IGNITES >>Extra Part 2<<

10.5K 725 88
                                    


"Dasar cengeng," ejek Wildan sambil mengelus-elus bahu adiknya yang sedang sesenggukan. Pemuda itu tertawa puas melihat Wilona dengan hidung merahnya.

"Pergi nggak!" Usir gadis itu, sebal.

"Ngapain nangis? Harusnya senang dong gue kasih kejutan," kata Wildan. Dia memberikan tisyu pada Wilona sambil tertawa mengejek.

"Kenapa Kakak nggak bilang dulu soal butik Oma Del? Aku jadi bingung harus gimana," protes Wilona.

Wildan tersenyum, lalu memberikan berkas yang dia bawa ke hadapan Wilona.

"Sesuai permintaan Oma Del, butik itu resmi atas nama lo. Terserah mau lo ganti nama butiknya atau gimana. Gue berjuang mati-matian buat dapetin hak butik itu demi lo. Awas aja kalo lo bikin bangkrut butik kesayangan Mama."

Wilona tersenyum senang. "Makasih, Kak. Gue kira orang-orang itu nggak akan ngasih butik itu ke kita."

Wildan tersenyum sok, "mereka nggak akan berani ngelawan seorang Wildan."

Wilona berdecih sinis. Kakaknya memang sudah sombong dari dulu. Dia tidak mengira tingkat kesombongannya akan bertambah seiring usia yang semakin dewasa.

Gadis itu tiba-tiba teringat tentang Gea.

Sepeninggal Gea, Wildan belum terlihat dekat dengan siapapun. Padahal umurnya sudah tidak muda lagi.

"Nggak pengin nikah, Kak?" Tanya Wilona, iseng. Gadis itu menandatangani kontrak kerja bersama 2 desainer fresh graduate, atas nama Celine dan Sesil.

Sebenarnya Sesil bukan desainer. Dia hanya seorang yang menyukai mode.

"Nanti juga nikah. Lo aja duluan," jawab Wildan santai.

Usia Wildan sudah genap 29 tahun beberapa bulan yang lalu. Papa juga sudah ingin mempunyai menantu, tapi Wildan tak kunjung memberikan sinyal baik untuk keluarga.

"Masa aku duluan? Aku baru merintis usaha aku, Kak."

"Emangnya nggak bisa sambil punya suami? Cari suami yang mau ngertiin hobi lo. Soal kaya atau enggak, itu urusan belakangan," Wildan meraih ponselnya yang sedari tadi tergeletak di meja.

"Yang penting dia bisa bikin lo bahagia dan jagain lo, itu udah cukup. Warisan Papa sama Mama masih banyak."

Wilona selesai dengan pekerjaannya.

Sebenarnya dia salah jurusan waktu kuliah di Kanada. Dia mengambil jurusan Sastra dan Kebudayaan, tapi berakhir jadi pemilik butik.

Nyonya Del meninggalkan seluruh hobinya untuk Wilona. Gadis itu hanya tahu bagaimana cara mengelolanya.

"Aku belum minat buat nikah juga."

Wildan tampak tidak yakin. "Celine udah dilamar. Ziya juga bentar lagi. Lo nggak iri?"

"Kenapa harus iri?" Wilona tersenyum manis. "Lagian aku belum nemu orang yang tepat."

"Tapi gue punya calon suami yang bagus buat lo," kata Wildan. "Dia pintar, mandiri, baik, bisa kayaknya jagain lo, terus udah punya pekerjaan tetap."

Wildan tampak yakin dengan pilihannya, membuat Wilona sedikit ragu.

"Kalo kata Kakak dia baik buat aku, boleh juga."

Jawaban itu bukan karena Wilona setuju, tapi karena merasa pilihan Wildan memang yang terbaik untuknya.

"Beneran mau?" Tanya Wildan memastikan. Wilona mengangguk yakin sebagai jawaban.

"Ya udah, nanti gue cari waktu senggang buat kenalin kalian berdua. Gue harus ke kantor pusat," pamit Wildan.

Gadis itu melambai sebagai tanda perpisahan.

IGNITES Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang