Ziya memukul bahu Aksan yang mengendarai motor dengan kecepatan tinggi. Gadis itu berteriak tapi tidak terdengar karena helm yang mereka pakai.Kakaknya itu benar-benar gila ketika sudah diatas kuda besi. Dia tidak ingin mati muda!
"Abang, please!" Teriak Ziya sekali lagi. Aksan berdecak kesal dan memelankan laju motornya dengan hati-hati.
Adiknya itu terlalu cerewet. Bahunya sampai pegal karena terus dipukul sepanjang jalan.
Saat mereka hendak berhenti di depan mini market, sebuah motor yang melaju kencang tak sengaja menyenggol motor mereka, membuat Aksan kehilangan keseimbangan dan terjatuh.
Beberapa kali Ziya terguling ke pinggir jalan, membuat Aksan cepat-cepat bangun dan menolong adiknya.
Dia membuka helm Ziya dengan cekatan.
"Lo nggak apa-apa?" Tanya Aksan khawatir.
Ziya justru memukul dada bidang kakaknya karena kesal. "Untung lagi nggak ngebut tadi! Bisa-bisa aku mati muda tau nggak!" Omel gadis itu sambil memegangi lututnya.
"Syukur kalo masih bisa ngomel. Berarti lo baik-baik aja," Aksan dan beberapa orang membantu Ziya untuk duduk dan segera memberikan minum.
Motor Raga berhenti karena melihat motor Aksan tergeletak di jalan. Pemuda itu buru-buru mendekat dan memastikan sesuatu.
"Nggak apa-apa, Bang?" Tanya Raga. Dia menoleh ke arah Ziya yang kini sedang meneguk air mineral.
"Setan!" Aksan mengumpat pelan. "Gue harus kejar motor itu," katanya meskipun kakinya sedikit pincang.
"Terus cewek lo?"
Aksan mengerenyitkan dahi setelah Raga bertanya seperti itu. "Dia? Dia adik gue, bukan pacar."
Raga mengangguk-angguk paham.
"Jagain dia buat gue," kata Aksan, lalu segera membangunkan kuda besi kesayangannya dan bersiap memburu orang yang sudah melukai adiknya.
Raga berjongkok, memastikan luka Ziya tak terlalu parah.
"Biar dia sama saya aja, Pak," kata Raga dengan sopan.
Orang-orang tadi meninggalkan mereka, membiarkan Raga membawa Ziya ke klinik terdekat.
Gadis itu hanya terluka di beberapa bagian kaki dan tangan. Jaket Aksan bahkan sobek karena terkena motor tadi.
Tidak membutuhkan waktu lama, Ziya sudah keluar dari ruang tindakan dengan kaki pincang.
Gadis itu tersenyum karena Raga menyambutnya dan memberikan segelas kopi hangat.
"Kita duduk di luar sambil nunggu Bang Aksan," ajak Raga.
Kedua remaja itu menikmati kopi ditengah udara segar di luar klinik sambil melihat kendaraan yang berlalu-lalang tanpa henti.
"Gue baru tau lo adiknya Bang Aksan," kata Raga membuka obrolan.
"Tiri," Ziya menyeruput pelan kopinya. "Orang tua kami menikah waktu kami masih kecil. Jadi kami akrab dan nggak canggung," jelasnya.
Raga mengangguk-angguk, paham. Pemuda itu membuka ponselnya yang berbunyi, tanda pesan masuk.
"Gue ngasih tau Wilona kalo lo kecelakaan."
Ziya terdiam. Dia tahu pemuda di sampingnya ini mendambakan temannya.
"Kak, lo tau kan kalo Wilona beneran suka sama Kak Lion?" Tanya Ziya.
Raga menoleh lalu mengangguk pelan.
"Lo masih berharap sama dia? Setau gue, Wilona tipe cewek yang nggak gampang move on."

KAMU SEDANG MEMBACA
IGNITES
Teen Fiction(Tersedia Versi eBook) Mendengar namanya saja sudah membuat Wilona bergidik ngeri, apalagi bertemu dengan sosoknya langsung. Mungkin Lona akan kabur begitu melihat bayangannya saja. Jaglion, si cowok paling sadis 'katanya'. Bukan hanya wajahnya yang...