Chapter 7

1.1K 81 14
                                    


"Benarkah selama ini Jeonghan gegabah?" 


---*---


"Berantem? Sekarang kenapa lagi?" perempuan itu bertanya penasaran.

Seungcheol menatap Tish tidak minat. Setelah rasanya kepalanya dipukul keras oleh ucapan Jeonghan, ia mulai merenung.

'Aku minta maaf, gak bisa jadi Papa yang baik juga buat Adek karena salah milihin dia Bapak.'

Salah pilih Bapak...

Hati Seungcheol tercubit. Belum pernah, seumur hidup ada yang berani melukai egonya sehebat ini.

"I've been providing him that much. Apapun mau dia aku turutin. Dia sakit, aku temenin. Urusan rumah, semua aku handle. Dia cuma perlu diem di rumah dan fokus sama anak. Aku yang kerja, aku yang ngurusin semuanya. Gak ada satu sen pun aku kurang kasih dia. Bisa dia ngomong kalo dia salah milihin anaknya Bapak."

Seungcheol menyesap birnya kesal. Matanya nyalang menatap televisi berlayar hitam di ruang tengah itu.

Tisha tertawa kecil, memijat bahu kanan Seungcheol yang nampak tegang.

"You did your best. Kenapa gak kamu pamerin soal tender kita sama Bank swasta itu goal. Belum lagi urusan kamu yang diapproach sama solar energy company itu. You did everything well. Kamu hebat banget masih bisa ngurusin dia dan apa? Belanja bulanan juga hahahaa. Kok bisa dia gak ngeliat kamu sehebat ini? Siang nge-goal-in tender milyaran, mau pulang ke rumah bisa sambil nenteng beras. Kamu luar biasa banget!"

Seungcheol tersenyum miris. Ia pria bersuami, tapi agak lucu ketika ia ingat semua yang ia lakukan tidak ada bedanya saat ia membujang.

"Kamu tahan berhari-hari nungguin dia di rumah sakit. Kemaren sampe gak ikutan after party segala. Keren banget Seungcheol jadi suami." Tish berucap kagum. Tangannya pindah ke atas paha kokoh Seungcheol.

Batin Seungcheol mengamini. 'Yeah, I already did my best.'

"Jadi kamu masih mau minum-minum sambil curhat soal suami kamu atau kita mau balik bahas proposalnya?"

"Kita bahas aja proposalnya. Aku stress harus mikirin soal rumah." Seungcheol beranjak mengambil iPad, berusaha tenggelam dengan grafik dan angka bernilai triliyunan, berharap dapat menghilangkan penatnya.

---*---

Jeonghan menatap nanar ke luar jendela. Menatap hujan cukup lebat dan udara London yang mulai tak bersahabat.

Setelah mendapat lampu hijau dari dokter kandungannya, di sinilah Jeonghan sekarang. Kembali ke apartementnya di London yang sudah ia tinggalkan berbulan-bulan untuk mengurus keluarga.

Keluarga.

Ia tersenyum miris.

Akhirnya memang hanya ada Jeonghan dan Rayya.

Bayi kecilnya.

Nama yang netral untuk anak laki-laki maupun perempuan. Bayi ini masih malu-malu menunjukkan jenis kelaminnya saat Jeonghan terakhir periksa beberapa hari lalu saat ia kembali memastikan apakah ia diperbolehkan melakukan penerbangan panjang.

Boleh, asalkan ia harus beristirahat dengan menginap sehari saat transit.

Tanpa ada keraguan, ia memilih berangkat secepatnya ke London. Maju dari jadwal seharusnya. Ia tak mau gila sendiri dengan berada satu atap dengan Seungcheol.

Mungkin di tempat baru, ia bisa lebih tenang dan rileks. Mulai menata kehidupannya nanti berdua dengan Rayya.

Rayya, dalam bahasa lain memiliki banyak sekali arti baik. Tapi Jeonghan memilihnya karena artinya secara literal adalah Raya, merayakan. Merayakan keberaniannya untuk memiliki keluarganya sendiri, mencari cintanya, memenuhi segala kesepiannya, dan saat ini merayakan kemenangannya melangkah dengan berani hidup berdua.

Second LifeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang