Rania membuka matanya. Ia tidak melihat keberadaan sang suami di sampingnya. Ia melihat ke arah jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 06.30 pagi. Seketika, dengan nyawa yang belum sepenuhnya sadar, Rania berjalan keluar kamar dan mencari keberadaan Haidar.
Tiba-tiba, Rania merasa menabrak seseorang. Ia mendangakkan kepalanya untuk menatap wajah orang itu. Tentu jawabannya adalah Haidar. Siapa lagi kalau bukan Haidar yang tinggal di rumah ini bersama dengan dirinya.
Dengan raut wajahnya yang masih muka bantal, rambut berantakan, dan mata yang belum sepenuhnya terbuka, Rania menatap ke arah suaminya.
"Kamu ngga bangunin aku?!" Tanya Rania pada Haidar.
Haidar menghiraukan pertanyaan istrinya. Ia merasa gemas melihat tatapan sang istri dari atas. Tentu dari atas, karena tubuh Rania hanya sedada Haidar. Ia tersenyum menatap istrinya, lalu memeluknya erat-erat saking gemasnya.
"Sesek, Dar!" Ucap Rania yang berada dalam pelukan Haidar sambil berusaha melepaskan diri dengan memukuli punggung sang suami.
"Siapa suruh nggemesin!"
Haidar menatap wajah sang istri yang ada di pelukannya. Lalu, ia ciumi seluruh wajah Rania. Ya, Haidar segemas itu dengan wajah istrinya. Sampai-sampai, kalau wajah istrinya itu adalah sebuah squishy, ia akan terus memainkannya dan tidak akan pernah ia lepas dari genggamannya.
"Akh, basah mukaku!" Rengek Rania sambil mengelap wajahnya.
"O, dilap?"
Haidar kembali menciumi wajah Rania. Ia tidak suka jika Rania menghapus jejak ciumannya. Rania sadar bahwa suaminya tidak suka jika ia menghapus jejak ciumannya. Setelah diciumi Haidar untuk yang kedua kali, ia tidak lagi menghapus jejak ciumannya.
Haidar pergi ke dapur, karena ternyata sejak tadi, ia sedang memasak. Ia hanya menggunakan celana pendek berwarna coksu yang dipadukan dengan kaos lengan pendek abu-abu.
Haidar langsung menggendong Rania ala bridal style, lalu membawanya ke dapur. Ia mendudukkan istrinya itu di kursi dapur.
"Siapa yang ngijinin kamu keluar kamar, hm?" Tanya Haidar.
"Lagian ini udah jam setengah tujuh, Dar! Masak kamu ngga sekolah?!" Tanya Rania ngegas.
"Ngga, kita izin ngga masuk."
"Besok kita udah PAS!"
"Nanti minta materinya ke si Leon."
Rania sudah menyerah dengan perdebatan ini. Ia menghela napas sambil memutar bola matanya, lalu menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.
"Ini, cobain!" Titah Haidar sambil menyodorkan sesendok nasi goreng kepada Rania.
"Aku makan sendiri." Ucap Rania sambil berusaha merebut sendok tersebut dari Haidar.
"No! Aku suapin!"
Rania mengela napas sambil memutar bola matanya untuk yang kedua kalinya pagi itu. Ia membuka mulutnya, lalu memakan sesendok nasi goreng buatan sang suami. Mayan juga~ batin Rania.
"Gimana, enak ngga?" Tanya Haidar.
"Mayan."
Haidar tersenyum pada Rania yang mulutnya masih dipenuhi nasi goreng sambil mengacak gemas rambut sang istri.
"Habisin!" Titah Haidar pada Rania.
"Kamu ngga makan?" Tanya Rania.
"Belum laper!"
Tepat setelah Haidar menjawab pertanyaan Rania, istrinya itu memasukkan sesendok penuh nasi goreng ke dalam mulutnya. Haidar terdiam membeku seperti patung.
"Makan, walau dikit." Ucap Rania sambil melanjutkan makannya.
"Aku udah laper, suapin lagi! Aaaaa..." Ucap Haidar sambil membuka mulutnya, menunggu suapan yang akan diberikan sang istri.
"Makan sendiri!"
"Ngga nurut sama suami dosa loh."
Rania memutar bolamatanya jengah sambil menghela napas kesal. Akhirnya, mereka pun makan sepiring berdua dengan Rania yang menyuapi Haidar.
Setelah sarapan, mereka bersantai di ruang tengah sambil menonton TV. Rania merintih kesakitan. Sepertinya, nyeri datang bulannya itu belum berakhir.
Haidar yang mendengar suara rintihan Rania langsung mengerti. Ia menyandarkan kepala Rania pada bahunya. Tangan kiri Haidar ia gunakan untuk mengusap lembut rambut
Rania. Sedangkan tangan kanannya, ia gunakan untuk mengusap pelan perut sang istri.
"ASSALAMUALAIKUM! Eh, anjir!"
"Kenapa sih, Ra?"
"Lagi pacaran ternyata tante."
Ternyata, Haura, ummi, tante Wulan, om Radit, dan Nara pergi ke rumah Rania dan Haidar untuk menjenguk keadaan Rania. Mereka mengetahui bahwa sepasang suami-istri itu bolos sekolah dari Ari. Yang mereka ketahui, Rania bolos sekolah karena tidak enak badan, sedangkan Haidar bolos untuk menemani sang istri.
"Masuk om, tan, mi, Ra!" Titah Haidar.
"Iya." Jawab mereka serempak.
Mereka semua langsung masuk ke ruang tengah dan ikut duduk di sofa. Mereka melihat wajah pucat Rania yang menyandar pada Haidar. Sedangkan Haidar mengusap perut istrinya. Semua orang yang melihat itu langsung menerbitkan senyum bahagia di wajah mereka. Terlebih Haura, ia yang melihat itu langsung berteriak kegirangan.
"YEAY, WOOO!"
"Shut, ape sih lo, Ran?!" Tanya Haidar.
"Gue bakalan gendong debay!"
"Debay?!" Tanya Haidar dan Rania bingung serempak.
"Loh, itu yang lo elus di perut kak Rania debay kan?" Tanya Haura.
"Bukan debay, tapi nasgor!" Jawab Haidar. Memang tidak salah sih.
"Loh, ummi pikir kamu ngelus perut Rania karena dia hamil? Belum lagi tampang mukanya yang pucet makin mendukung." Ucap ummi.
"Engga, mi."
"Dedek bayi?!" Tanya Nara bersemangat.
"Yeay, ada adek!"
Nara berlari ke arah Rania dan memeluk perut wanita itu. Rania langsung merintih kesakitan. Bekas lukanya itu masih saja terasa perih hingga pagi ini. Tentu, itu adalah luka yang lama untuk disembuhkan.
"Maaf, tak! Dedek bayinya teatitan ya?" Tanya Nara.
Haidar membawa Nara kepangkuannya.
"Di perutnya kak Rania belum ada dedeknya. Doain aja dedeknya cepet ada, ya!" Bisik Haidar pada Nara.
"Aamiin... tak Aidal."
Setelah mengatakan itu, Nara terkekeh. Semua orang yang ada di sana penasaran dengan obrolan mereka.
"Btw, kenapa ponakan saya bisa lemes gitu? Trus, kenapa tadi kesakitan waktu Nara peluk perutnya? Kenapa juga kamu tadi ngelus perutnya?" Tanya Radit dingin.
"Sayang!" Peringat Wulan pada suaminya.
"Baru dateng bulan om." Jawab Haidar.
"Jadi, kalian bolos cuma karena Rania dateng bulan?" Tanya tante Wulan.
Haidar dan Rania saling menatap. Mereka bingung harus menjawab apa.
"Sakit banget tan, aku ngga kuat jalan." Ucap Rania.
"Emang kamu telat?" Tanya ummi yang dibalas anggukan oleh Rania.
"Berapa lama?"
"3 bulan."
"HAH?!"
♠︎♠︎♠︎
"Kok dari tadi kita telponin mereka ngga diangkat ya?" Tanya Eva pada yang lain.
"Tau ni, mana rumah kosongan semua lagi!" Omel Icha kesal.
"Ngga tau kita khawatir apa?!" Ucap Angga kesal.
"Ril." Timpal Leon.
Sedangkan Ari, ia hanya bisa menghela napas pasrah. Di satu sisi, ia harus berpura-pura kebingungan seperti teman-temannya dan tidak tahu kapan akan pulang ke rumah. Di sisi lain, sebenarnya ia tahu dimana keberadaan kakak dengan kakak iparnya itu, tapi ia harus merahasiakannya demi kenyamanan bersama.🙂.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Kalo penasaran sama nasib Ari, aku bakalan lanjut, kalo ga penasaran, ya tetep lanjut.😆
Btw, kalian suka tipe cerita ini ga?
Kalian boleh banget kasih komentar, kritik, atau saran kalian supaya cerita aku kedepannya bisa lebih bagus lagi.
Jangan lupa masukin ke reading list,
share, dan vote terus ya!

KAMU SEDANG MEMBACA
MUST END (REPUBLISH)
Romance13+ Rania Adiningrum, seorang gadis remaja berusia 17 tahun yang memiliki kehidupan tidak seperti remaja pada umumnya. Ia tidak pernah pergi ke mall bersama teman, ke tempat disco, ataupun bermain dan bersendagurau dengan sahabat. Semua itu terjadi...