"ARRRRGGGGHHHHHH, AMPUN BRYAN." Sebuah teriakan keras terdengar dari dalam bersamaan dengan suara lecutan yang di kibaskan.
"Gila, suaranya menggelegar sampai keluar." Pekik Calvin tak percaya. sejenak ia memandangi Alka, pasti sahabatnya ini merasakan hal yang sama dulu.
Alka menunduk, bayangan bayangan kelam masa lalu melintasinya lagi. Sebuah teriakan teriakan memohon agar di lepaskan Bryan dulu muncul kembali di ingatannya. Merinding ? Tentu saja,bahkan darahnya seakan naik turun, kepalanya merasa pening, perutnya mual , wajahnya pun sudah putih memucat. Alka ingat betul saat dirinya harus memohon dengan merintih kesakitan karena tidak kuat dengan siksaan siksaan kejam yang di berikan sahabatnya.
"Apa Bryan juga melakukannya padamu dulu ?" Tanya Calvin saat melihat gelagat aneh muncul pada diri Alka.
"Hemm, sama persis dengan apa yang dia lakukan pada gue." Jawab Alka sambil meraupkan tangannya pada wajahnya.
"Ka, apa sebaiknya kita hentikan saja ? Gue bukannya iba pada Arnold, tapi gue takut lo mengingat masa lalu yang membuat lo trauma."
"Gue gapapa, Vin. Lo masuk saja, lo lihat keadaan didalam. Biarkan gue istirahat sebentar disini." Pinta Alka, tapi kali ini tidak di turuti Calvin. Rasanya cemas jika harus meninggalkan sahabatnya dalam kondisi seperti ini.
"Tidak akan, gue gak bakalan ninggalin lo."
"Sikap romantisme macam apa ini, Vin ?" Ucap Alka sembari terkekeh. yah itulah Calvin, jiwanya penuh romantisme.
"Kalau gue masuk dan tiba tiba lo pinsan, gue yang bingung. Lebih baik gue nungguin lo dulu disini." Ujar Calvin bersikeras.
"Thanks ya, Vin." Ucap Alka sembari memeluk sahabatnya itu dari samping. Wah, ini sangat langka, kejadian yang hanya terjadi selama sekali seumur hidup.
"Kenapa lo jadi melemah sekarang, Ka ? Lo yang menginginkan permainan ini, tapi lo malah melemah." Ujar Calvin sambil menepuk bahu Alka.
"Sebaiknya kita masuk kedalam, kita lihat ke bringasan dari seorang Axelio Bryan Dananputra." Ajak Alka, ia perlahan lahan mulai melawan traumanya itu.
"Sekarang lo sudah kuat ?" Tanya Calvin dengan wajah keheranan. Secepat itu Alka melupakan traumanya ?
"Lo pikir gue selemah itu ? Gue hanya harus melawan trauma ini sedikit, Gue juga paham posisi Bryan saat itu."
Akhirnya di putuskan jika mereka berdua masuk kedalam. Suasana nampak hening setelah tadi terdengar teriakan teriakan memilukan dari luar. Gedung terbengkalai ini tidak di lengkapi peredam suara, karena itulah suara teriakan teriakannya
bisa di dengar dari luar. Berbeda halnya dengan gedung yang dulu di gunakan untuk menyekap Alka, meskipun tanpa peredam dan letaknya dekat dengan penduduk, namun Bryan cukup pintar mengakalinya dengan menggunakan suara suara anjing liar sebagai penyelimurnya."Kenapa begitu hening ?" Ucap Alka dan Calvin hampir berbarengan.
"Jangan jangan." Alka berlari menuju kedalam dan disusul oleh Calvin di belakang.
Terkejut dan tercengang itu yang dirasakan oleh mereka berdua, ruangan ini penuh cipratan darah dimana mana. Namun kemana perginya mereka bertiga saat ini ? Mengapa ruangannya kosong ?
"Bercak darahnya mengarah ke pintu itu." Tunjuk Calvin ketika melihat jejak darah yang berceceran di lantai.
"Ruang bawah tanah yang di tunjuk Bryan, apa mungkin ?" Alka segera berlari ke arah ruang bawah tanah, ia tidak tahu apa saja yang ada disana. Namun saat ia hendak membuka pintu, pintu itu tertutup dan terkunci dari dalam.
"Sial, di kunci dari dalam." Umpat Calvin, mereka mencoba menggedor gedor pintunya. Namun tak ada sautan suara dari dalam.
Panik, itulah yang dirasakan saat ini. Berbagai macam fikiran buruk hinggap dan melintas di kepala Alka juga Calvin. Apa Bryan sungguh nekat untuk menghabisi nyawa dua orang itu. Tujuan mereka hanya ingin memberi pelajaran, bukan menjadi seorang kriminal pembunuh. Jalan yang di tempuh Bryan tidaklah benar, tapi bagaimana cara mereka menghentikannya.
"BRYAN, BUKA PINTUNYA." Teriak Calvin sambil terus menggedor gedor pintu itu.
"Apa didalam di pasang peredam suara, suara mereka sama sekali tidak terdengar, Vin." Ucap Alka yang semakin panik.
"Apa kita lewat pintu anjing ?" Tanya Calvin yang membuat mata Alka melotot tajam. Apa otak Calvin tertutup dengan kepanikan ? Apa dia tidak berpikir jika melewati pintu anjing sama saja dia menumbalkan tubuhnya di gerombolan anjing anjing yang kelaparan ? Bodoh, mengapa ia tidak bisa berpikir logis di situasi seperti ini.
"Lo mau kita jadi santapan anjing liar ? Gue masih mau bikin junior sama Senjana." Ucap Alka mendramasitir keadaan.
"Yaelah sempet sempetnya lo birahi di situasi seperti ini." Ujar Calvin sembari menepuk jidatnya. Bisa bisanya Alka berpikiran seperti itu saat keadaan sedang genting.
"Gue masih pengen punya anak lima belas, Calvin." Ucap Alka tetap bersikekeh.
"Bodo amat, lo mau punya anak dua puluh pun gue juga enggak peduli." Ucap Calvin sambil membekap mulut Alka, Makin kesini makin kesana makin ngelantur otaknya.
"Jadi gimana ?"
"Gimana apanya ?"
"Gimana caranya produksi anak lima belas ?"
"Nanya dulu, gimana cara masuk kepintu ini. Urusan anak, nanti lo bahas di ranjang sama Senjana."
Saat Alka dan Calvin sedang berdebat hal yang tidak penting, sebuah suara rintihan terdengar dari dalam . Seorang tengah merintih memohon ampun untuk di lepaskan, suaranya membuat orang yang mendengarnya merinding. Sebenarnya apa yang sedang terjadi di dalam sana ? Mengapa suara rintihan itu begitu memilukan.
" AMPUN BRYAN, SAKIT. " Teriakan itu muncul kembali, membuat Alka dan Calvin mencoba menempelkan telinga mereka di pintu. Saat mereka menempelkan, sebuah aliran listrik berukuran sedang menyengat di kulit wajah mereka.
"Pintunya berlistrik." Ucap Calvin dengan spontan.
"Wah, ini tidak beres. Jangan pegang gagang pintunya, Vin." Cegah Alka saat melihat tangan Calvin hendak menyentuh gagang pintu yang terbuat dari besi yang sudah berkarat itu.
"Pintunya di aliri listrik, gue kebayang mereka didalam seperti apa. Apa lo juga mengalami yang seperti ini, Ka ?" Tanya Calvin namun hanya di balas gelengan kepala oleh Alka, berati ia tidak mendapat setruman listrik.
"Vin, selain pintu anjing, ada pintu lain, kan ? Kita masuk dari pintu itu saja." Ajak Alka namun di balas gelengan kepala oleh Calvin.
"Sebaiknya kita menunggu saja, jangan gegabah. Seperti ya lo bilang tadi, biarkan Bryan menyelesaikannya sendiri. Dia sedang ke setanan saat ini, salah salah malah kita yang ikut menjadi korbannya." Cegah Calvin, ia mulai berpikir logis. Lagi pula mereka tidak tahu keberadaan pintu satunya lagi, apalagi ini sudah malam dan kondisi mereka sedang berada di dalam hutan yang entah tidak tahu seperi apa situasi disini.
Alka dan Calvin hanya menunggu di depan pintu dengan wajah yang tegang. Sesekali mereka mendengar suara rintihan rintihan dari dalam. Mereka berdua hanya bisa menutup kuping sambil beradu pandang satu sama lain. Untuk mentralisir hawa yang tidak enak ini dan membuat bulu kuduk merinding, mereka mendengarkan musik.
KAMU SEDANG MEMBACA
SKY OF LOVE
FanfictionKisah Cinta yang di iringi banyak sekali Air mata mungkin akan cocok untuk di deskripsikan dalam lembaran kisah cinta ini.