Steve bersimpuh di dekat pusara Gea sambil terus menangis dan mencengkeram kuat foto gadis itu.Sedangkan Eric hanya diam terpaku menatap makam putri sulungnya dengan air mata dan wajah yang tampak putus asa.
Di dekatnya, ada sang istri yang sudah lemas karena sudah 2 hari berturut-turut menangisi putrinya yang tidak bisa bertahan lebih lama lagi.
Satu tahun yang lalu, Gea berhasil mendapatkan pengobatan di Singapura dan pulang dalam kondisi sangat baik.
Namun hal itu hanya bertahan selama 6 bulan saja. Tiba-tiba kondisi Gea kembali menurun drastis karena ginjal yang ia dapatkan kembali rusak.
Gea menolak bujukan semua orang untuk kembali berobat, termasuk bujukan dari Wildan, sang kekasih.
Wildan bahkan berlutut sambil menangis agar Gea mau kembali berobat seperti dulu, tapi gadis itu kepalang lelah dengan hidupnya yang bergantung pada rumah sakit.
Wildan, pemuda itu juga hanya bisa menatap makam sang kekasih dengan tatapan kosong.
Matanya kering, tak ingin menangisi gadisnya yang memang sudah ingin pulang sejak lama.
Jaglion berdiri di samping Wildan.
Pemuda itu juga hanya diam terpaku sambil terus menatap foto Gea yang tersenyum manis itu.
Beberapa jam berlalu, Steve, Wildan juga Jaglion masih ada di pemakaman.
Mereka enggan pulang karena masih ingin menemani Gea yang sekarang sendirian.
"Pulang, Steve," perintah Jaglion. Suaranya pelan namun tegas.
Selama setahun ini pemuda itu juga banyak berubah. Sikapnya lebih dewasa dan sudah hidup dengan lebih baik. Dia sudah bisa mengontrol semuanya dengan baik dan tanpa emosi.
Meskipun kadang pemuda itu masih suka memukul orang.
"Gue masih pengin di sini," jawab Steve yang belum ingin bangun dari duduknya.
Celana pemuda itu sudah cukup kotor karena bersimpuh terus-menerus.
Wildan tiba-tiba tertawa pelan, membuat Jaglion meliriknya dan agak ngeri sedikit.
Dia menghela napas panjang dan menatap sosok gadis yang ia cintai selama ini, kini tinggal fotonya saja.
"Padahal dia udah milih sendiri cincin pertunangan kami. Masa dia bilang cincin itu bisa dipake siapa aja nanti?" Wildan menggeleng pelan. "Dia kira move on segampang itu apa?"
"Dia cuma mau yang terbaik buat lo, Bang. Makanya dia ngomong begitu."
"Tuhan nggak sabaran banget ya, buat ngambil Gea. Padahal gue cuma minta waktu sebulan lagi."
"Kurang baik apa coba Tuhan ke kita?" Jaglion memandangi makam Gea yang penuh dengan bunga. "Kalo Tuhan nggak sabaran, Gea udah dari dulu tidur di dalam sana. Udah untung dikasih kesempatan satu tahun."
Wildan melirik pada Jaglion. "Iya juga."
Jaglion berjalan mendekat pada Steve dan menarik pelan kerah kemeja sepupunya itu.
"Pulang."
Steve menepis tangan Jaglion, lalu mendongak, menatap Jaglion dengan wajah tak suka.
"Lo bisa pulang sendiri, kan? Ngapain nunggu gue? Gue masih pengin di sini!" Tolak Steve.
"Lo pulang duluan aja, biar gue yang nemenin Steve di sini," kata Wildan, menyela.
Jaglion mengangguk, lalu meninggalkan pemakaman seorang diri.

KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITES
Novela Juvenil(Tersedia Versi eBook) Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangannya saja. Jaglion, si cowok paling sadis 'katanya'. Bukan hanya wajahnya yang...