34. Kill

157 2 0
                                        

Selepas kemah, Rania, duo sahabatnya, dan para anggota inti BRUISER pergi ke sebuah warung makan lesehan untuk mengisi ulang energi mereka setelah mengangkut barang sejak tadi.

"Pada mau pesen apa?" Tanya Ari.

Dia sebagai yang paling muda selalu bertugas memesankan makanan anggota lain sebagai bentuk kesopanannya. Idaman sekali bukan?

"Gue bebek goreng." Ucap Rania.

"Samain." Timpal Haidar.

"Semua samain aja lah, Ri. Pen cepet-cepet makan. Kesean cacing-cacing perut gue!" Ucap Leon.

"Gue toyor juga lo, lama-lama!" Ucap Icha yang kesal dengan ocehan Leon.

"Ampun, neng!"

"Ya udah, gue pesenin dulu!" Ucap Ari.

Ia langsung pergi untuk memesan makanan sekalian membayarnya. Di meja tadi, mereka sudah mengeluarkan sejumlah uang untuk membayar pesanan masing-masing.

"Ran, sorry nih kalo kesannya gue kepo, tapi emang kepo. Itu, pergelangan tangan lo kenapa ya? Gue udah penasaran sejak lama." Tanya Angga.

Rania melirik ke arah pergelangannya, diikuti oleh yang lain. Ia menutupnya dengan lengan baju dan menurunkan tangannya dari atas meja.

"Ngga pa pa, cuma luka biasa."

"Serius luka biasa, itu kayak..." belum sempat Leon menyelesaikan kalimatnya, Haidar sudah mengeluarkan suara.

"Yon!" Peringatnya.

Sebenarnya, Haidar juga tidak tahu bekas luka apa yang ada di pergelangan tangan istrinya itu. Ia tidak pernah bertanya. Karena belum ada waktu yang tepat. Terlebih, saat ia mengetahui bahwa sang istri memiliki masa lalu yang begitu kelam hingga membuatnya mengalami banya trauma. Ia makin sulit  mencari waktu yang tepat untuk menanyakan semua pertanyaan yang ada di dalam kepalanya tentang sang istri yang kehidupannya penuh dengan misteri.

Rania beranjak dari duduknya.

"Gue mau ke toilet dulu." Setelah mengatakan itu, Rania langsung pergi ke toilet.

Di toilet, tanpa sadar, air mata mengalir di pipi chubby Rania. Ia menghapus kasar air mata itu menggunakan lengan bajunya.

Rania sudah tak tahan lagi. Tangis yang sejak tadi ia tahan, akhirnya lepas juga. Ia menangis sesenggukan seperti anak kecil sambil menutup mulutnya agar tidak terlalu bersuara.

"Maafin aku, Ira."

Di sisi lain, Icha dan Eva melotot ke arah Angga dan Leon. Mereka tidak habis pikir dengan perkataan para bocil ceplas-ceplos. Terutama Haidar. Ia menggelengkan kepala melihat kelakuan kedua sahabatnya itu.

"Lo tu keponya g usah kebangetan napa?!" Bentak Eva.

"Tau ni, lo pada polos, bego, apa goblok?!" Bentak Icha sambil menjewer telinga mereka.

Angga dan Leon merintih kesakitan kerena jeweran Icha.

"AAA! Sakit, cok!" Ucap mereka berdua kompak.

Icha menghentikan aksi menjewernya. Angga dan Leon mengusap telinga mereka yang panas karena jeweran Icha dengan raut wajah kesal.

"Tapi serius, gue kepo nih!" Ucap Leon.

"Lo pada juga kan?" Tanya Angga pada Eva dan Icha sambil menunjuk mereka.

Mereka hanya mengerjap. Sejujurnya, mereka juga sangat penasaran tentang sejarah di balik bekas luka Rania itu.
Tepat saat Angga membuka suaranya tadi, Ari sudah tiba di meja setelah memesan makanan.

"Pada kepo apaan?" Tanya Ari bingung.

"Itu... soal-"

"Shut!"

"Apa sih bang?" Tanya Ari kepo pada Haidar yang malah menyela perkataan Angga.

Haidar menatap tajam ke arah Angga dan Leon. Tatapannya benar-benar mematikan, hingga semua orang yang melihat tatapannya saat itu menelan saliva mereka ketakutan.

"Lo bahas soal itu ke Ari, sama aja lo ancurin formasi anggota inti detik ini juga!"

♠︎♠︎♠︎

Pulangnya dari kemah, Haidar dan Rania langsung pulang ke rumah mereka. Ya, mereka sudah pindah ke rumah mereka sendiri sejak seminggu yang lalu.

Mereka langsung melaksanakan sholat isya dan mandi sore. Sebenarnya, acara kemah sudah selesai sejak siang tadi. Namun, yang membuat lama adalah membereskan peralatan kemah serta apel penutupan. Belum lagi, Eva mengajak mereka untuk pergi ke tempat makan yang baru buka. Mumpung diskon, katanya.

"Sayang, nonton film yuk!" Ajak Haidar.

"Tidur!"

"Kamu pasti suka sama film ini!" Ucap Haidar antusias mengacuhkan perintah Rania.

"Tidur, kamu tadi malem ngga bisa tidur, kan?"

"Gampang, nonton dulu pokoknya!"

"Terserah."

Rania sudah sangat pasrah dengan suaminya itu. Haidar berjalan ke arah TV dan memasang flashdisk miliknya. Ia berjalan kembali ke arah istrinya sambil membawa remot dan langsung menyalakan TV.

Haidar membaringkan tubuhnya di sofa dan menjadikan paha Rania sebagai bantal.

Ternyata, yang ingin ditonton Haidar adalah film tentang kedokteran. Jadi, banyak adegan operasi dan lain sebagainya yang mengandung unsur darah.

Walaupun Rania menyukai novel pembunuhan, bukan berarti ia berani melihat darah. Itulah kenapa ia lebih memilih membaca novel daripada harus menonton film. Rania yang takut akan darah, hanya bisa menonton film itu sambil menaruh bantal di depan wajahnya dengan sesekali mengintip. Ia penasaran dengan kelanjutan film itu, tapi tidak berani melihat darahnya.
Saat tengah menonton film, tiba-tiba Haidar melontarkan pertanyaan random pada Rania.

"Sayang, coba bayangin kalo batagor yang selama ini kamu makan ternyata saosnya kayak darah plus ada cacing-cacingnya kayak di usus itu."

Rania yang jijik mendengar hal itu langsung memukul lengan sang suami.

"Jan ngadi-ngadi!"

Haidar terkekeh mendapat pukulan dari istrinya itu.

Mereka sangat menikmati film yang mereka tonton. Malam itu, mungkin semacam kencan bagi mereka. Secara selama ini, mereka belum pernah menghabiskan waktu bersantai berdua.

♠︎♠︎♠︎

Di sisi lain, di sebuah ruangan besar nan gelap yang hanya diterangi oleh sebatang lilin menyala. Ada seseorang yang tengah menatap foto cantik Rania. Ia tersenyum sinis sambil menatap penuh kebencian pada foto itu.

"Jadi beneran lo, Rania?"

Gadis itu mengambil pisau yang ada dim atas meja di samping foto Rania. Ia mengasah pisau itu, lalu meletakkannya kembali.

"Gue harus pilih yang mana?"

Gadis itu bertanya pada diri sendiri dengan nada suaranya yang amat riang sambil melirik ke arah pistol, pisau, revolver, dan senapan yang ia miliki.
Ia mengambil pisau yang sudah ia asah tadi dan langsung menusukkannya pada foto Rania yang berada di atas meja kayu di hadapannya sekuat tenaga dengan penuh emosi.

"You killed her. So now, i will kill you, Rania."

♠︎♠︎♠︎

Ruangan itu amat aneh. Di sana gelap gulita. Bahkan tidak ada yang tahu sebesar apa ruangan itu. Semacam ruang tanpa batas.

Di sana, ada seorang anak kecil yang tengah menangis ketakutan karena tak bisa membuka matanya. Ia gemetaran meneriaki seseorang.

" Huwe... Kenapa aku ditinggalin? You promised not to leave me. Tolong, siapapun buka mataku!" Teriak anak lelaki itu sambil menangis sesenggukan.

Rania merasakan tubuh Haidar yang memeluknya dari belakang gemetaran. Bajunya juga terasa basah.

Rania membalikkan tubuhnya untuk melihat keadaan Haidar. Benar saja, lelaki itu kembali bermimpi buruk seperti hari-hari sebelumnya.

"Haidar." Panggil Rania lembut.

Haidar tidak memberikan respon. Tubuhnya gemetaran resah dan air mata terus mengalir jatuh ke pipinya.

"Haidar." Kali ini Rania memanggilnya sambil menggoyangkan bahunya.

"Jan, gi."

Itu adalah gumaman tidak jelas yang keluar dari mulut Haidar saat ia bermimpi buruk.

"HAIDAR!"

Seketika, Haidar langsung membuka matanya dengan napas yang masih terengah-engah.

Haidar bangkit dari duduknya, lalu duduk. Rania menatap suaminya yang masih ling-lung seperti anak kecil yang terpisah dari orang tuanya.

Lagi.

Haidar menangis seperti anak kecil. Setiap ia terbangun dari tidurnya sehabis memimpikan hal itu, ia langsung menangis seperti anak kecil yang ada di mimpinya. Ia merasakan apa yang anak itu rasakan. Ditinggalkan oleh seseorang yang ia sayangi.

Rania menatap sendu ke arah Haidar. Dengan gerakan kaku dan ragu, Rania menarik suaminya perlahan untuk masuk ke dalam pelukannya. Dengan ragu juga, Rania menepuk-nepuk punggung suaminya itu.

"Aku benci, Ya! Aku benci diriku sendiri!"

Hati Rania ikut terluka mendengar suara tangis Haidar. Suara yang sangat frustasi, seperti seseorang yang kehilangan sesuatu. Rania serasa bercermin saat melihat Haidar menangis. Sangat mirip dengannya di masa 'itu'.

Apakah sesuatu yang kita pikul ini, terlalu berat?~

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Masa lalu Rania aja belum keungkap, ini udah ditambah penasaran sama masa lalu Haidar!

Kalo penasaran sama kelanjutan cerita ini, aku bakalan lanjut, kalo ga penasaran, ya tetep lanjut.😆

Btw, kalian suka tipe cerita ini ga?

Kalian boleh banget kasih komentar, kritik, atau saran kalian supaya cerita aku kedepannya bisa lebih bagus lagi.

Jangan lupa masukin ke reading list,
share, dan vote terus ya!

MUST END (REPUBLISH)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang