57. Clear

188 4 0
                                        

Tak lama, Eva datang menjenguk Rania dan Haidar ke rumah sakit. Ia datang bersama Angga dan Leon yang juga ingin menjenguk Haidar. Awalnya, mereka berlima berkumpul di kamar, tapi Eva mengatakan kalau ingin berbicara berdua saja dengan Rania.

Rania tidak tahu apa yang ingin Eva katakan. Akhirnya, Haidar, Leon, dan Angga terpaksa tergusur dari ruangan ini.

"Jadi, lo mau ngomong apa?" tanya Rania.

"Ini soal Icha."

"Icha?" tanya Rania tidak mengerti.

Eva mengangguk. Terlihat dari raut wajahnya kalau ia akan mengatakan hal yang sangt serius. Tapi tiba-tiba, ia meneteskan air mata dan menundukkan kepalanya.

"Eh, Va, lo kenapa?!" tanya Rania panik.

"Maafin gue, Ran."

"Emang lo punya salah apa sama gue?! Lo ngga pernah ngelakuin hal aneh!"

"NGGA, GUE SALAH, RA! ARI, RA! ARI! Karena gue...."

DEG!

Rania langsung terdiam. Seketika ingatannya kembali ke hari kematian Ari.

"Gue... gue tau kalo yang ngelakuin semua kejadian yang menimpa lo semlama ini itu Icha. Gue udah nasehatin dia berkali-kali, Ran! Tapi dia diem aja dan malah jadi dingin ke gue!" ucapnya sambil terisak.

"Waktu Icha bikin rencana untuk hari kelulusan, gue udah matian-matian ngehentiin Icha. Bahkan, bokap gue udah usaha buat nangkep komplotannya Icha. Tapi... lo tau sendiri kan kalo Icha tuh orang kaya nomor 1 di kota ini? Dia bakalan punya banyak uang dan koneksi untuk menutup rapat semua kelakuan dia selama ini."

"Sampai malam sebelum acara kelulusan, belum ada kabar tentang Icha sama komplotannya. Untuk jaga-jaga, gue nelpon polisi sama ambulans buat ngikutin mobil lo terus seharian itu."

"Hari itu, Haidar ngga anter lo pulang kan? Itu karena gue ngajak dia ketemuan di belakang sekolah buat ngasih tau rencana gue. Tapi, di tengah obrolan kita, kita baru sadar kalo saat itu adalah kesempatan Icha buat ngabisin lo. Saat di mana Haidar ngga ada di sisi lo."

Rania tercengang. Bagaimana bisa.... Kejadian itu.... Bukankah seharusnya menimpa dirinya saja? Bukankah... rencana itu adalah rencana untuk membunuhnya? Tapi kenapa Ari yang terluka? Kenapa harus Ari yang pergi?
Tanpa sadar, mata Rania mulai memerah dan air matanya menetes.

"Gue sama Haidar langsung pergi buat ngejar lo. Tapi, baru kita jalan 3 menit, gue langsung dapet kabar dari ambulans yang gue tugasin. Mereka bilang, mobil lo udah ditabrak truk. Betapa ngga nyangkanya gue, yang nabrak lo itu truk molen segede itu. Gue sama Haidar langsung pergi ke rumah sakit, karena itulah gue dateng paling awal."

Mereka berdua menangis bersama, tidak bisa saling menatap satu sama lain.

"Gue pembunuh! Ngga seharusnya gue biarin ini terjadi! Kalo aja gue bantuin bokap gue lebih maksimal lagi! Kalo aja gue bisa ngehancurin mental dia! Kalo aja...." Belum sempat Eva menyelesaikan kalimatnya, Rania sudah menyela.

"Va." Panggil Rania.

Ranua menangkup wajah sahabatnya itu menggunakan kedua telapak tangannya. Ia hapus air mata Eva yang tidak berhenti mengalir.

"Kalo aja, itu adalah kata yang paling menyedihkan di dunia ini."

"Ini semua bukan salah lo, semua udah diatur. Dan gue yakin, sekenario Allah itu yang paling baik buat gue. Bagaimanapun endingnya, kalau emang Dia yang ngatur, gue bakalan terima dengan ikhlas dan lapang dada."

"Maafin gue, Ran."

Eva memeluk Rania. Ia menyandarkan kepala Rania pada dadanya. Air matanya mengalir semakin deras. Rania membalas pelukan itu dan mengeratkan pelukannya.

MUST END (REPUBLISH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang