Kembali kepada keadaan Hirana, Tere, dan Rena. Terlihat mereka bertiga ditempatkan di ruangan yang gelap. Udara di sekitar sana lembab. Anehnya ruangan tempat mereka berada tidak memiliki pintu. Namun, mereka tidak bisa bergerak bebas karena keadaan mereka terikat.
Hirana yang pertama kali sadar berusaha memahami situasi. Tangannya terikat dan mulutnya ditutup. Ia menyadari bahwa mereka telah diculik. Namun, ia tidak sendiri. Ia bersama dengan teman-temannya.
Ia takut. Seperti biasa air matanya sudah mulai terlihat di ujung matanya. Rasanya ia ingin menangis. Namun, ia bisa apa. Ini sudah bukan pertama kalinya ia dalam situasi seperti ini, tapi tidak dengan kedua temannya itu.
Sambil mencoba menahan rasa tangis dan ketakutannya, ia berusaha melepaskan ikatan di tangannya yang tentu saja hasilnya nihil.
Tanpa ia sadari, teman-temannya pun perlahan-lahan bangun. Rena yang bangun lebih dulu tampak sangat shock, matanya sedikit membelalak dan tubuhnya bergetar. Namun, karena ia sepertinya sudah mengerti keadaannya, ia berusaha tidak begitu mengeluarkan banyak suara.
Namun, berbanding terbalik dengan Tere, ia yang tampaknya sangat panik berusaha berteriak dengan mulut yang masih tertutup sehingga menimbulkan sedikit kegaduhan yang membuat Hirana langsung berusaha menenangkan Tere dengan mencoba sekuat mungkin bergeser dengan kaki terikatnya ke arah Tere.
Setelah berhasil mendekati Tere, Hirana kembali menatap Tere dan bergeleng-geleng memberi tanda agar tidak terlalu membuat kegaduhan, siapa yang tau bisa saja para penjahat itu datang dan melakukan hal-hal keji pada mereka.
Rena yang sepertinya telah menyadari situasi berbahaya mereka tampak diam saja dengan mata yang terlihat sekali ingin menangis. Tubuh Rena yang biasanya lemah dan sering sakit selalu dijaga oleh sang kakak maupun keluarganya. Bahkan ketika dalam urusan-urusan keji dan menyeramkan, meskipun Rena mengerti apa yang dilakukan ayah dan kakaknya, mereka tidak akan membiarkan Rena melihat kekejaman itu secara langsung. Namun kali ini mereka kecolongan. Rena telah diculik.
Setelah beberapa lama, Rena sepertinya menyadari sesuatu. Karena ia hampir tidak pernah menggunakannya, ia hampir saja lupa. Gelang. Gelang yang selalu ia pakai di tangannya. Gelang pemberian ayahnya yang selalu diwanti-wanti agar tidak terpisah dari dirinya, bukanlah gelang biasa. Itu merupakan gelang pisau, gelang yang jika dibuka dan ditarik akan terlihat sebuah pisau di dalamnya. Beruntung sekali orang-orang itu belum melepaskan satu aksesoris pun dari tubuh mereka. Akan tetapi, meskipun begitu, tetap sulit menggunakan gelang tersebut karena tangannya terikat.
Rena berusaha memanggil Hirana dengan mulut yang masih tertutup untuk membantunya. Ia memberi isyarat kepada Hirana sambil menunjuk arah tangannya menggunakan kepalanya. Hirana yang tadinya tidak mengerti mencoba mendekat.
Hanya ada suara gumaman yang membuat Hirana tidak mengerti sama sekali. Rena pun bersusah payah dengan kaki dan tangan yang terikat membalikkan badannya agar dapat menunjukkan tangannya ke Hirana dan ia mencoba meraih gelangnya sendiri dengan kedua tangan yang menyatu dan terikat ke belakang.
Hirana melihat Rena yang berjuang meraih gelang di tangan kirinya dengan tangan satunya. Ia pun sedikit-sedikit berusaha memahami apa tujuan Rena. Sepertinya Rena ingin melepas gelang tersebut. Hirana pun ikut membalikkan badannya hingga punggung mereka bertemu agar dapat meraih tangan Rena. Ia mencari-cari letak gelang di tangan Rena dengan kondisi memunggunginya dengan tangan yang terikat ke belakang. Setelah itu, Hirana mencoba membuka gelang tersebut. Setelah itu ia meraba-raba gelang itu untuk mencari sambungan pembukanya dan akhirnya terdengar bunyi ‘klek’ menandakan gelang itu terbuka.
Ia berhasil. Namun, tak lama ia sedikit kaget ketika mencoba menengokkan kepalanya untuk melihat gelang tersebut, di dalamnya terdapat pisau kecil yang menyatu dengan gelangnya. Rena pun mengangguk memberi isyarat. Ya mereka berusaha menggunakan pisau itu untuk membebaskan diri.
Pertama Hirana membantu Rena terlebih dahulu, meski cukup lama karena sangat sulit menggunakan sebuah pisau kecil, akhirnya ikatan Rena berhasil terlepas. Ia pun langsung membuka kain yang menutupi mulutnya serta ikatan di kakinya. Setelah itu, ia membantu kedua temannya.
“Ruangan ini nggak ada pintunya. Ayo keluar” ucap Rena dengan suara yang teramat kecil.
“Tapi nanti kalo orang-orang itu nemuin kita gimana?” tanya Tere dengan suara yang bergetar.
“Kita nggak punya pilihan” ucap Hirana.
“Tapi itu kakimu luka Hirana, gapapa?”
Hirana mengangguk, entah kenapa kakinya sudah terluka seperti ini ketika bangun, rasanya sangat sakit, sepertinya orang-orang yang menculiknya membawa Hirana paksa tanpa mempedulikan tubuhnya sama sekali.
Kakinya memang sakit dan ia tidak bisa berjalan dengan baik. Tapi bisa apa ia dalam kondisi sekarang, ia harus kabur dari sini.
Mereka pun mengendap-endap berusaha keluar dari sana. Suasananya gelap, setelah mencapai pintu mereka bercelingak-celinguk ke kanan dan ke kiri, sepertinya tidak ada orang di sekitar mereka. Mereka berjalan menyusuri lorong, cukup lama berjalan suasana di sekitar sana masih kosong. Namun, ketenangan itu hanya sementara karena tidak lama setelahnya mereka langsung mendengar suara derap kaki dan teriakan seseorang.
“MEREKA NGGAK ADA DI RUANGANN. CEPAT CARI ORANG-ORANG ITU” mereka dapat mendengar suara laki-laki yang menggema dan terdengar hingga di seluruh penjuru.
Mereka pun semakin panik. Tiba-tiba suara derap kaki tersebut semakin mendekat, mereka berusaha lari. Akan tetapi, Hirana yang sedari tadi kakinya memang sudah sakit dan tidak bisa diajak kerja sama menjadi sedikit tertinggal di belakang.
Rena dan Tere yang melihat Hirana kemudian memelankan langkahnya ingin kembali ke arah Hirana. Namun, berbanding terbalik dengan Hirana, ia malah berteriak sekencang mungkin.
“JANGAN BALIK KESINI” teriaknya pada kedua temannya.
“LARI. LARI SECEPAT MUNGKIN” teriaknya lagi, teriakan yang baru pertama kali Rena dan Tere dengar keluar dari mulut Hirana.
Hirana tau, jika mereka kembali, ia malah akan menjadi beban, akan lebih baik kalau mereka berhasil kabur hingga memberi tahu kepada orang lain tentang keberadaannya dan meminta tolong, dibandingkan membantu Hirana sekarang untuk keluar bersama-sama.
“CARI JENDELA ATAU APAPUN ITU BUAT KELUAR. PAKE PISAU ITU BUAT BANTU KALIAN. PIKIRIN CARA APAPUN. KALIAN HARUS BERHASIL KELUAR GIMANAPUN CARANYA” Teriak Hirana lagi yang masih berlari, tetapi dengan kecepatan yang terus berkurang. Kakinya benar-benar sakit sekarang. Rasanya dari telapak kaki hingga ke paha otot-ototnya seperti ditarik.
Teman-temannya berada diambang kebingungan. Ekspresi mereka terlihat tidak baik. Dahinya mengerut, Hirana dapat melihat air mata yang tertahan di mata mereka karena menahan tangis.
“CEPET, TERUS LARI. SECEPET YANG KALIAN BISA. JANGAN SAMPAI KETANGKEP” teriaknya lagi.
“Tapi ki-” suara Tere terpotong.
Melihat kedua temannya yang sepertinya memiliki keraguan, Hirana kembali berteriak dengan ekspresi yang berbeda dari biasanya. Ekspresinya terlihat seperti orang yang marah dan matanya menatap tajam. Ini juga pertama kalinya Tere dan Rena melihat ekspresi yang seperti itu, wajahnya terlihat menyeramkan.
“LARI RENA, TERE” teriaknya sekencang mungkin dengan nada marah.
~~~~
To be continued.
Btw yang kali ini agak ngedrama dikit hehehe
Ini aku niatnya mau double part, tapi lihat-lihat dulu deh.
Mungkin nanti malem atau besok pagi aku up lagi.
Selamat menunggu
KAMU SEDANG MEMBACA
My Handsome Ashtara [END]
Teen Fiction[Belum Revisi] Ana ternyata benar-benar masuk ke dalam dunia novel yang ia pernah baca. Novel romantis yang menceritakan tentang perjalanan sang pemeran utama dan lika-liku kehidupannya. Sayangnya, bukan menjadi pemeran utama, ia malah menjadi figu...