12. Juna

125 2 0
                                    

Bel pulang sudah berbunyi. Hari ini hujan lebat, dan Rania lupa membawa payung. Padahal, ia harus melewati lapangan baru bisa keluar gerbang sekolah untuk bertemu Ari yang sudah menunggunya dari tadi. Laki-laki itu pasti juga tengah kehujanan. Ya… walaupun menggunakan mantol sih.

“Ran, lo beneran ngga pa pa nih kita tinggal?” Tanya Icha.

“Ngga pa pa.” Jawab Rania.

Sorry banget ya, soalnya gue cuma bawa payung 1, mana cuma muat 2 orang lagi.” Ucap Eva kesal.

“Santai, udah sono! Keburu makin deres.” Ucap Rania.

Mereka langsung pergi menembus hujan di tengah lapangan untuk pergi keluar gerbang. Katanya, mereka dijemput orang tua menggunakan mobil.

Tanpa sadar, Rania tenggelam dalam lamunannya. Berapa rindunya gadis itu dijemput sekolah oleh ayahnya. Berapa rindunya gadis itu sepulang sekolah langsung menyantap masakan ibunya. Betapa rindunya gadis itu setiap malam bermain bersama adik-adiknya. Ia sangat merindukan semua momen sederhana nan penting itu.

Rania menggelengkan kepalanya untuk menyadarkan dirinya dari lamunan. Tiba-tiba, ada seseorang yang memayungi dirinya dari belakang. Rania menoleh ke belakang. Ia terkejut karena orang itu adalah Juna, teman sekelasnya sekaligus ketua kelas yang juga menjabat sebagai ketua OSIS. Rania tidak terlalu dekat dengannya, bahkan berbicara dengannya pun tidak pernah. Padahal sudah 1 semester sekelas.

“Nih, jangan sampe nanti lo sakit! Gue duluan ya.” Ucapnya.

Ia langsung berlari ke arah lapangan meninggalkan Rania tanpa menggunakan payung ataupun has hujan. Rania jadi merasa tidak enak.

“Pokoknya besok gue balikin.” Gumam Rania.

Tanpa sadar, sejak Rania berbincang singkat dengan Juna tadi, ada seseorang yang memperhatikan obrolan mereka berdua dari belakang. Menatap sendu ke arah Rania. Tentu saja hati laki-laki itu begitu terluka melihat gadis cantik yang sebentar lagi akan menjadi istrinya berbicara dengan ajnabi selain dirinya.

Tapi, ia tidak ingin mengambil pusing. Ia menggelengkan kepala dan menerbitkan senyum manis di wajahnya. Ia sadar diri bahwa dirinya bukan siapa-siapa bagi gadis itu. Ia tidak berhak memiliki perasaan seakan-akan gadis itu miliknya dan cemburu.

Saat gadis itu hendak berjalan, seseorang laki-laki yang sejak tadi menatapnya dari belakang menebeng payung yang dipakai olehnya. Orang itu adalah Haidar. Rania langsung mendengus kesal.

“Nebeng bentar ke parkiran sekolah, ya?” Tanyanya.

“Hm.” Jawab Rania malas.

Akhirnya, Rania harus ke samping sekolah dulu untuk mengantar Haidar ke parkiran sekolah.

Thanks ya.” Ucapnya.

Haidar membuka ranselnya dan mengeluarkan sebuah hoodie berwarna navy. Ia memakaikan hoodie itu pada Rania. Hoodie itu sangan besar. Bagaimana tidak, hoodie itu oversize untuk laki-laki. Bayangkan saja jika Rania yang memakainya.

“Jangan sampe gue liat lo tidur di rumah sakit lagi.” Ucap Haidar.

Setelah itu, ia pergi menaiki motornya meninggalkan Rania. Gadis itu hanya berdiri menatap ke arah laki-laki yang mengendarai motornya, menerjang jalanan yang dibasahi air hujan, membasahi seluruh tubuhnya hingga membuatnya tenggelam tak terlihat oleh derasnya air hujan yang jatuh ke bumi.
Rania tenggelam dalam lamunannya atas apa yang sudah terjadi dalam 2 bulan terakhir sejak ia bertemu Haidar. Entah kenapa, hari-harinya jadi terasa lebih berwarna.

“Astaghfirullahaladzim, Ari!”

Seketika Rania melupakan Ari yang sedang menunggunya di depan gerbang sekolah. Rania berlari kecil ke arah gerbang. Begitu tiba di sana, Ari sudah memasang wajah cemberut. Asem banget mukanya.

“Lo lama banget sih? Emang lo dari Mekkah?” tanyanya sewot.

“Aamiin."

“Kok malah aamiin?” tanyanya kesal.

“Ya aamiin gue ke Mekkah."

“Tau ah, tu hoodie sama payung dari siapa?”tanyanya lagi.

“Ntar aja di rumah gue jelasin, hujan nih!” jawab Rania.

Rania langsung naik ke motor. Ari melaju dengan kecepatan sedang sampai rumah karena jalanan terus diguyur air hujan.

                                  ♠︎♠︎♠︎

Sesampainya di rumah….

“Jadi… itu semua dari siapa?” Tanya Ari mengintrogasi di sofa ruang tamu.

“Payung dari Juna, hoodie dari Haidar.” Jawab Rania.

“Juna?” Tanya Ari. Rania mengangguk. Ari menggelengkan kepala.

“Si ketos itu?”

“Hm.”

“Lo punya hubungan sama dia?”

“Ngga.”

“Pokoknya, kalo ampe lo ada hubungan sama dia dan dia macem-macem sama lo, gue gorok tu orang.” Ancam Ari.

“Hus, istighfar.” Ucap Rania mengingatkan.

“Astaghfirullah.” Ucapnya sambil pergi meninggalkan sang kakak. Ia memasuki kamarnya dengan wajah kesal.

Rania yang heran dengan perubahan sikap adiknya itu langsung memasuki kamar sang dan duduk di pinggir kasur. Ari sedang tengkurap di kasur, menenggelamkan wajahnya di dalam bantal.

“Lo kenapa?” tanya Rania dengan wajah datar.

Ia bangkit dari posisi tengkurap jadi duduk menghadap ke arah sang kakak sambil menundukan kepalanya.

“Ngga pa pa.”

“Lo kalo ada masalah cerita.” Ucap Rania.

“Lo aja kalo ada masalah ngga pernah cerita ke gue. Ngga usah nasehatin orang kalo lo sendiri ngga bisa ngelakuin.” timpalnya.

“Lo tanggung jawab gue, jadi gue berhak tau masalah lo. Gue wali lo semenjak ortu kita udah ngga ada.”

Ari menatap Rania dalam-dalam, matanya berkaca-kaca.

“Gue masih berharap diri lo yang dulu balik kak.” Ucap Ari.

“Gue kangen dipeluk, dicium, dipukulin sama lo.” Lanjutnya.

Rania tidak menjawab sama sekali. Ia langsung berdiri pergi keluar dari kamar Ari. Gadis itu pargi ke kamarnya dengan perasaan campur aduk.

Kamu pikir cuma kamu yang pengen Ri? Ngga, kakak juga pengen. Tapi, kakak belum bisa.~ batin Rania.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Kenapa Rania belum bisa nunjukin kasih sayangnya ke Ari?

Kalo penasaran, aku bakalan lanjut, kalo ga penasaran, ya tetep lanjut.😆

Btw, kalian sukatipe cerita ini ga?

Kalian boleh banget kasih komentar, kritik, atau saran kalian supaya cerita aku kedepannya bisa lebih bagus lagi.

Jangan lupa masukin ke reading list,
share, dan vote terus ya!

MUST END (REPUBLISH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang