Do Re Mi! [Second Life- another flashback]

947 36 1
                                    

"Masa nyuapin anak gak becus sih Han?"

...

"Kenapa gak mau lagi sih Kak?" Jeonghan menghela nafas lelah, badannya ia sandarkan pada kursi makan sementara tangan kanannya memegang sendok berisi nasi soto ayam dengan tangan kanan diistirahatkan di meja high chair putrinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Kenapa gak mau lagi sih Kak?" Jeonghan menghela nafas lelah, badannya ia sandarkan pada kursi makan sementara tangan kanannya memegang sendok berisi nasi soto ayam dengan tangan kanan diistirahatkan di meja high chair putrinya.

Tiga puluh menit sudah lewat. Dua anak laki-lakinya bahkan telah berkeliaran untuk memainkan vacum cleaner yang sebentar-sebentar dibunyikan kemudian suara gelak tawa terdengar. Meninggalkan Jeonghan bersama si cantik yang juga ikut menatap Yandanya di mana wajah frustrasi itu tergambar jelas di sana.

"Kenapa gak mau makan?" suaranya benar-benar putus asa. Jeonghan selalu berpikir bahwa kegiatan menyuapi anak adalah kegiatan yang lebih mudah dilakukan ketimbang menunggui mereka toilet training karena sungguh ia tak sabaran. Namun, segalanya berubah saat Aluna 18 bulan mulai menunjukkan tanda-tanda sulit sekali makan. Sudah 3 dokter anak yang mereka datangi, 2 di Singapura dan 1 di Jakarta. Tapi tak ada hasil apa-apa.

"Ini lagi tumbuh gigi, makanya lagi gak enak makannya."

Terakhir ada vonis begini dari DSA di Jakarta. Memang tepat sekali sih dengan Aluna yang tumbuh gigi tapi masa tak selesai-selesai?

Tiga puluh menit adalah batas maksimal anak-anak duduk di kursi makannya. Lebih dari itu? Semua makanan akan diangkat. Waktu makan sudah selesai dan hanya ada dispensasi 5 menit untuk sekadar mellihat apakah si anak benar-benar sudah tak ingin makan? Atau masih mau tapi sedang malas mengunyah sehingga waktu makannya jadi lebih panjang?

Aluna tidak.

Jeonghan sudah ingin menangis karena tiga puluh menit dihabiskan hanya dengan 6 suap nasi. Lalu sudah. Anaknya benar-benar tutup mulut dan merengek meski tak berontak untuk keluar dari high chair.

"Enak kok sotonya..." Jeonghan meyakinkan lagi. Ia tidak gila untuk memberikan makanan bayi yang rasanya tak enak pada anak-anaknya. Dari jaman Rayya, semua makanan dimasak dengan benar, menu lengkap. Tak pakai penyedap rasa tapi gula-garamnya ada sedikitlah. Sedap kok. Ayahnya saja bisa makan. Jadi kenapa?

"Kakak udah kenyang? Udah ini kayak gini aja?" suara Jeonghan tercekat. Aluna si bayi prematur yang hingga usianya sekarang masih saja terlihat 'terbanting' secara berat badan oleh adiknya. Jeonghan makin stress ketika anak ini lebih mudah sakit timbang saudaranya. Gampang demam, flu, pernah juga radang. Kemudian sekarang, nafsu makannya tak membaik sama sekali dan Jeonghan benar-benar stress saat kurva berat badan anak ini tipis sekali dengan garis merah. Mau gila rasanya.

"Anaknya gak mau, Mas. Ini gimana..." Jeonghan, menelfon suaminya saat makan siang. Persetan. Ia butuh support system sekarang dan baru jam setengah satu saja kepalanya nyaris pecah.

"Udah diberesin makannya?" Seungcheol menyahut dari seberang. Mulai senewen karena yang ia lihat di layar adalah Jeonghan yang terisak sesekali mengusap wajahnya. Oke, ini mirip seperti Jeonghan saat baby blues dulu. Jeonghan si paling tau parenting sudah ada di ujung tanduk.

Second LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang