41. Rumah Rania

100 3 0
                                    

Setelah semua selesai sholat dan kembali ke rumah, dan suasana hidup kembali. Aku hendak ke luar untuk membelikan mereka makan malam.

“Kak, lo mau ke mana?” Tanya Ari.

“Beli makan.”

“Ngga usah kakak ipar, kita pesen ojek.” Kata Ayu.

“Cielah…. Yang kakak ipar.” Ujar Haidar menggoda.

“Si paling kakak Ipar.” Timpal yang lain. Ayu hanya menunduk dengan senyum malu. Ari hanya tertawa melihat tingkah teman-temannya itu.

“Duduk sini aja bareng kita. Sekalian nunggu makanannya dateng.” Ujar Haidar sambil menepuk sofa sampingnya. Yang lain ikut mengangguk. Rania merasa tidak enak hanya diam di dalam kamar dari tadi. Akhirnya, ia ikut duduk bersama mereka.

Di tengah perbincangan dan tawa itu Rania merasa sangat bahagia. Sudah lama ia tidak merasakan suasana seperti itu lagi. Akhirnya, setelah sekian lama, suasana di rumah ini hidup kembali. Banyak obrolan, candaan, dan tawa. Rania merasa Haidar sesekali melirik ke arahnya. Ia juga menheluarkan sedikit senyuman. Ari juga menatap ke arah sang kakak. Tatapannya sama persis dengan tatapan Haidar.

Apakah Ari dan Haidar sebenarnya mengumpulkan teman-teman mereka agar aku bisa beradaptasi untuk bersosialisasi kembali? Apa usaha mereka itu berhasil? Apakah mereka menatapku seperti itu karena mereka sudah berhasil? Apakah selama ini, aku membuat Ari kerepotan?~ Rania memikirkan semua hal itu saat Haidar dan Ari menatapnya.

“Dar, lo bisa kenal mereka juga dari mana?” tanya Rania.

Semua teman-teman Ari berhenti tertawa dan bercanda. Mereka langsung menatap ke arah Rania. Tatapan ketakutan. Ada beberapa yang menunduk.

Ari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal itu.

“Nemu di jalan, trus gue pungut.” Ucap Haidar santai.

“Anjir bang! Lo nyama-nyamain kita sama barang apa?!” ucap Farel. Salah satu anggota BRUISER.

“Emang anjing abang satu ini! Gue yakin ukhti Rania ogah sama dia.” timpal Rion.

Seluruh pasang mata yang ada diruangan itu langsung menatap ke arah Rion. Mata mereka membelalak sambil memasang wajah panik.

“Apa?” tanya Rion bingung.

Ayu melotot ke arah Rion dan melirik ke arah Haidar untuk memberi kode jepada Rion bahwa Haidar sedang marah besar. Wajar kalau mereka semua panik, raut wajah Haidar sudah tidak dapat dikontrol. Wajahnya merah padam. Haidar berjalan ke arah Rion dan menarik kerah cowok itu.

“Lo cari mati, hah?!” tanya Haidar menahan emosi.

Peace, bang. Gue keceplosan.” Ucapnya panik.

“Sekali lagi lo ngomong kayak gitu, abis lo sama gue!” ucap Haidar.

Haidar melepas cengkramannya dan mendorong kuat Reon hingga terjatuh ke atas sofa. Haidar berjalan ke arah Rania dan duduk di karpet yang ada di sebelahnya. Ia menyenderkan kepalanya di sofa yang kududuki sambil menghela napas panjang.

“Duh, emang paling serem lo kalo udah ada sangkut pautnya sama Rania!” celetuk Leon.

“Bucin!” timpal Angga dan Ari serempak.

“Biarin! Dia juga dititipin ke gue!” ucap Haidar menanggapi mereka.

“Dititipin?” Tanya Eva bingung.

“Iya, Rania itu punya Allah. Jadi, In Syaa Allah, Allah bakalan nitipin Rania ke gue kalo nama kita memang bersanding di lauhul mahfudz.” Jelas Haidar.

“Ngga sudi bet gue. Kali Rania yang spek bidadari disandingin ama lo!” ucap Leon.

“Ya kalo Allah bilang kita jodoh, lo bisa apa?” ujar Haidar.

Hening.

Leon langsung kalah telak begitu Haidar mengeluarkan kata perkata dari mulutnya.

“Anjir, lo bisa alim to?!” celetuk Angga.

“Merinding gue, Dar!” ucap Leon.

"Mo muntah!" Timpal Icha.

“Biasa, lagi kasmaran.” Ucap Ari.

“Kayak lo pernah aja, Ri!” ledek Leon.

“YTTA!” respon Ari.

Rania menarik salah satu sudut bibirnya tanpa sadar.

“Dih, ada yang senyum-senyum nih!” goda Angga sambil menunjuk ke arah Rania.

“EKHEM, JOMBLO MINGGAT!” ucap Farel heboh.

“KENAPA GUE JOMBLO, TUHAN?!” ucap Syifa tidak kalah heboh.

“Lo napa kak?” tanya Ari pada Rania.

“Di luar ekspektasi omongannya si Haidar.” Jawab Rania.

“Kenapa? Lo makin tertarik?” tanya Haidar menggodaku sambil menaikturunkan alisnya. Rania hanya membalasnya dengan mengangkat bahu, lalu menyenderkan tubuhnya ke sandaran sofa.

"Lo serius kepincut ama modelan begini?!" Tanya Icha dan Eva tidak percaya pada Rania.

“DUH, BISMILLAH TANDA-TANDA LAMPU IJO!” Ucap Angga heboh.

“MAKAN-MAKAN!!!” ucap para anggota BRUISER serempak yang dilanjut dengan tawa menggelegar di seluruh ruangan hari itu.

Setelah itu, pesanan makanan kita sampai. Rania hendak keluar dan membayar biayanya, namun Ayu menahannya. Katanya, dia yang bayar. Kita semua makan bersama malam itu.

Selesai makan, kita mengobrol dan bercanda lagi. Rania hanya mendengarkan mereka.

Semua sangat bersemangat, Rania bahagia melihat mereka ceria, apalagi Ari. Tapi, ada secuil perasaan iri di dalam hatinya. Ia ingin ikut tertawa dan bercanda dengan mereka, apalagi setelah mendengar perkataan Haidar saat di perpustakaan tadi.

Namun, sebagian besar diri Rania, belum terima bahwa mereka bisa bahagia. Mereka mengikatnya dengan perasaan bersalah. Mereka tidak ingin, Rania membunuh seseorang lagi. Membahayakan mereka. Rania terhanyut oleh pikirannya. Hingga akhirnya Haidar menyadarkannya.

“Ya, kami ngga pa pa?” tanya Haidar. Rania menggeleng.

“Kak, kita pamit pulang dulu.” Ujar teman-teman Ari.

“Iya.” Jawab Rania.

"IYA, KENA SIDANG BOKAP NTAR! Gus balik duluan ya, Ran! Ayo, Cha!" Ucap Eva sambil menarik lengan Icha.

"Iya, iya." Jawab Icha malas.

“Assalamualaikum” ujar mereka serempak.

“Waalaikumsalam.” Jawb Rania, Ari, dan Haidar.

Mereka keluar rumah saru persatu. Menaiki motor, dan pergi meninggalkan rumahku. Tempat ini, kembali kekeadaan seharusnya.

Hening. Sepi. Sunyi. Dan sebentar lagi, aku dan Haidar juga akan pulang.

“Ri, gue pulang dulu ya.” Pamit Rania.

“Iya kak. Hati-hati.” Jawab Ari.
Rania hanya mengangguk.

"Bang, ati-ati naik motornya! Jan ampe kakak gue lecet! " teriak Ari pada Haidar yang sudah berada di depan gerbang.

"YOI" jawab Haidar.

Hening.

"Kak, lo ngga mau peluk gue gitu!" Goda Ari.

BRUK!

Tiba-tiba, Rania memeluk Ari. Ia memeluk sang adik dengan sangat lembut. Ia belai kepala Ari dan menepuk pelan punggung adiknya itu.

Mata Ari membola. Ia terkejut dengan aksi kakaknya yang sangat tiba-tiba itu. Padahal, niatnya tadi untuk meminta pelukan pada sang kakak kan hanya untuk menggoda.

"K-kak?" Panggil Ari.

"Maaf!"

Rania melonggarkan pelukannya. Ia menjauhkan tubuhnya dari Ari dengan kedua telapak tangan yang masih bertengger pada bahu sang adik. Ia membelai kepala adiknya dengan tangan kanannya sebanyak tiga kali.

"Assalamualaikum."

Setelah itu, Rania langsung pergi keluar rumah, menutup gerbang, lalu pergi pulang ke rumahnya bersama sang suami.

Di motor, mata Rania terus dilinangi air mata. Ia bahagia akhirnya berhasil memeluk Ari setelah 10 tahun. Ia selalu gemetar setiap ingin memeluk Ari. Ia takut jika Ari juga meninggal dalam pelukannya seperti 3 kasus sebelumnya.

Rania memeluk pinggang Haidar dari belakang.

"Mengekspresikan rasa cinta, apa itu jalan terbaik untuk saling mencintai?" Tanya Rania.

"Yang kamu lakukan sudah benar, Ya." Jawab Haidar.

Sementara Ari, ia masih terus mematung di pintu depan rumah tempatnya betpelukan dengan aang kakak.

Air matanya menetes, terjun bebas ke pipinya. Ari menangis sesenggukan seperti anak kecil. Ia sangat bahagia, akhirnya, setelah 10 tahun, kakak perempuan yang paling ia cintai itu memeluknya lagi.

"Lo harusnya juga bilang, kakak sayang kamu Ari, maaf selama ini udah nyuekin kamu, kakak tagih janji kamu 11 tahun lalu."

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Apakah ini pertaanda kalau trauma Rania udah mau sembuh?

Berarti, MUST END udah mau tamat dong?!😱

Kalo penasaran sama kelanjutan cerita ini, aku bakalan lanjut, kalo ga penasaran, ya tetep lanjut.😆

Btw, kalian suka tipe cerita ini ga?

Kalian boleh banget kasih komentar, kritik, atau saran kalian supaya cerita aku kedepannya bisa lebih bagus lagi.

Jangan lupa masukin ke reading list,
share, dan vote terus ya!

MUST END (REPUBLISH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang