54. Tamu

155 4 0
                                        

Setelah mendapat perawatan dan operasi untuk mengambil 3 peluru yang ada di lengannya dan menjahit seluruh luka sabetannya, Haidar dipindahkan ke ruang pemulihan.

Iya, Haidar mendapatkan luka tembakan itu dari Juna saat mereka berkelahi.
Rania juga dipindahkan ke ruang rawat inap setelah ia mendapatkan penangan dari dokter.

Kepala Rania saat ini diperban seperti kepala Haidar. Ada beberapa bagian lengannya yang juga diperban karena terkena luka sayatan saat berusaha menghindari pisau Icha.

Rania membuka matanya perlahan. Orang pertama yang ia lihat adalah ummi dan tante Wulan yang tengah bersedih. Raut wajah mereka pucat.

"Tan..." panggil Rania lirih.

Tante Wulan yang sedang menunduk pun langsung terlonjak dari posisi duduknya, begitu pula ummi. Raut wajah mereka langsung bahagia, mereka menghela napas lega.

"Alhamdulillah..." ucap tante dan ummi.

Rania menoleh ke arah sebelah kiri tubuhnya. Ia tidak melihat keberadaan sang suami di ruangan itu.

"Mana yang sakit, Ran?" Tanya tante Wulan.

"Haidar mana tante?" Tanya Rania.

Wulan dan Sinta saling menatap sendu.

"Haidar masih di ruang pemulihan, sayang." Jawab Sinta lembut.

Rania mengerutkan dahinya.

"Ruang pemulihan? Haidar operasi apa, ummi?" Tanya Rania mulai panik.

"Haidar sempat ditembak dibagian perutnya, jadi dia kekurangan banyak darah." Jawab Sinta.

DEG!

Saat itu juga, Rania langsung terdiam. Ia mengingat kembali kejadian sebelum ia tiba ke rumah sakit ini. Ia berada di hotel R, dan suaminya datang bebebrapa saat setelah kedatangannya.

Di saat Rania terus-terusan diserang Icha, Haidar masih tetap sadar. Ia berusaha sekuat tenaga untuk melindungi Rania. Bahkan, di saat ia kekurangan banyak darah.

Air mata Rania langsung menetes. Ia tak bisa menahan tangisannya lagi.

Tangisan Rania pecah. Ia menangis sesenggukan seperti anak kecil.

"Ma-maafin Rania, Ummi! Ha-Haidar jadi luka karena Rania." Ucap Rania tergagap sambil menangis.

Sinta langsung mememluk gadis cantik itu dengan penuh kasih sayang. Ia mencoba menenangkan Rania.

"Ngga, ini bukan salah kamu. Memang sudah seharusnya Haidar menjaga kamu! Lagi pula, ini takdir Allah, sayang!" Ucap Sinta menenangkan.

Tapi, perkataan Sinta saat itu benar-benar tidak mempan pada Rania. Ia sudah sangat menyesal. Ia takut. Sangat ketakutan. Rania takut, ia harus kehilangan seseorang yang ada di sisinya lagi. Seperti 10 tahun lalu, satu persatu orang yang ada di sisinya pergi meninggalkannya.

Rania, sudah benar-benar trauma.
Setelah itu, ummi dan tante pergi meninggalkan Rania. Mereka terpaksa, karena masih harus mengurus orang-orang rumah. Rania paham akan situasi mereka.

Begitu kamarnya sepi, Rania mencoba untuk berdiri perlahan. Ia pergi keluar, dan bertanya kepada suster di mana ruangan tempat suaminya di rawat.

"Sus, saya mau tanya, pasien atas nama Haidar, ada di kamar nomor berapa ya?" Tanya Rania.

"Untuk pasien atas nama Haidar, akan segera dipindahkan ke ruangan rawat inap nomor 507. Anda bisa langsung pergi ke sana." Jawab suster lembut.

"Baik, terimakasih sus." Jawab Rania.

Rania langsung kembali melangkahkan kakinya untuk masuk ke kamar. Karena, di sana lah Haidar akan dipindahkan. Mereka akan dirawat di ruangan yang sama. Ruang rawat inap Rania memang untuk dua pasien.

Tak lama, Haidar masuk ke kamar menggunakan kursi roda yang didorong oleh suster. Ada seorang dokter yang juga ikut masuk ke dalam kamar.

Sang suster membantu Haidar untuk naik ke atas brangkar. Sedangkan dokter memberitahu perawatan apa yang harus Haidar lakukan selama pemulihan. Setelah itu, dokter dan suster meninggalkan kamar mereka.

Ruangan menjadi hening. Tatapan Rania dan Haidar bertemu. Mata Rania memerah dan berkaca-kaca.

Haidar bangun dari posisinya perlahan. Ia mulai berdiri menghadap Rania.
Rania berjalan memeluk Haidar dengan lembut. Ia menangis dalam pelukan itu. Rania sangat ketakutan. Ia takut, jika harus kehilangan Haidar.

Haidar membalas pelukan lembut dari sang istri. Ia menciumi pucuk kepala Rania sesekali agar sang istri merasa lebih tenang. Baru kali ini, ia meluhat Rania begitu menyayanginya. Rania yang sangat membutuhkan dirinya.

"Aku takut kamu kenapa-napa. Aku takut kamu pergi." Ucap Rania di tengah tangisannya.

"Aku ngga akan pergi, Nia. Tugas aku buat jagain kamu belum selesai."

♠︎♠︎♠︎

Setelah itu, bisa dikatakan, Rania lah mengurus Haidar selama itu. Ia menyuapi makan Haidar, mengambilkan minum, dan segala yang Haidar butuhkan.

“Maaf, kamu jadi ngurusin aku padahal habis sedih dan melewati masa-masa itu.” Ucap Haidar.

“Ngga pa pa, aku harus menyibukkan diri untuk melupakan hari itu.” Jawab Rania sambil memberikan senyum tipis.

Setelah itu, Rania memasukkan suapan nasi ke dalam mulut suaminya.

Tiba-tiba, terdengar suara seseorang yang membuka pintu. Keluarga Haidar datang. Ummi langsung berlari masuk,  abi hanya berdiri di depan pintu, sementara Haura menaruh parsel buah yang ia bawa di atas meja.

“Rania...! Ya Allah, kok lengan kamu bisa begini?” Tanya ummi panik.

“Ngga pa pa kok mi, cuma lecet dikit aja.” Jawab Rania.

“Ummi, ini anaknya juga sakit lho. Kok cuma Rania yang ditanyain plus diampirin malah dia?!” Tanya Haidar dengan suara yang terdengar ngambek.

“Rania kan anak ummi juga.” Jawabnya. Haidar memasang wajah cemberut.

“Dasar, untung ada Rania, kalo ngga aku ogah ngurusin kamu yang kayak gini. Udah bosen!” ujar ummi.

“Yeee…. Ummi mah mana bisa ninggalin anaknya yang paling ganteng ini luka-luka sendirian.” Jawabnya.

“Kamu ya, dikasih tau malah ngelantur!” ujar abi sambil memukul lengan anaknya itu menggunakan koran.

“AH, sakit bi! Bagian lukanya ini!” bentak Haidar.

“Biar tau rasa kamu!” Jawab ayah.

Rania hanya tersenyum sekilas dan kembali memasukkan suapan nasi ke mulut Haidar. Haura yang sedang duduk di sofa memperhatikan sepasang kekasih yang ada di hadapannya itu sambil mengeluarkan senyuman tengil. Nih satu keluarga emang tengil semua kah?~

“Cielah, yang disuapin.” Ledek Haura.

“Iyalah. Makanya, jangan jomblo.” Jawab Haidar.

“Alah… ba….” Belum sempat Haura menyelesaikan kalimatnya, abi langsung memukul lengannya menggunakan koran juga. Ia hanya cengengesan sambil menganggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu.

“Kak Ran, kapan-kapan main bareng yuk! Nanti kita gibahin bang Haidar.” Ujar Haura.

“Hayuk lah, gas!” jawab Rania.

“Gibahin suami sendiri.” Ujar Haidar dengan tampang malas plus kesal.

“Dih bang, gibahinnya juga sama Gue! Bukan sama orang lain! Baperan lu!” ucap Haura.

“Ah, shut up lo bocil!” Ucap Haidar.

"Eh, inget cuma beda sehari lo ama gue!" Timpal Haura sewot.

“Mi, balik aja yuk! Daripada dengerin mereka misuh terus di sini!” ujar abi.

“Iya deh. Lagian, kasih waktu mereka buat pacaran juga.” Jawab ummi.

“Haura, pulang dulu!” lanjutnya.

Tanpa menjawab, Haura langsung berdiri mengikuti langkah orang tuanya.

“Kita pamit dulu ya. Ran, bunda titip Haidar ya. Assalamualaikum.” Ujar ummi.

“Iya bun, waalaikumsalam.” Jawab Rania dan Haidar serempak.

"Oh, iya! Haidar, nanti bunda kamu mau datang."

Setelah keluarga Haidar pergi meninggalkan kamar, tiba-tiba Haidar memeluk sang istri. Posisi Rania sedang berdiri, sehingga Haidar menyandarkan kepalanya ke perut Rania.

Rania tentu bingung dengan sikap Haidar ini. Bukan pertama kali ini ia bersikap manja pada Rania. Namun, entah kenapa, kelakuannya saat ini sangat lembut dan tulus. Rania mengelus puncak kepala Haidar menggunakan tangan kanannya.

“Aku lega, kamu ngga pa pa.” ucap Haidar.

“Harusnya aku yang ngomong kayak gitu.”

“Aku takut….”

Belum selesai Rania menyelesaikan kalimatnya, Haidar menempelkan jari telunjuknya ke bibirnya.

“Shttt…, jangan ngomong yang aneh-aneh.” Ujar Haidar.

Ya aku begitu karena sayang sama kamu. Rania mengucapkan kata-kata itu selirih mungkin. Namun, pendengaran Haidar yang sangatlah tajam itu dapat menangkap suara sang istri.

“Kamu tadi ngomong apa? Sayang aku?” tanya Haidar sambil tersenyum dengan tangannya yang masih melingkari pinggang Rania.

Rania menghela napas panjang.

Awalnya, ia tidak ingin mengakuinya. Tapi, Rania tidak ingin menyesal untuk yang keduakalinya. Ia tidak ingin menyesal dengan tidak mengatakan seberapa dirinya menyayangi orang itu. Seperti yang dulu ia lakukan pada Ari.

“Iya. Aku sayang kamu Haidar. Makanya, jangan sakit ya.” Ucap Rania lembut sambil mengelus puncak kepala Haidar.

Haidar yang sedang mendangak menatap Rania tersenyum.

“Finally, I melted my queen.” Ucapnya.
Haidar menatap Rania yang dibalas tatapan juga.

“Aku ngga habis pikir bakalan bilang kayak gini ke kamu.” Ucap Rania.

Haidar diam menunggu Rania menyelesaikan kalimat.

“Tapi tolong, jangan tinggalin aku sendirian ya?” lanjut Rania.

"Ya, aku janji. Aku akan terus berusaha menjagamu, membuatmu nyaman, dan membuatmu semakin jatuh cinta padaku. Aku juga akan membuatmu meniteskan air mata kebahagiaan selama berada di sisiku. Kita akan merajut kenangan indah bersama, oke?” ucap Haidar lembut.

“Of course. Since I am yours, you must take care of it as best you can." Jawab Rania.

“Sure, my queen.”

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Cieee.... dah mulai ayang-ayangan nih si Rania!

GG emang si Haidar!

Kalo penasaran sama kelanjutan cerita ini, aku bakalan lanjut, kalo ga penasaran, ya tetep lanjut.😆

Btw, kalian suka tipe cerita ini ga?

Kalian boleh banget kasih komentar, kritik, atau saran kalian supaya cerita aku kedepannya bisa lebih bagus lagi.

Jangan lupa masukin ke reading list,
share, dan vote terus ya!

MUST END (REPUBLISH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang