Part 7

44K 2.3K 4
                                    

Zeron kembali ke meja tempatku duduk. Dia memesan sepiring nasi goreng. Dia mulai mengajakku berbincang. Dia bertanya mengenai banyak hal yang tentu saja kujawab dengan beberapa basa-basi dan tersenyum karena aku memang tidak mengetahui hubungan apa yang dimiliki orang dihadapanku ini dengan pemilik tubuh ini. Saat, aku bertanya, dia pun menceritakan beberapa hal yang umum saja, aku pun hanya mengangguk-angguk menanggapinya.

“Btw lo bener-bener nggak inget apa-apa?” tanyanya.

“Nggak. Bahkan alamat rumah aja lupa sampai harus minta tolong ke Bu Nina” jawabku.

“Bu Nina yang di ruang kesehatan?” tanyanya lagi.

“Iya” ucapku singkat sambil memakan seblakku.

Entah kenapa dia terus memperhatikanku makan. Lalu ia tersenyum sambil memandangiku. Huhh aku benar-benar tidak nyaman ditatap oleh orang tampan. Rasanya mau terbang aja.

Aku bisa melihat dari sudut mataku dia masih terus menatapku.

“Lo bilang lo amnesia kan? Lo nggak penasaran hubungan kita apa?” tanyanya.

“Uhukk….uhukkk…huk” Aku terbatuk mendengar itu. Sialan. Kayaknya rasa pedas seblaknya masuk ke hidung. Aduhh sakit banget, telingaku juga ikut terasa pedas. Aku langsung mencari-cari letak air minum.

Zeron yang berada di hadapanku, langsung mengarahkan air minumnya padaku untuk kuminum. Dia hanya memperhatikanku yang tersedak kuah seblak dengan senyum.

Apa Zeron nih orang gila ya? Bisa-bisanya dia mengatakan hal seperti itu. Memangnya hubungan apa yang dimiliki oleh Hirana dan Zeron.

“Lo nggak apa-apa?” tanyanya.

Aku menggeleng, “Emangnya kita ada hubungan apa?” tanyaku dengan wajah yang masih merah akibat tersedak kuah pedas.

Zeron tertawa pelan, “nggak usah kaget gitu. Gue juga nggak niat ngasih tau sih, nanti juga lama-lama tau sendiri. Gue tungguin sampe ingetan lo balik” ucapnya.

Aku yang sudah malas menebak-nebak hanya membiarkannya saja dan kemudian pembicaraan pun berlanjut pada hal-hal yang tidak jelas. Setelah menyelesaikan makan kami, ia berkata ia harus pergi karena ada kelas. Aku pun mengangguk karena aku pun juga harus pergi. Di jadwal milik Hirana, sebentar lagi, kelas Hirana akan segera dimulai. Aku harus segera pergi karena aku juga masih harus mencari dimana letak kelasnya. Disitu, kami berpisah.

Setelah beberapa lama aku mengelilingi kampus yang sangat besar ini. Aku menemukan dimana kelas akan berlangsung. Aku pun memasuki kelas itu. Selang beberapa waktu, kelas pun dimulai. Disinilah kepalaku kembali terasa pusing. Bukan. Bukan pusing karena sakit, tetapi pusing karena aku tidak mengerti mata kuliah macam apa ini. Jurusanku di duniaku dulu dengan jurusan Hirana ini berbeda. Akhhhhh, benar-benar deh. Aku hanya terbengong-bengong. Mungkin jika ada orang yang memperhatikanku saat ini, mereka akan tertawa melihatku yang sedang berusaha memperhatikan dosen dengan mulut terbuka. Biasalah aku ngang ngong ngang ngong tidak mengerti apa yang sedang dibahas.

Huhhh, ini pelajaran apa, yang dibahas apa, materinya apa. Pusing pala berbi. Ini kalo gini ceritanya, aku harus ekstra keras biar setidaknya nggak bobrok-bobrok amat.

Yah, setidaknya aku masih berusaha. Mungkin nanti aku akan kembali berkutat dengan materi-materi asing ini.

Ini harusnya aku jadi double degree gak sih? Eh apa sih namanya? Bukan deng. Nggak tau sih, kayaknya beda konsep. Tapi tetep aja aku harusnya bisa dapet dua ijazah kalau digabung sama yang ada di duniaku dulu. Aku jadinya kuliah di dua jurusan yang berbeda. Seandainya aja aku bisa bawa ijazahku itu kesini. Ini kalau di duniaku yang dulu pasti aku udah dibanding-bandingin sama anaknya tetangga.

Aku tanpa sadar melamun sambil membayangkan berbagai kejadian jika di duniaku dulu aku berkuliah di dua jurusan.

Noh liat noh si Ana. Dia kuliah di dua jurusan sekaligus, yang satunya udah lulus. Kamu mana. Tidur mulu kerjaan. Sono kuliah yang bener, jangan main mulu.

Begitulah kira-kira yang akan diucapkan oleh tetangga di samping rumahku pada anaknya. Aku terkekeh pelan membayangkan hal itu. Aku teringat pada ibu itu yang selalu mengomel pada anaknya. Tidak hanya anaknya, sebenarnya ia juga sering mengomeli anak orang lain juga. Sering kali, anak dari ibu itu melihatku dengan sinis karena selalu dibandingkan denganku. Walau begitu, dia tidak tahu saja, ibunya itu sebenarnya juga sering menceramahiku dan mengomeliku, bahkan dia juga membandingkanku dengan anaknya. Terkadang menyindirku secara halus dan bertanya mengenai dimana keluargaku, jangan-jangan aku kabur untuk melakukan hal yang tidak-tidak dan lain sebagainya. Rasanya aku gemas ingin memberi tahu sang anak. Hei, kau hanya diomeli ibumu, tetapi sebenarnya ibumu itu masih sayang padamu. Sedangkan aku, ibumu itu sering kali memberikan kata-kata pedas padaku tahu. Yahh, udah terjadi juga. Aku pun hanya menganggapnya angin lalu. Dipikir-pikir saat aku bayangkan dan ingat-ingat lagi, itu menjadi sebuah kenangan yang lucu.

****

Setelah kelas selesai, kegiatanku saat ini adalah mencari keberadaan Rena. Aku sudah memantapkan diri untuk meminta maaf padanya, sekaligus pada teman-temannya yang lain. Sebenarnya aku malas. Serius. Akan tetapi, demi kehidupan yang lebih cerah, aman, dan nyaman, serta sejahtera, sebaiknya aku segera meminta maaf dan tidak berhubungan dengan mereka-mereka lagi.

Hmm. Sekarang yang aku bingung adalah bagaimana menemukan Rena di kampus sebesar ini. Aku tidak memiliki ponsel. Aku memang membawa laptop milik Hirana, tetapi baterainya sudah habis dan aku lupa membawa chargernya. Lalu bagaimana aku menghubungi orang-orang. Aku pun berpikir dengan cukup keras.

Tiba-tiba aku teringat Bu Nina. Semenjak aku pertama kali membuka mata di duniaku yang ini, Bu Nina lah yang paling sering membantuku dan mengurusku. Mungkin aku bisa ke ruang kesehatan untuk menemuinya dan bertanya padanya.

Walau begitu, muncul satu pertanyaan lagi di otakku. Dimana letak ruang kesehatannya? Hadeuhhh, lieur ni pala. Aku pun tetap memutuskan berjalan saja sambil mencari tahu letak ruang kesehatan atau mungkin melihat peta kampus ini.

Sambil berjalan, aku melihat dua orang sedang berbincang dan duduk di sebuah kursi panjang. Aku berpikir untuk bertanya saja ke mereka. Akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri mereka.

"Permisi, boleh tanya? Ruang kesehatan di mana ya?" Tanyaku.

Saat melihatku, mereka berdua terlihat kaget, kemudian mereka menetralkan raut wajahnya kembali. Aku bisa melihat raut kebingungan di wajah mereka dan melihatku dengan tatapan aneh. Walau begitu, mereka tetap memberi tahu letak ruang kesehatan. Selama aku mendapat jawabannya, aku tidak begitu mempedulikan sikap aneh mereka. Setelah itu, aku pun berterima kasih kemudian berlalu pergi menuju ruang kesehatan.
















~~~~~





Selamat menikmati dan selamat membaca semuaa~~~

Kalo ada typo atau salah ketik boleh langsung tandain aja yaa.




To be continued.

My Handsome Ashtara [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang