Keesokan paginya, Rania hendak pergi ke mushola sekolah untuk melaksanakan sholat tahajud. Entah kenapa rasanya dari kemarin ia merasa resah. Sudah beberapa hari ini Rania tidak sholat tahajud karena terlalu mengantuk untuk bangun dari kasur.
Kebetulan hari ini Rania berkemah. Tidurnya memang tidak pernah nyenyak kalau tidak tidur di rumah. Entah kenapa rasanya dari kemarin merasa resah.
Rania berjalan menuju mushola. Di tengah perjalanan, ia melihat siluet seseorang yang tidak asing.
"Haidar?" sapa Rania tidak yakin.
Ia menoleh pada Rania dengan muka bantalnya sambil tersenyum.
"Eh, sayang! Kamu ngapain di sini pagi-pagi buta?" tanyanya.
"Mau tahajud."
"Masyaallah... Kalo gitu, kita jamaah ya?" tanya Haidar yang dibalas anggukan oleh sang istri.
"Mata kamu kenapa?"
Rania sedikit khawatir melihat mata panda Haidar dan wajah lesunya. Seperti orang yang tidak tidur semalam. Matanya juga sedikit merah.
"Aku ngga bisa tidur." Jawab Haidar.
"Karena mimpi itu?"
"Iya, aku akhir-akhir ini bisa tidur lumayan nyenyak kalo peluk kamu. Begitu hari ini ngga bisa peluk kamu, aku jadi takut mimpi dan ngga mau tidur." Jelas Haidar panjang lebar.
"Nanti pulang kemah langsung tidur!" Titah Rania yang dibalas anggukan antusias oleh sang suami.
Haidar langsung merangkul istrinya sambil tersenyum bahagia. Sebenarnya, Rania khawatir karena itu berarti ia akan berdua saja dengan Haidar di mushola. Ia khawatir jika ada seseorang yang melihat mereka. Tapi, ini pagi-pagi buta. Tidak akan ada yang bangun bukan?
Tiba-tiba, terdengar nada dering dari ponsel Rania. Ia mengeluarkan ponselnya itu dari saku rok dan melihat siapa yang meneleponnya pagi-pagi buta begitu.
Hanya nomor, tidak ada keterangan nama di sana. Haidar langsung merebut ponsel itu dan menjawab teleponnya.
"Halo?" Tanya Haidar pada seseorang yang ada di telepon itu.
"Udah saya bilang, saya tidak mengizinkan Rania untuk menjadi model anda."
"Saya bilang tidak, ya tidak!"
Haidar langsung memutus telepon itu dengan raut wajah kesal. Rania tentu penasaran dengan siapa Haidar berbicara tadi.
"Emangnya siapa, Dar?" Tanya Rania.
"Cuma orang gila."
Begitu tiba di mushola dan hendak masuk, Haidar langsung berdecak kesal begitu melihat ada sepasang sandal yang ada di depan pintu mushola. Ternyata, itu adalah sandal Juna yang baru saja masuk ke mushola.
"Aelah, ni bocah ngapain sih?!" Gumam Haidar kesal.
"Ya udah, kita sholat munfarid aja." Bisik Rania.
Haidar mengangguk lesu dengan bibirnya yang manyun. Ia mengecup singkat dahi Rania, lalu pergi ke tempat wudhu laki-laki.
Jadi, hari ini, ada tiga makhluk Allah yang mendatangi mushola ini. Tapi entah kenapa, suasanya sangat canggung. Belum lagi, hubungan Haidar dan Juna sepertinya sedang kurang baik. Tatapan mereka antara satu sama lain sangatlah tajam.
Selesai sholat tahajud, Juna menerima telepon dan langsung pergi dari mushola. Hanya ada Rania dan Haidar.
Rania melanjutkan doanya. Mengadukan semua keresahannya kepada Sang Rabb.
Begitu Rania selesai, Haidar sudah tidak ada. Ia keluar mushola. Ternyata Haidar sedang duduk di luar menunggunya selesai.
"Udah?" tanyanya. Rania menjawabnya dengan anggukan.
Haidar tersenyum hangat pada sang istri. Rania langsung mengalihkan pandangan sambil beristighfar. Ya Allah, betapa indahnya ciptaanmu yang satu ini. Apa engkau telah membuat hamba jatuh pada lelaki ini?!~ batin Rania.
"Ngga usah senyum kayak gitu!" titah Rania.
Haidar mengerutkan dahinya bingung, ia juga memiringkan kepalanya.
"Kenapa? Kamu takut makin cinta dan sayang karena kepincut ketampananku, ya?" tanyanya dengan senyum genit.
"Iya." Jawab Rania lirih tanpa menatapnya.
Haidar berusaha menahan tawa agar tak ada seorang pun yang terbangun karena suaranya. Ia mengelus gemas kepala Rania yang rambutnya tertutupi khimar.
Rania melirik ke arah Haidar, ia sedang tersenyum saat itu sambil berkacak pinggang dan menatap langit gelap.
Haidar berjalan menuju tenda. Dengan jarak yang tidak terlalu dekat itu, Rania masih dapat mendengar suara Haidar.
"Kenapa harus sekarang, Ya?" Gumam Haidar.
Rania yang mendengar gumamannya itu hanya terdiam. Ia penasaran, apa maksud perkataa dari suaminya itu. Biarlah ia menanyakan hal itu di lain waktu. Karena, mereka sudah sampai di persimpangan arah menuju tenda cewek dan cowok. Jadi, mereka harus berpisah.
"Assalamualaikum." Ucap Haidar.
Mata Rania membelalak. Langkahnya juga terhenti. Tapi, ia tidak berbalik dan menatap suaminya.
"Waalaikumsalam."
Entah kenapa pagi ini Haidar bersikap hangat. Tidak seperti biasanya. Rania jadi khawatir. Lo ngga salah minum obat kan?~ batin Rania.
♠︎♠︎♠︎
Saat hendak sholat subuh, Rania, Eva, dan Icha pergi bersama ke mushola untuk melaksanakan sholat subuh berjamaah. Setelah menaruh mukena di dalam mishola, mereka pergi ke tempat wudhu. Saat Rania menggulung lengan bajunya untuk berwudhu, terlihat sebuah bekas luka di pergelangan tangannya.
"Ran, tangan lo kenapa?" Tanya Eva mewakili Icha yang juga penasaran.
"Cuma bekas luka."
Mereka mengangguk paham mendengar jawaban Rania. Mereka tidak ingin membahasnya lebih jauh. Karena sepertinya, Rania pun tidak menginginkan hal itu.
Setelah wudhu, mereka memasuki mushola untuk melaksanakan sholat subuh. Di sana, para lelaki masih saling mendorong dan menunjuk untuk memilih imam.
Haidar yang melihat hal itu, menatap jengah ke arah mereka yang ribut memilih imam. Ia melangkah maju.
"Gue aja." Ucapnya sambil berjalan menuju shaf imam.
Para gadis yang melihat itu keheranan. Mereka meragukan Haidar untuk menjadi imam. Tidak tahu saja mereka, jika saat Haidar mengimami Rania, istrinya itu sampai salting sendiri mendengar suaranya.
Allaahu akbar
Bismil laahir rahmaa nirrahiim...
Sholat subuh dilaksanakan dengan sangat khusyuk. Sunyi, tidak ada yang bebicara atau berbisik.
Selepas sholat subuh, para jamaah laki-laki dan perempuan langsung heboh. Mereka tidak menyangka jika bacaan Haidar tadi bisa semerdu itu. Kecuali Rania dan anggota inti. Karena, mereka tahu, jika Haidar dulu saat SMP bersekolah di salah satu pondok pesantren.
"Anjay, boleh juga tu anak." Ucap Icha.
"Real, menggetarkan hati!" Goda Eva sambil menyenggol bahu Rania.
"Baper lo, Ran?" Goda Icha.
"Ngga."
"Baper aja, lah."
Rania menatap jengah ke arah duo sahabatnya itu yang menertawainya.
Setelah sholat subuh dan seluruh siswa kembali ke tenda, langsung diadakan acara perburuan harta karun. Setiap kelompok harus menemuka sebuah kotak harta karun kecil yang berisiskan quotes beserta soal yang perlu dijawab.
Rania, Haidar, Eva, Icha, dan Angga, dan Leon, sudah berkumpul. Misi mereka adalah mencari kotak harta karun yang berada di sekitar taman.
Mereka mulai berpencar. Pencarian berhenti ketika Angga menemukan kotak tersebut.
"Apaan tu isinya?" tanya Leon.
"Ya sabar napa! Buka kotaknya aja belom!" jawab Angga.
"Picek." Ucap Icha.
"Tau lo, ke dokter mata sono!" ucap Eva.
"Mulut lo semua bisa mingkem ngga? Kayak Rania napa, kalem, anteng, cantik." Ucap Haidar dengan menebar senyum tengilnya.
"Hoek!!!" ucap Icha, Eva, Angga, dan Leon serempak.
"Lama-lama gue tabok lo!" ucap Rania kesal.
Haidar tersenyum. Mencurigakan sekali senyumnya itu. Ia menaik turunkan alisnya.
"Nanti aku cepuin ke tante, kalo kamu itu bukan istr-hmppp!"
Kalimat Haidar terpotong karena Rania yang langsung membekap mulut suaminya begitu ia ingin mengatakan 'istri'. Orang-orang yang melihat kelakuan Rania itu pun menatap bingung ke arahnya.
"Kenapa, Ran?" Tanya Icha.
"Jangan-jangan kalian backstreet dari kita ya?" Goda Eva.
"Anjir, kok kita kagak tau!" Ucap Leon dan Angga histeris.
"Ngga." Sangkal Rania.
"Kagak kagak." Timpal Haidar.
Arin, Eva, Angga, dan Leon menghela napas panjang dan memberikan raut wajah kesal. Revan memutar bola matanya malas.
"Ra, gue tau lo kuat. Makanya, lebih baik lo pendam semua rasa kesal lo, daripada harus nikahin makhluk biadab narsis ngga tau diri kayak dia." Ucap Angga pada Rania dengan memasang raut wajah prihatin.
"Ngga salah." Ucap Eva dan Icha serempak.
Mereka yang bicara, tapi mereka juga yang tertawa terbahak-bahak. Haidar memasang raut wajah kesal.
"Kampret, sialan lo pada!" umpatnya.
Setelah adu mulut yang 'sangat' tidak penting ini, Angga langsung membuka kotak harta karun tersebut.
Kotak itu berisi kertas kecil berwarna biru langit. Di kertas itu tertulis, 'terkadang, saat suatu momen sudah menjadi kenangan, barulah kita menyadari betapa berharganya momen itu'.
Mereka semua langsung saling bertatapan.
Hening.
Di kertas kecil lain berwarna putih tulang tertulis sebuah pertanyaan. Di situ tertulis, 'sudahkah kalian menghargai setiap momen yang kalian lewati?'
"Nyesek banget." Ucap Angga.
Tidak ada yang menimpali perkataannya itu. Mereka semua tenggelam dalam pikiran. Termasuk Rania. Betapa relate-nya quotes itu dengan kehidupan mereka.
"Kita kemah buat have fun, bukan buat deep talk kayak gini." Ucap Icha.
"PAK ADI!!!" teriak Eva.
Sepertinya, ini adalah kemah paling menyenangkan, mengerikan, dan berharga dalam hidup Rania.
Mulai dari acara konser, pensi, tragedi dilempari serpihan kaca, juga mendapat nasihat bijak dari selembar kertas kecil berwarna.
Saat mengingat itu semua, tanpa sadar, rasa resah dalam hati yang kurasakan sejak pagi hilang begitu saja. Sepertinya, ini lah cara menikmati hidup..
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.Kira-kira, yang ada di pergelangan tangan Rania itu bekas luka apa ya?
Kalo penasaran sama kelanjutan cerita ini, aku bakalan lanjut, kalo ga penasaran, ya tetep lanjut.😆
Btw, kalian suka tipe cerita ini ga?
Kalian boleh banget kasih komentar, kritik, atau saran kalian supaya cerita aku kedepannya bisa lebih bagus lagi.
Jangan lupa masukin ke reading list,
share, dan vote terus ya!
KAMU SEDANG MEMBACA
MUST END (REPUBLISH)
Romance13+ Rania Adiningrum, seorang gadis remaja berusia 17 tahun yang memiliki kehidupan tidak seperti remaja pada umumnya. Ia tidak pernah pergi ke mall bersama teman, ke tempat disco, ataupun bermain dan bersendagurau dengan sahabat. Semua itu terjadi...