Aku benar-benar diantar oleh Dira sampai ke rumah Ashtara. Sepanjang perjalanan, Adira, atau laki-laki yang biasa dipanggil Dira itu tidak berbincang sama sekali. Setelah aku turun dari motor miliknya, aku menatap rumah besar di hadapanku. Sebelum berjalan lebih jauh ke arah rumah tersebut, aku sempat menatap Dira sebentar. Ia malah menggerakkan tangannya dengan sedikit suara hush hush seperti sedang mengusir anjing yang menandakan bahwa ia memintaku segera memasuki rumah tersebut. Dasar menyebalkan. Baik Dira maupun Reldi, mereka semua menyebalkan.
Aku kembali menatap rumah itu. ‘Ini rumah apa istana’ batinku melihat rumah besar dihadapanku.
Rumah itu terlihat sangat indah. Aku dapat melihat taman dan air mancur di sisi samping rumah tersebut. Lampu-lampu yang dipasang di sepanjang jalan yang mengitari rumah tersebut terlihat sangat menawan.
Aku berjalan pelan melewati pekarangan rumah. Suasananya sangat cantik. Aku seperti sedang berada di dunia fantasi yang sering digambarkan dalam buku yang kubaca saat aku masih berada di duniaku dulu. Suasana ini berbeda sekali dengan suasana di kampus tadi. Memang ya sepertinya rumah Ashtara memiliki magicnya tersendiri.
Aku mengetuk pintu rumah itu. Awalnya, tidak ada jawaban sama sekali. Aku mengetuk pintu sekali lagi. Barulah saat ini pintu mulai terbuka perlahan. Saat pintu terbuka, dapat kulihat seorang wanita cantik dengan pakaian rumahnya berdiri dengan wajah yang malu-malu. Siapa lagi kalau bukan Rena, adik dari Ashtara. Ia mempersilahkan aku masuk ke dalam rumahnya.
Pertama kalinya aku masuk, aku ternganga dengan interior rumah itu. Benar-benar seperti istana, furniture mewah yang ditata sedemikian rupa terlihat sangat cocok berada disana. Aku duduk di ruang tamu bersama Rena. Hal pertama yang aku rasakan adalah canggung. Bagaimana tidak, coba bayangkan ya jika kalian duduk bersama orang yang ingin membunuh kalian, pasti perasaan kalian tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata. Menurutku itu juga lah yang terjadi pada Rena. Dia terlihat tidak nyaman. Kenapa juga Ashtara menyuruhku menjaga Rena, memangnya di rumah sebesar ini tidak ada asisten rumah tangga ataupun orang yang membantu untuk mengurus rumah ini.
Kupikir ini adalah hal yang bagus untuk bertanya pada Rena sambil menghilangkan rasa canggung.
“Rena” panggilku.
Rena yang mendengar namanya dipanggil malah sedikit terkejut. Bagaimana ya menjelaskannya, mungkin ada sedikit rasa takut yang terlihat di raut wajahnya.
Entahlah. Aku ingin segera menghilangkan suasana canggung ini. Aku pun membuka pembicaraan.
“Rena, disini emangnya nggak ada ART atau siapa gitu? Kamu sendirian kalau nggak ada Ashtara? Ini tadi Ashtara manggil aku buat nemenin kamu” jelasku tanpa basa-basi.
Rena menoleh, “Eh iya anu, emm, aku emang biasanya sendiri kok kalo nggak ada kak Ashtara. Kalo ART, biasanya mbak datengnya setiap hari Minggu buat bersih-bersih aja” jawabnya yang entah kenapa di mataku ia terlihat gelisah.
Aku jadi merasa tidak enak. Apa jangan-jangan ia masih takut padaku. Yah pada dasarnya tetap aku --maksudku Hirana yang asli lah– yang bersalah, jadi mungkin aku harus meminta maaf lagi pada Rena.
Aku mendekat perlahan ke arah Rena, “Emm Rena, aku mau minta maaf lagi. Aku tau itu mungkin nggak menghapus kesalahanku padamu. Tapi sekali lagi aku mau minta maaf. Aku juga sudah berjanji kan tidak akan melukai siapapun lagi. Aku nggak memintamu untuk memaafkanku” ucapku.
Rena memandangku mungkin memastikan apakah perkataanku ini tulus. Setelah beberapa saat ia mengangguk kemudian tersenyum tipis.
“Emm Hirana, kamu udah makan?” ucap Rena tiba-tiba.
“Belum” jawabku.
“Yaudah ayo makan dulu. Tadi Kak Ash pesenin makanan” ujarnya.
Aku sempat merasa aneh dengan perubahan sikap yang cukup tiba-tiba dari Rena. Tapi ya tidak begitu aku pedulikan. Toh sekarang aku juga lapar, jadi nanti aja mikirnya.
Kami pun akhirnya makan bersama. Aku dan Rena sempat berbincang sedikit mengenai beberapa hal. Selesai makan, aku pun berinisiatif untuk mencuci piring. Aku teringat ucapan Ashtara yang menyuruhku bersih-bersih dan lain sebagainya. Daripada urusannya makin ribet sama Ashtara, lebih baik aku lakukan saja. Aku berniat mencuci piring setelah itu membantu bersih-bersih rumah Ashtara yang besar ini. Kayaknya Ash nih sengaja deh nyuruh aku bersih-bersih biar jera. Gila aja rumah segede gini ngebersihinnya gimana, yang ada aku langsung tepar. Tapi nggak apa-apa lah, abis ini selesai besok pasti Ashtara ngelepasin aku, seingetku dia tokoh yang kalo udah ngasih hukuman ke lawan dan dirasa sudah cukup dan lawan udah jera, dia pasti udah nggak ungkit-ungkit lagi. Ashtara si pemeran utama itu kan baik, walaupun paling si villainnya aja yang nggak dilepasin sampe mati. Yah walaupun ternyata kedepannya pemikiranku ini salah.
Aku mengambil piringku beserta piring bekas Rena makan untuk dibawa ke tempat mencuci piring.
“Eh mau dibawa kemana piringnya?” tanya Rena yang melihatku mengambil piringnya.
“Mau kucuci”
“Nggak usah, besok biar aku aja yang cuci” ucap Rena.
“Gapapa, gapapa, nanti aku dimarahin Ash kalo nggak ngelakuin ini” ucapku yang akhirnya hanya diiyakan saja oleh Rena.
Selesai mencuci piring, aku dan Rena memutuskan untuk menonton televisi bersama. Rena menyiapkan beberapa camilan dan teh panas. Kami pun mulai berbincang-bincang lagi mengenai acara-acara televisi itu. Saat mengobrol, beberapa kali aku melihat Rena melihat ke arah jam dinding rumahnya. Aku rasa dia mungkin saja mengantuk. Tentu saja saat ini sudah jam setengah satu malam.
Tak lama, Rena sedikit mengerjap-ngerjapkan matanya. Dia mengatakan bahwa kepalanya mulai pusing. Aku mengambil teh panas dan memberikannya ke Rena berharap meringankan sedikit sakit di kepalanya. Baru saja ia memegang gelas tersebut. Tangannya meleset dan gelas tersebut pun terjatuh ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Rena memegang kepalanya sambil meminta maaf padaku saat melihat gelas itu pecah dan mengenai sedikit kakiku. Wajah Rena pun semakin pucat dan aku pun menyuruhnya untuk tidur saja di kamarnya.
“Rena, kamu tidur aja duluan. Nanti ini aku aja yang beresin. Nanti aku bisa tidur di sofa kok. Kamu bisa pergi sendiri kan ke kamar. Soalnya aku mau beresin ini dulu sambil ngecek pecahan beling yang kena kakiku” ucapku berusaha setenang mungkin, takut Rena panik. Agak sakit sih, tapi yaudah yang penting Rena bisa rebahan dulu.
Rena mengangguk lemah dan aku sedikit menuntunnya melewati lantai yang tidak ada pecahan gelasnya supaya dia tidak terluka. Kemudian, ia pergi sendiri ke arah tangga. Aku rasa kamarnya berada di lantai dua.
Setelah melihat Rena pergi ke lantai atas dengan aman. Aku melihat ke arah kakiku yang untungnya hanya tergores sedikit. Kemudian aku pun membersihkan pecahan gelas tersebut. Aku tidak tahu saja, disinilah sebenarnya bahaya menerjang.
~~~~
Haloo, vote yang part kemarin emang belum 50 sih, tapi karena mungkin ada yang udah nunggu, ini udah aku up yaa
Kalo part ini votenya sampai 50, aku langsung up part selanjutnya. Kalo belum ya mungkin, nanti aku tetep up part selanjutnya tapi kalau udah siap hehehe, harap menunggu dulu ya para hadirin dan kawan yang berbahagia.
Selamat membaca dan selamat menikmati ~~
To be continued.
KAMU SEDANG MEMBACA
My Handsome Ashtara [END]
Novela Juvenil[Belum Revisi] Ana ternyata benar-benar masuk ke dalam dunia novel yang ia pernah baca. Novel romantis yang menceritakan tentang perjalanan sang pemeran utama dan lika-liku kehidupannya. Sayangnya, bukan menjadi pemeran utama, ia malah menjadi figu...