Gadis itu baru saja masuk ke dalam rumahnya, lalu menoleh ke ruang tengah. Mendapati kakaknya sedang memijat kaki seorang gadis yang seumuran dengan kakaknya itu.Tentu Wilona muak. Ini bukan pertama kalinya dia melihat mereka dengan posisi yang sama.
Gea menoleh dan tersenyum ramah pada adik pacarnya itu.
"Hei, baru pulang?" Sapa gadis itu.
Wilona hanya menoleh sebentar, lalu pergi menuju tangga. Masih terlalu pagi untuk berpura-pura manis.
Wildan beranjak dari duduknya dan menghampiri sang adik yang baru saja menaiki anak tangga keempat.
Pemuda itu menarik kasar lengan Wilona, membuat adiknya meringis pelan.
"Dari mana? Udah bagus tidur di luar, ngapain pulang?" Kata Wildan dengan nada sarkas.
"Masih pagi, kak."
"Kalo emang nggak suka sama cewek gue, sopan dikit bisa nggak? Kalo disapa sama yang lebih tua tu senyum," Wildan terlihat sangat kesal. "Kalo perlu nunduk," lanjutnya.
Wilona menatap lelah kakaknya itu. "Lona nggak pernah bilang nggak suka sama kak Gea. Cuma kesel aja, kakak selalu bawa dia ke sini. Kalo papa tau papa bakal marah."
"Papa?" Wildan tertawa sinis. "Lo tau nggak penyebab papa jarang pulang setelah mama nggak ada? Semua itu gara-gara lo!"
Wilona tertegun. "Kak ..."
"Terima aja kenyataannya. Lo itu cuma bawa kehancuran di keluarga ini," kata Wildan, lalu pergi dari hadapan Wilona.
Gadis itu mengerang kesal, kemudian lanjut menaiki tangga dan pergi ke kamarnya.
Dinding kamarnya dicat berwarna cream. Langit-langit kamarnya juga polos tak bercorak.
Wilona mengunci pintu kamarnya, lalu terduduk di lantai pinggir ranjang. Dia memeluk dirinya sendiri sambil mengingat masa lalu yang hampir membuatnya frustrasi.
Mamanya tak pernah mengizinkan Wilona untuk mengekspresikan diri. Semua yang terjadi di hidupnya harus sesuai rencana mamanya.
Mama Gita tak pernah membiarkan Wilona menyesuaikan diri terlalu lama. Semua yang Wilona inginkan harus dengan persetujuan mamanya.
Kamar ini juga bukan miliknya, tapi milik mamanya. Dia tak pernah diizinkan mengganti cat dinding maupun menempel berbagai stiker seperti yang dia mau.
Wilona menangis dalam diam. Dia mengingat semuanya dengan baik, saat semua teman seusianya bebas bermain di taman, dia hanya bisa melihatnya lewat jendela mobil.
Mama tak pernah mengizinkan Wilona bergabung dengan mereka. Alasannya hanya satu; demi keamanan.
Mereka sudah pernah kehilangan Wilona satu kali. Bahkan hanya karena terlalu khawatir padanya, Mama Gita kehilangan nyawanya. Sejak saat itu Wilona hanya bisa menurut semua yang dikatakan keluarganya.
"Kamu harus suka warna cream, Lona."
"Tapi Lona lebih suka Burnt Sienna, ma."
"Nggak boleh. Pokoknya kamu harus suka warna cream. Itu warna favorit mama dan kamu harus sama kayak mama."
Wilona menggeleng pelan. Dia menatap dinding di samping pintu. Gadis itu mengingat berbagai stiker yang dia tempel malam hari, tapi sudah lenyap di sore hari.
Papa membuang semuanya. Mereka membuang barang-barang tidak penting miliknya yang sebenarnya sangat ia sukai.
"Aku ... suka warna Sienna, bukan cream," gumam Wilona.
KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITES
Teen Fiction(Tersedia Versi eBook) Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangannya saja. Jaglion, si cowok paling sadis 'katanya'. Bukan hanya wajahnya yang...