"Be mine then."
---*---
"Udah 9 minggu."
Perempuan itu menyodorkan foto USG ke depan Seungcheol. Mereka duduk tenang di ruang makan sebuah apartement mewah, saat internship Seungcheol pernah tinggal di sini.
Diambilnya kertas hitam-putih itu, matanya refleks membaca tulisan di atasnya. Familiar, karena ia punya beberapa di rumah.
Kepalanya kosong tapi dahinya mengkerut berusaha berpikir.
"Kamu tau aku gak akan tega kalau kamu nyuruh aku aborsi."
"I won't. Semua terserah kamu. It's not mine anyway."
Ditaruhnya lagi foto itu. Mengetukkan jarinya pada lengan kursi, perempuan itu tau benar laki-laki di hadapannya sedang berpikir keras.
"Johnny bilang apa?"
"Gak ngomong apa-apa, besoknya dia langsung berangkat ke LA. Semua akses komunikasi diblock. Aku kalut. Papa ngusir aku dari rumah, I'm over."
Johnny Suh, lawyer yang sedang hangat diperbincangkan. Karirnya cemerlang, visualnya menarik, portofolionya menjanjikan. Sulit untuk dituntut balik karena pasti pria itu lebih pintar soal ini.
"Sementara di sini dulu. Nanti Pak Cha yang akan bantu urus. Aku tetep harus ke London."
"Cheol, aku gak bisa."
"Get rid of the baby then."
"KAMU GILA?"
"Pilihan ada di kamu. Aku gak berhak. Aku cuma bisa bantu segini. No more idea of quitting. Aku butuh kamu karena gak ada waktu untuk cari pengganti."
Bisa, sebenarnya bisa. Hanya Seungcheol terlalu lelah untuk memikirkannya.
"So you'll leave me like this? Tega banget kamu." perempuan itu sedikit membentak.
Menghela napas kasar, Seungcheol berusaha berpikir. Tidak mungkin ia merawat dua orang hamil di waktu bersamaan. Mengingat Jeonghan sangat rentan, berita ini pasti akan membuatnya kacau.
"Nanti kita bicarakan lagi."Seungcheol beranjak. Ia harus menjemput Jeonghan di rumah sakit. PR nya masih banyak.
---*---
"Kamu dari tadi diem terus. Kenapa?" pelan Jeonghan berucap. Melihat Seungcheol terkadang melamun dan terlihat tidak fokus. Seberat apapun urusan kantor, suaminya tidak pernah begini.
"Gak ada. Kamu mau apel lagi? atau mau makan yang lain?" Seungcheol mengalihkan pertanyaan.
"Cheol, aku ngerepotin ya?" bisik Jeonghan, berkaca-kaca.Seungcheol mengambil napas berat, kemudian menatap suaminya lekat. Air mata Jeonghan pelan menetes.
'Not this shit again.'
Selain fisiknya, emosi Jeonghan juga luar biasa sensitif. Di hari ke 6 Seungcheol menemani Jeonghan di rumah sakit, untuk pertama kalinya setelah sekian lama ia menuju rooftop bangunan itu untuk merokok. Kepalanya penat.Jeonghan sulit makan, beberapa hari asupan makanannya hanya melalui infus. Badannya payah, berat badan turun drastis bahkan seingat Seungcheol lebih ringan dibandingkan saat mereka periksa kesehatan sebelum menikah.
Beberapa kali tertangkap ia mudah sekali menangis. Ketika ditanya, ia hanya menjawab, "Capek."
Rasanya Seungcheol juga ingin berteriak hal serupa. Ia lelah sekali. Diam menunggui Jeonghan bukan berarti ia bisa cuti. Seluruh pekerjaannya ia bawa ke kamar rawat itu (sempat ia berpikir, mungkin ia butuh perawatan juga karena kepalanya nyaris pecah). Jeonghan yang tidak tertebak emosinya dan Seungcheol yang harus ekstra hati-hati menghadapi suaminya ini. Rasanya seperti berjalan di tengah ranjau, sekali ia salah langkah, meledak semuanya.Seungcheol sama sekali tidak mengira bahwa menjalani kehamilan ini luar biasa berat. Tidak ada satu pun yang bisa ia ajak bercerita selain dokter kandungan suaminya. Diam-diam ia setuju dengan konsep pamali membahas kehamilan yang masih sangat muda. Kemudian di sinilah ia, pening sendiri sampai nyaris muntah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Life
FanfictionPositive. 'Seungcheol akan senang kan?' 'Seungcheol mau ini juga kan?' 'Is it really okay?' Jeongcheol ⚠️ mpreg, angst, major character death