Raga mendekat pada Jaglion yang kini duduk sendirian di halaman belakang sekolah.
Mereka akan merindukan pohon itu. Pohon yang selalu jadi tempat berteduh dan bersembunyi dadi kejaran polisi sekolah.
Jaglion duduk diam di sana sambil memainkan pergelangan tangan kirinya yang sepertinya masih belum pulih sepenuhnya.
Raga mengulurkan kartu akses ke hadapan Jaglion, membuat pemuda itu sontak mendongak, membalas tatapan Raga.
"Gue nggak butuh kartu ini," katanya.
Jaglion menatap nanar kartu akses itu. Dia menerimanya dan menghela napas dalam.
"Harusnya nggak usah ke sekolah kalo masih belum pulih," Raga mengeluarkan rokok dari sakunya dan menyalakan pematik.
"Gue tau lo marah sama gue," Jaglion akhirnya bersuara. Raga berdecih pelan.
"Gue nggak bisa marah sama lo," balasnya, jujur.
Iya, dia ingin sekali marah pada Jaglion atas apa yang terjadi akhir-akhir ini. Tapi dia belum mendengar cerita versi Jaglion. Jadi dia tidak bisa marah pada sahabatnya itu.
"Dia apa kabar?" Tanya Jaglion pada Raga.
"Baik," Raga menyender sambil menikmati rokok rasa apel kesukaannya. "Besok dia boleh pulang."
Jaglion tersenyum tipis. "Syukurlah," pemuda itu kembali menunduk dalam. Ada rasa nyeri yang kembali terasa saat menghadapi fakta, dirinya harus bertanya kabar pacarnya sendiri dari orang lain.
"Gue nggak tau dia ada di sana juga waktu itu," Jaglion menghapus air mata sebelum Raga melihatnya.
"Saat gue cari info dari Aksan, dia bilang Wilona dan Aira di mobil berbeda. Wilona dibawa Gagah dan Aira sama Bara. Jadi fokus gue ngejar mobil Gagah."
Raga mematikan rokoknya, lalu fokus mendengarkan Jaglion.
"Pas gue berhasil ngejar mobil Gagah, ternyata nggak ada siapapun di sana. Baik Wilona maupun Aira."
"Pikiran gue penuh sama Wilona. Gue nggak berpikir lebih jauh, kalo Bara bakal pake si Gani juga. Aksan bilang di mobil Gani cuma ada Aira."
Jaglion menengadah, mencoba memasukkan lagi air mata yang hendak keluar. Dia malu jika menangis di depan Raga. Nanti dia diejek cengeng.
Candra dan Raga satu frekuensi.
"Begonya gue," Jaglion tertawa miris. "Harusnya gue cek dulu."
"Lo bukan superhero yang harus menyelamatkan semua orang," Raga bangkit dari duduknya. "Saat itu lo juga luka, kan? Jangan terlalu menyalahkan diri sendiri."
Raga menepuk pundak Jaglion. "Gue nggak bisa masuk tim Head karna gue nggak mau lebih sibuk dari sekarang. Gue harus kuliah biar bisa rebut perusahaan orang tua gue dari para penjilat itu."
Jaglion menatap kartu akses tim Head yang tadi Raga berikan padanya. Tidak bohong, dia lega karena Raga ternyata menolaknya.
Pemuda itu tersenyum tipis.
"Seenggaknya gue nggak kehilangan sahabat gue."
🏮🏮🏮
Wildan menggeleng pelan melihat adiknya yang masih cemberut sambil membuka sabuk pengamannya.
"Masih ngambek juga? Kita udah sampe rumah loh," tegur pemuda itu.
Wilona membuang muka, sama sekali tidak minat untuk turun dari mobil.
"Papa beneran sibuk. Yang penting lo pulang sama gue, kan?" Wildan membukakan sabuk pengaman Wilona dengan sabar.
"Kalo aku mati pun, kayaknya Papa tetap sibuk sama kerjaannya," kesal gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITES
Подростковая литература(Tersedia Versi eBook) Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangannya saja. Jaglion, si cowok paling sadis 'katanya'. Bukan hanya wajahnya yang...