44. Singapore

89 2 0
                                    

Pagi ini, Rania terbangun tanpa Haidar di sampingnya. Ia langsung kebingungan mencari Haidar. Ia telpon suaminya berkali-kali, namun tidak diangkat.

Beberapa jam sebelumnya...

Haidar yang mendengar kabar bahwa ibunya sedang di rawat di rumah sakit karena kecelakaan pun langsung panik. Ia mengambil ponsel dari saku celananya dan menekan beberapa nomor untuk mebelepon seseorang.

"Ga, gue butuk helikopter lo!" ucap Haidar pada Angga lewat telepon.

"Tumben? Kenapa, Dar?!"

"Gue harus ke Singapore sekarnag! Nyokap gue kecelakaan."

"Apa?! Ok, gue suruh mereka jemput lo di rumah sakit sekarang."

Setelah mendengar jawaban dari sahabatnya itu, Haidar langsung memutus sambungan telepon, lalu memasukkan ponselnya ke dalam saku celana dan berdiri bersiap untuk pergi.

Setelah mengatakan itu, Haidar langsung pergi menaiki motornya ke sebuah rumah sakit yang memiliki helipad.

Ia pergi ke rooftop rumah sakit itu. Tak sampai 20 menit ia menunggu, helikopter yang ia pesan dari Angga pun langsung tiba. Ia segera menaiki helikopter itu dan memberi tahu sang pilot arah tujuannya.

Selama perjalanan, Haidar sangat khawatir dengan keadaan ibunya. Walau ia sudah dikecewakan berkali-kali oleh sang ibu, ia tetap menyayangi dan mencintai wanita itu dengan sepenuh hati. Haidar heran, mengapa harus ada perasaan itu di dalam hatinya. Apa karena wanita itu adalah ibunya yang telah mengandungnya selama 9 bulan, melahirkannya, menyusuinya, dan merawatnya dengan kasih sayang walau dengan jangka waktu yang tidak tetlalu lama? Apapun itu, Haidar tetap bersyukur. Karena dengan adanya perasaan itu, ia jadi tidak durhaka kepada ibunya.

Setibanya di Singapore, Haidar mendarat di rooftop rumah sakit tempat ibunya dirawat. Ia langsung berlari ke ruang operasi dengan sangat tergesa-gesa.

Begitu tiba di sana, Haidar menatap ke arah ruang operasi dengan mata berkaca-kaca. Ia mendudukkan dirinya dikursi sambil menunduk menjambak rambutnya sendiri. Ia menangis sesenggukan seperti anak kecil.

Banyak pikiran yang ada di kepala Haidar. Ia belum sempat berbincang lebih lama dengan ibunya. Ia belum sempat bersenda gurau dengan ibunya. Ia belum sempat mendapatkan kasih sayang dari ibunya. Ia belum sempat nge-date berdua dengan ibunya. Dan ia belum siap juga tidak ingin ditinggalkan oleh ibunya.

Setelah 3 jam menunggu, dokter yang ada di ruang operasi keluar. Haidar langsung menghampiri sang dokter dan bertnya tentang kondisi ibunya.

"Bagaimana keadaan ibuku?" tanya Haidar.

"Operasinya berjalan lancar, sekarang ibumu akan kami bawa ke ruang ICU." Jawab sang docter.

Haidar yang mendengar jawaban dari dokter pun mengela napas lega.

"Thank you, doc."

Dokter tadi mengngguk sedikit sambil tersenyum ke arah Haidar dan langsung pergi meninggalkan laki-laki itu.

♠︎♠︎♠︎

Setelah ibu Haidar dipindahkan ke ruang rawat jalan, Haidar selalu menemani ibunya. Ia hanya meninggalkan sang ibu untuk sholat ataupun beli persediaan makan dan minum. Disaat menjaga sang ibu, ia selalu murojaah hafalan Al-Qurannya sambil menggenggam tangan sang ibu agar ia segera terbangun. Saat dini hari, ia akan terbangun di jam 3 pagi untuk melakukan sholat tahajud dan meminta kesembuhan ibunya kepada Allah, satu-satunya Rabb.

Setiap malam, Haidar selalu berdiri di depan jendela yang terbuka sambil menghirup angin malam. Sama seperti yang selama ini Haidar lakukan, ia menikmati tiap hembusan angin yang menerpa wajah dan menyingkap rambutnya hingga dahinya terlihat.
Hati Haidar terasa begitu hampa. Air matanya mulai membasahi pipi yang langsung dihapus kasar oleh Haidar dengan telapak tangannya. Haidar tidak habis pikir, ia pernah berkata kepada ibunya untuk tidak menemuinya lagi.

MUST END (REPUBLISH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang