Wildan menepuk bahu Wira yang tertidur di samping ranjang Wilona. Dia khawatir punggung Papanya sakit karena sudah cukup lama tidur dengan posisi menelungkup seperti itu."Papa pulang aja dulu. Istirahat, ya? Udah dua hari Papa nggak tidur," kata Wildan dengan penuh perhatian.
"Papa di sini aja. Kalo tiba-tiba adik kamu bangun, terus nggak ada Papa, pasti dia kecewa," ucap Wira.
Wildan tersenyum kecil. "Nggak akan. Nanti Wildan langsung telepon Papa begitu Wilona sadar."
"Papa juga butuh istirahat. Kalo Papa sakit, siapa yang ngasih darah ke Wilona? Cuma Papa yang bisa," jelas Wildan, membuat Wira tersadar.
Putrinya masih butuh donor darah darinya. Wilona belum membuka matanya semenjak keluar dari meja operasi.
Meskipun masa kritisnya telah lewat, tapi tetap saja tidak boleh lepas dari pantauan karena belum menunjukkan tanda-tanda yang baik.
Wira berdiri tegak, lalu mengusap lembut kepala putrinya. "Cepat sadar, Nak. Papa udah siapin pesta yang meriah buat ulang tahun kamu."
Pria paruh baya itu menoleh pada putranya yang juga tersenyum tipis. "Jaga adik kamu. Papa pulang dulu sebentar."
Wildan mengangguk setelah Papanya berpamitan. Giliran pemuda itu mendekat pada sang adik.
Dia menghela napas dalam, lalu menggenggam erat jemari Wilona. "Makin hari lo makin mirip Mama. Jadi curiga gue, jangan-jangan lo beneran anak kandung Mama?"
Wildan duduk di kursi, lalu sedikit menaikkan selimut yang menutupi adiknya.
"Gue sayang sama lo. Cepetan bangun kalo masih mau jadi adik gue," dengus pemuda itu.
Dia membuka ponselnya yang berdering. Rupanya sebuah panggilan dari Ricky.
"Iya, Bang?"
"Kita harus rapat sesegera mungkin."
"Sore ini?"
"Oke."
Wildan keluar dari kamar rawat Wilona. Dua penjaga bertubuh besar memang sengaja ditempatkan di luar pintu, guna menjaga siapa saja yang boleh masuk ke dalam.
Wira mencegah sesuatu yang buruk terjadi lagi pada putrinya.
Wildan mendengus pelan saat melihat seseorang yang sedang duduk di ruang tunggu, tak jauh dari kamar itu.
Jaglion segera mendekat begitu melihat Wildan keluar dari kamar itu.
"Bang, please..."
"Gue udah bilang berkali-kali sama lo, berhenti datang ke sini. Percuma, lo nggak akan bisa masuk ke dalam."
"Sekali aja, Bang. Gue pengin liat Wilona," kata Jaglion memohon.
Wildan dengan malas menatap Jaglion. "Lo udah nggak diterima lagi di sisi Wilona. Udah nggak ada gunanya. Jangan pernah muncul lagi di depan dia."
Pemuda itu meninggalkan Jaglion yang belum putus asa.
"Dia masih pacar gue, Bang!" Serunya, berhasil menghentikan langkah Wildan.
"Sore ini ada rapat penting. Jangan sampe terlambat," Wildan berbalik badan, dengan enggan menatap Jaglion yang masih kukuh memohon padanya.
"Hubungan kalian udah putus. Tinggalin Wilona dan jangan coba-coba mendekat lagi ke dia."
Jaglion memejamkan mata, menahan rasa sakit dihatinya yang mulai kembali terasa.
Dengan langkah pincang, Jaglion pergi dari sana. Dia tidak berharap lebih.

KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITES
Fiksi Remaja(Tersedia Versi eBook) Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangannya saja. Jaglion, si cowok paling sadis 'katanya'. Bukan hanya wajahnya yang...