"The princess is here!"
---*---
"Gak kayak gitu Mas caranya!"
Jeonghan menatap suaminya nyalang. Badannya luar biasa lelah dihantam keterkejutan, wajahnya masih penuh dengan air mata, dan tangannya mengepal erat-erat. Seungcheol hanya bisa menatap Jeonghan pasrah, matanya terlihat putus asa, namun tekadnya tetap kuat.
"Kamu mau bunuh anak kamu sendiri?" suara Jeonghan tercekat, air matanya mengalir lagi.
Setelah menghabiskan 45 menit terlama dalam hidupnya, pasangan yang sebentar lagi menjadi orang tua 3 anak ini akhirnya kembali ke apartment dan memecah keheningan. 45 menit raut wajah Jeonghan menegang saat Rachel berkata, kehamilan keduanya yang berusia 26 minggu terdeteksi Twin to Twin Syndrome. Masih belum jelas apa penyebab sindrom ini, tapi cukup banyak terjadi di kehamilan kembar dengan satu plasenta yang membuat salah satu bayi menyerap oksigen dan nutrisi lebih banyak dari saudaranya, sehingga berat badan mereka berbeda cukup signifikan.
Bayi perempuan mereka yang terlihat lebih kecil dibanding yang laki-laki. Rachel berusaha menjelaskan kondisi ini pada kedua orang tua yang masih terduduk shock di hadapannya. Ada beberapa opsi, namun opsi terekstremnya adalah memutus hubungan darah antara janin satu dengan janin lainnya agar nutrisi yang didapat bisa optimal dengan metode laser. Hanya 60% probabilitas kedua bayi bisa selamat. Terlalu berisiko. Dan Seungcheol dengan mudahnya mengatakan, "We'll take that." tanpa bertanya pada Jeonghan terlebih dahulu.
Mungkin salahnya yang malah tercenung lama saat itu. Terlalu shock. Telinganya berdegung kencang sekali. Tak pernah ia bayangkan bahwa Jeonghan, secara sadar, harus memilih prosedur apa yang bisa menyelamatkan bayinya dengan mengorbankan bayinya yang lain. Sinting.
"Sayang..." entah berapa kali Seungcheol menghela napasnya berat. Matanya merah. Pikirannya berkecamuk sejak saat akhirnya mereka terdiam tanpa kata di dalam mobil, tak ada yang bersuara. Jeonghan meremas bantalan tangan pada pintu, Seungcheol meremas kuat-kuat stir mobilnya dengan mata menatap lurus jalanan.
Hingga akhirnya mereka duduk di ruang tengah apartment dan Rayya yang dibawa Tiffany berjalan-jalan, keheningan kemudian pecah dengan satu kalimat Jeonghan yang menghunus jantung Seungcheol mantab.
Tentu hal ini luar biasa berat untuk Seungcheol. Kejadian belasan tahun lalu saat ia melihat Jeonghan terbaring lemah dan tak pernah terbangun dari lelapnya, dengan Rayya yang bernapas saja harus dibantu alat, berputar cepat di otaknya. Kemudian setelah beberapa tahun hidup mereka baik-baik saja dan kemudian Seungcheol lagi-lagi dipaksa dihadapkan dengan dua pilihan gila.
Mana bisa Seungcheol mengorbankan salah satu dari cintanya? Kondisi bayi mereka sangat berisiko. Satu selamat atau tidak sama sekali, lalu bagaimana dengan Jeonghan? Seungcheol tak sanggup jika harus kembali kehilangan Jeonghan. Tidak di dalam ruang operasi. Kenapa Seungcheol harus berkali-kali terjebak dengan situasi begini?
"You don't even asked me, Cheol." desis Jeonghan. Tak lagi ia menyebut suaminya dengan panggilan sayang saking kecewanya ia dengan keputusan sepihak suaminya.
"Sayang, please.." Seungcheol berjalan pelan ke arah Jeonghan yang masih terduduk dengan amarah menggunung. Perlahan ia berlutut di depan Jeonghan, memohon ampun.
"Saya gak bisa lihat kamu kenapa-kenap—"
"Tapi kamu tega bunuh bayi aku? Otak kamu di mana?"
"Sayang..."
"Cara lain ada, pasti ada. Bisa. Kenapa kamu main iya aja sama opsi itu? Gampang banget kamu ngilangin nyawa orang? She's a tiny little human Cheol. Dia kecil banget. Kamu tega.." Jeonghan mengusap frustrasi wajahnya. Kepalanya memutar terus perkataan Seungcheol yang meng-iyakan tindakan laser yang berisiko tinggi membuat salah satu bayinya tidak selamat. Suara suaminya beputar terus seperti kaset rusak yang membuat Jeonghan pening mendadak. Tak cukup dengan fakta bahwa ia membawa bom waktu dalam tubuhnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Second Life
FanfictionPositive. 'Seungcheol akan senang kan?' 'Seungcheol mau ini juga kan?' 'Is it really okay?' Jeongcheol ⚠️ mpreg, angst, major character death