Tak lama setelah kepergian keluarga Haidar, Wulan, Radit, dan Nara datang untuk menjenguk Rania dan Haidar.
"Assalamualaikum!" Ucap mereka serempak.
"Waalaikumsalam." Jawab Rania dan Haidar.
"Tak Haidal, tak Lania!" Teriak Nara sambil berlari ke arah brangkar yang disinggahi Haidar.
Tepat sebelum kepala Nara menubruk perut Haidar, Rania menghalangi dengan telapak tangannya.
"Kenapa tak?" Tanya Nara pada Rania.
"Perutnya kak Haidar lagi sakit, jadi jangan dipegang ya!" Jelas Rania lembut. Nara mengangguk antusias.
"Ran, gimana keadaan kamu?" Tanya Radit.
"Alhamdulillah, sehat om." Jawab Rania.
Setelah itu, Wulan mengeluarkan sekotak kue tart dari dalam tas, lalu memberikannya kepada Rania.
"Selamat ulang tahun, Rania." Ucap Wulan dan Radit.
Rania yang melihat kue itu langsung terdiam. Ia baru ingat, jika hari kematian Ari, bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Rania merasa, ia tidak pantas merayakan ulang tahun jika hari itu adalah hari kepergian seseorang.
Rania tersenyum.
"Makasih om, tante. Tapi maaf, kalo aku boleh minta, untuk tahun-tahun selanjutnya, ngga usah dirayain ya!" Pinta Rania.
Wulan hendak bertanya alasan ponakannya itu tidak ingin merayakan ulang tahunnya lagi. Namun, Radit sudah menyela terlebih dahulu. Ia paham akan maksud dari keponakannya itu.
"Iya, om ngerti." Ucap Radit.
Hening.
"Tak Haidal!" Panggil Nara bersemangat pada Haidar. Saat ini, posisi Nara berada di pangkuan Haidar.
"Hm, kenapa?"
"Atu mau puna adek!"
Mata Rania langsung membola. Ia tersenyum sambil menatap ke arah Wulan dan Radit.
"Bener, tan?" Tanya Rania memastikan.
Radit dan Wulan menjawabnya dengan anggukan.
"Cie.. yang mau jadi kakak!" Ucap Haidar pada Nara. Nara yang digoda hanya tersenyum malu.
"Mau adek cewek apa cowok?" Tanya Haidar pada Nara.
"Nala mau adeknya cewek sama cowok."
"Kamu mau punya adek dua?" Tanya Haidar.
Nara menggeleng. Membuat semua orang yang ada di ruangan itu bingung.
"Nala maunya, adeknya Nala cowok. Bial pas, Nala cewek, adeknya cowok." Jawab Nara.
"Terus, katanya mau adeknya cewek cowok. Tapi, Nara kok bilang adeknya cowok aja?" Tanya Rania semakin bingung.
"Kan nanti yang cewek adeknya tak Lania sama tak Haidal!" Jawabnya tanpa dosa.
Rania dan Haidar saling menatap. Lalu, mereka berdua tertawa bersama.
Radit dan Wulan yang melihat pemandangan itu merasa lega. Rencana mereka untuk menyembuhkan Rania berhasil. Rencana mereka untuk mengukir kembali senyum di wajah Rania berhasil. Rencana mereka untuk mengembalikan tawa Rania berhasil. Rencana mereka untuk membantu Rania membangun masa depan yang lebih cerah berhasil.
Nara turun dari pangkuan Haidar, lalu berjalan ke arah Rania. Ia menepuk pelan perut Rania.
"Adek, adeknya cepet dateng dong! Nanti kita main baleng!" Ucap Nara.
Haidar dan Rania yang melihat tingkah lucu Nara itu tertawa lepas. Mereka tidak habis pikir dengan gadis kecil itu. Ia ingin sekali punya adik.
"Tak Lania, pokoknya pas ulang tahun Nala, adeknya udah ada ya!" Ucap Nara tanpa beban dan dosa.
"Eh, jan ngadi-ngadi! 10 bulan lagi dong!" Ucap Rania terkejut.
Seluruh orang yang ada di ruangan itu langsung tertawa. Ada-ada saja permintaan Nara yang satu ini.
TOK! TOK!
"Bunda?" Ucap Haidar begitu melihat siapa yang membuka pintu kamarnya.
Semua orang yang ada di dalam kamar langsung terdiam. Terlebih Wulan, Radit, dan Nara. Mereka belum tahu identitas wanita yang baru saja datang itu. Mereka juga belum tahu sama sekali soal latar belakang dan masa lalu Haidar.
"Eung, bunda ganggu ya?" Tanya Lina canggung.
"Ng-ngga bun, ini Rania mau jalan-jalan dulu sama om, tante ke taman. Bunda ngobrol aja dulu sama Haidar." Ucap Rania.
Raut wajah Wulan dan Radit bingung dengan perkataan Rania barusan. Rania mengedipkan matanya untuk memberi kode 'ikutin aja'. Rania menggandeng Wulan, Radit, dan mendorong pelan tubuh Nara agar pergi keluar bersamanya.
Setelah Rania dan keluarganya pergi keluar, Lina masuk ke dalam kamar. Ia berjalan mendekati putranya dengan mata yang berkaca-kaca.
Bukannya memeluk Haidar, Lina malah memukuli lengan putranya itu dengan penuh perasaan kesal hingga Haidar merintih kesakitan memegangi lengannya yang terluka.
Lina sangat mengkhawatirkan Haidar. Terlebih, begitu ia mendengar Haidar tertembak dan kekurangan banyak darah.
"Kamu bikin bunda khawatir tau ngga?" Ucap Lina dengan suara bergetar.
Lina langsung membawa Haidar ke dalam pelukannya. Ia menangis ketika memeluk Haidar. Perasaannya saat ini campur aduk.
Setelah bertahun-tahun tidak bertemu dan berkomunikasi dengan anaknya, ia malah selalu bertemu dengan Haidar di situasi buruk.
"Aku ngga papa, bun." Ucap Haidar menenangkan sang bunda.
Lina masih terus menangis sambil mememluk Haidar. Ia benar-benar takut kehilangan anak semata wayangnya.
Haidar menepuk-nepuk pelang punggung sang bunda agar ia merasa lebih tenang. Lelaki itu menunggu hingga bundanya merasa lebih tenang, baru ia akan melepaskan diri dari pelukan itu.
Setelah merasa lebih tenang, Lina perlahan melepaskan diri dari pelukannya tadi. Ia menatap Haidar dengan wajah yang masih dibasahi air mata.
"Kamu udah makan?" Tanya Lina pada Haidar.
"Udah, tadi disuapin Nia."
Lina duduk di kursi yang berada di samping brangkar Haidar. Ia mengelus kepala Haidar sambil tersenyum bahagia.
"Dasar, sama istri aja manja!" Ledek Lina.
"Itu bukan manja, bun. Lagian, ini kesempatan. Karena, jarang-jarang dia inisiatif mau nyuapin aku."
"Bisa aja kamu!"
Hening.
"Bunda ke sini, adik sama siapa?" Tanya Haidar memecah keheningan.
"Anak itu, akhirnya bisa bunda kembalikan ke keluarganya. Bunda bercerai dengan laki-laki itu setelah ia ditetapkan sebagai tersangka. Jadi, bunda berencana untuk menetap di Indonesia lagi!" Jelas Lina senang.
Haidar diam tertunduk. Ia ingin mengatakan sesuatu kepada bundanya itu, tapi ragu, apakah ini waktu yang tepat atau bukan dan mulai dari mana ia harus bertanya.
"Kenapa, Dar?" Tanya Lina khawatir.
"Bunda, boleh aku tanya? Apa alasan bunda ninggalin aku sama ayah 12 tahun yang lalu?" Tanya Haidar dengan nada suara yang sangat berhati-hati.
"Ah, itu..."
Hari itu, Lina benar-benar sudah sangat kebingungan harus bagaimana lagi mencari biaya pengobatan sang suami. Ia mencari pekerjaan ke sana ke mari. Sampai akhirnya, ia bertemu dengan seorang lelaki duda yang memiliki sebuah perusahaan besar di Singapore.
Lelaki itu berkata, ia akan memberikan Lina pekerjaan dengan gaji yang lumayan. Tugas Rania adalah, menikah dengannya, mengurus kedua anaknya, dan mengurus beberapa permasalahan yang ada di perusahaan lelaki itu.
Aneh, pekerjaan itu memang sangat aneh. Tapi, Lina menerima pekerjaan itu. Ia pergi meninggalkan Haidar yang masih kecil dan suaminya yang sedang jatuh sakit. Ia harap, uang yang ua hasilkan nanti dapat membiayai pengobatan sang suami dan pendidikan anaknya
Tapi, baru seminggu ia meninggalkan Indonesia, ia mendapatkan kabar bahwa suaminya itu meninggal dan sahabatnya sendiri lah yang bersedia mengangkat anak satu-satunya.
Lina sempat depresi mendengar kabar itu. Tapi, ia dapat pulih karena pekerjaan yang menumpuk membuat pikirannya tidak selalu tertuju pada keluarganya.
Soal gaji, ia tetap mengirimkan gaji itu kepada Haidar. Perantaranya, tentu lewat ummi Sinta.
Lina tidak pernah menjenguk Haidar karena malu telah meninggalkan Haidar dalam keadaan sulit. Terutama bagi anak yang baru berusia 7 tahun.
Hingga suatu hari, suami Lina, alias bosnya itu tertangkap sebagai tersangka dari pelaku korupsi besar-besaran. Lina harus mengurus kedua anak bosnya yang sedang sakit itu tanpa uang sepeser pun.
Ia kembali ke Indonesia, karena ingin meminjam uanh kepada Haidar. Rencanya, setelah itu, ia akan menetap di Indonesia dan tinggal bersama Haidar. Karena, saat ia kembali ke Indonesia ia sedang memproses perceraiannya dengan lelaki itu dan membicarakan masalah hak asuh anak.
Tapi, yang terjadi di Indonesia tidak sesuai dengan ekspektasi Lina. Dan... itu lah yang terjadi selanjutnya. Kalian sudah membacanya di part sebelum-sebelumnya.
"Kenapa bunda ngga ngasih tau ayah soal itu?" Tanya Haidar dengan suara yang bergetar.
"Karena bunda tau, ayah kamu ngga akan ngijinin bunda untuk melakukan itu!"
"Kalo bunda tau, kenapa bunda tetep lakuin?"
"Tanpa itu, ngga akan ada yang biayain kita hidup, Dar!"
Haidar terdiam. Matanya sudah berkaca-kaca.
"Andai bunda tahu, tugas seorang istri itu mudah. Dia hanya perlu mematuhi suaminya." Ucap Haidar dengan suara lirih.
Lina menghela napas kesal. Ia bangun dari posisi duduknya, lalu berkacak pinggang.
"Terus, apa dengan seperti itu, semua akan baik-baik saja?" Tanya Lina kesal.
"Setidaknya lebih baik, bun. Kalau bunda izin ke ayah dan ayah melarang waktu itu, bunda ngga akan ninggalin kita. Tetap akan ada yang merawat aku dan ayah. Soal biaya pengobatan, bunda ngga usah mikir berat! Karena aku yang paling tahu, obat yang paling ampuh untuk ayah adalah, cukup bunda terus ada di sisinya dan merawatnya."
"Kamu masih kecil waktu itu, tau apa kamu?!"
"Aku yang melihat bagaimana ayah meninggal, bun. Ayah meninggal karena stres ditinggalkan bunda. Bahkan, di saat-saat terakhirnya, ayah terus memanggil nama bunda sambil menggenggam foto bunda dan menggenggam tangan kananku. Dia berharap, keluarga kita kembali seperti dulu, bun."
Lina tidak kuat lagi. Ia terjatuh ke lantai sambil menutupi wajahnya. Setetes air mata mengalir di pipinya. Tangisannya mulai pecah. Isakan tangis mulai terdengar. Tangisan yang penuh akan perasaan menyesal di setiap tetesnya.
Setelah itu, Lina pamit pergi keluar untuk menata kembali perasaannya. Sedangkan Rania, ia kembali ke kamar tanpa keluarganya. Mereka langsung pulang karena hari sudah mulai gelap.
Rania berjalan menghampiri sang suami yang berada di atas brangkar dengan wajahnya dibasahi air mata. Dengan lembut dan perlahan, Rania membawa Haidar ke dalam pelukannya.
Haidar menangis sesenggukan di dalam pelukan Rania. Ia sembunyikan wajahnya di dada sang istri yang dilapisi baju hingga Rania merasa bajunya muali basah.
"Aku udah denger penjelasan bunda, Ya." Ucap Haidar sambil masih terisak.
Rania hanya bisa terus memeluk Haidar, memeberi lelaki itu kenyamanan dan ketenangan. Rania juga menepuk pelang punggung Haidar.
Haidar kembali mengeluarkan suaranya.
"Semakin aku tahu kebenarannya, rasanya semakin sakit.".
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Kira-kira, gimana kelanjutan hub7ngan Haidar dengan ibunya?
Akankah mereka kembali bersatu layaknya ibu dan anak pada umumnya?
Kalo penasaran sama kelanjutan cerita ini, aku bakalan lanjut, kalo ga penasaran, ya tetep lanjut.😆
Btw, kalian suka tipe cerita ini ga?
Kalian boleh banget kasih komentar, kritik, atau saran kalian supaya cerita aku kedepannya bisa lebih bagus lagi.
Jangan lupa masukin ke reading list,
share, dan vote terus ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
MUST END (REPUBLISH)
Romance13+ Rania Adiningrum, seorang gadis remaja berusia 17 tahun yang memiliki kehidupan tidak seperti remaja pada umumnya. Ia tidak pernah pergi ke mall bersama teman, ke tempat disco, ataupun bermain dan bersendagurau dengan sahabat. Semua itu terjadi...