bangkit berdiri dari kursi yang ia duduki. Deva yang melihat suaminya sudah berdiri di hadapannya ikutan mendongak agar bisa menatap Fabian lekat-lekat.
"Siapa yang enggak restuin hubungan Mama dan Pak Andi? Aku enggak pernah melarang pak Andi buat dekat dan menjalin hubungan dengan Mama."
"Terus kenapa kamu terlihat sesulit ini?"
"Aku bukan sulit, Dev. Aku hanya ingin Mama mendapatkan yang terbaik. Jangan sampai Mama tersakiti lagi. Mama berhak mendapatkan yang terbaik dan bahagia di hidupnya. Aku enggak mau Mama salah memilih pasangan."
"Ya kalo gitu tinggal kamu korek aja informasi tentang Pak Andi."
Mendengar kata-kata Deva, Fabian memilih melipat tangannya di depan dada dan ia memandang Deva lekat-lekat.
"Karena aku sibuk, maka tugas mengumpulkan informasi adalah tugas kamu. Sekali-kali radar aktif kamu itu buat ngepoin pak Andi. Jangan cuma ngepoin berita-berita yang lagi tranding di sosmed."
Satu detik...
Dua detik ...
Tiga detik....
Deva hanya bisa diam dengan mulut sedikit terbuka. Bagaimana bisa Fabian memberikan pekerjaan itu begitu saja tanpa merasa tidak enak. Saat Deva tersadar dari keterpanaannya, Fabian sudah berlalu dari hadapannya.
Menyadari jika sang suami sudah tidak ada di dekatnya, Deva langsung membalikkan tubuhnya dan berteriak memanggil suaminya.
"FABIAN.... BIAN...!!" Teriak Deva yang membuat Fabian tertawa cekikikan.
"Buruan ke kamar. Ayo, tidur. Besok kita penerbangan pagi ke Jogja."
Deva menghela napas panjang dan kini Deva memilih untuk segera menyusul suaminya menuju ke kamar. Besok pagi ia harus berjibaku dengan kemacetan jalanan Surabaya sebelum sampai di Bandara Djuanda.
***
Andi menatap kamar Enzo dan Enzy dengan tatapan bingung. Malam ini ia tidak tahu harus tidur di mana. Ranjang Enzo dan Enzy yang berukuran 120x200 membuat dirinya tidak mungkin ikut tidur di sana bersama kedua bocah itu. Andi menggelengkan kepalanya pelan ketika menyadari bahwa kemungkinan besar ia harus tidur di tenda selimut yang kemarin ia bangun dengan Enzo dan Enzy.
KAMU SEDANG MEMBACA
When Duda Meet Janda (Tamat)
Ficción GeneralSpin off from #Defabian and Seducing Mr. Julien. Joanna Tan, seorang wanita pebisnis berusia 55 tahun yang tidak pernah memiliki keinginan untuk menikah kembali setelah pernikahannya dengan mantan suaminya yang bernama Ferdian Kawindra gagal di ten...