Bab 18. Apa Aku...

55.4K 1.3K 0
                                    

Malam makin larut kami bersiap untuk pulang setelah puas bermain juga menikmati jajanan yang ada.
Aku merasa malam ini bukan hanya malam untuk kedua adikku, tapi juga untuk ku. Ini menjadi pertama kalinya kami berjalan-jalan bersama setelah menikah.

Sebelum kembali pulang ke rumah, kami mampir ke sebuah cafe terlebih dahulu mengisi perut yang lapar.

Om Haris mengangkat tangan memanggil pelayan, dua pelayan mendekat masing-masing membawa kue ulang tahun yang telah om Haris persiapkan tanpa sepengetahuan ku.

"Wah!!" seru kedua adikku, wajah mereka terlihat sangat bahagia.

"Make a wish" ujar om Haris, kedua adikku menadahkan tangan mereka dengan mata terpejam.

"Semoga kami menjadi kebanggaan kakak dan om" harap Reza aku dan om Haris mengaminkan. "Semoga kakak dan om Haris selalu bahagia, bersama selamanya" harap Rezi, aku menoleh pada om Haris yang mana ia juga menoleh pada ku.

"Aamiin..!" seru kami bersama-sama.

Sebelum memotong kue, om Haris pamit sebentar ke mobilnya mengambil sesuatu yang telah ia siapkan, dan lagi tanpa sepengatahuan ku, lalu kembali bergabung dengan dua tas belanjaan di tangannya, memberikan masing-masing pada kedua adikku.

Betapa terkejutnya Reza dan Rezi mendapat hadiah smartphone dari salah satu merek ternama yang harganya mahal.

"Terima kasih om" seru mereka benar-benar terlihat bahagia, lagi aku bersyukur atas perhatian om Haris pada kedua adikku.

"Makasih," ucapku sedikit berbisik di depan wajahnya, ia membalas dengan senyum lebar hingga menyipit kan matanya, membuat kerutan di pinggir matanya tercetak.

Hubungan ku dengan om Haris syukurlah kembali baik.

Sembari menyetir, om Haris menggenggam tanganku setelah lebih dulu memastikan kedua adikku tertidur di kursi belakang. Dengan berpegang tangan senyum tak hentinya luput dari bibir kami.

"Reza,. Rezi,." suaranya pelan membangunkan kedua adik iparnya.

"Kalau nggak bangun tidur di mobil sampai pagi" sela ku tegas, mereka langsung terbangun, dengan langkah gontai mereka turun dari mobil masuk ke kamar mereka, aku dan om Haris pun naik keatas kamar kami tentunya.

Bukannya berjalan beriringan, om Haris justru berjalan di belakang ku, setiap kali aku menoleh ia berhenti memberi senyum manisnya. Entah ada apa dengan suamiku ini, ia makin sweet saja.

Tiba kami di dalam kamar, aku masuk membersihkan diri sedikit sebelum bersiap untuk tidur.

Baru saja ku tarik selimut, tangan om Haris menelusup di bawah selimut lalu melingkar di perutku, dan menarikku lebih dekat kearahnya,. Di mana tangan satunya tak tinggal diam menyelinap di bawah leher ku menambah dekapan.

"Ibu titip salam sama kamu sama si kembar" ucapnya di telinga ku.

"Ibu datang?"

"Nggak, ibu telpon"

"Oh, salam balik yah sama ibu"

"Tami,.." panggilnya makin mengeratkan pelukannya.

"Jangan kencang-kencang mas, aku ke cekek"

"Mas pelan-pelan kok, ini otot-otot mas"

"Udah tau berotot jangan di eratin"

"Kamu lebih cerewet yah belakangan ini"

"Emang iya,. Yah udah aku kalem-kalem deh"

"Jangan, mas suka kok, jadi lebih banyak interaksi antara kita"

"Mas,." panggilku masih ia dekap

"Iya,"

"Cerita dong mantan istri mas dulu"
ia justru diam, bahkan hembusan nafasnya tak ku rasakan, dan pelukannya melonggar. "Kenapa mas?"

"Ayo tidur"

Aku merasa ada sesuatu dengan pernikahannya dulu, aku ingin tahu tapi ia seperti nya enggan memberi tahu.

"Mas udah tidur?"

"Hmm"

Aku berbalik menghadap pada nya, ku rasa ia belum tidur hanya enggan membuka mata, apa pertanyaan ku membahas istrinya dulu membuat ia marah atau bagaimana?.

"Mas marah sama aku?"

Perlahan ia membuka matanya. "Mas nggak punya alasan untuk marah sama kamu"

"Terus kenapa hening tiba-tiba, tadi ngajak ngomong"

"Mas ngantuk, kamu nggak ngantuk?"

"Nggak"

"Terus kita mau ngapain kalau nggak tidur"

Aku terdiam menatap nya, begitu sering ku tatap wajah om Haris memanglah tampan. Seperti yang di katakan Mila, wajar jika di masa dudanya ia banyak di dekati wanita dewasa bahkan ada yang masih pelajar. Ku akui suamiku memang tampan. Di tambah kelembutan sikap dan tutur katanya yang sopan, menambah nilai kesempurnaan wajar di idamkan.

"Kenapa kamu melihat mas begitu?"

Aku hanya tersenyum kecil makin terpesona akan paras dewasanya yang memukau. Ku dekatkan wajah mengecup pipinya yang berjambang beberapa saat lalu kembali ke bantalku masih menatapnya. Ia tersenyum menatap ku teduh lalu mengusap pipiku lembut, tatapan matanya seakan masuk kedalam jiwaku, apa aku...

Tiba-tiba om Haris menyambar bibirku, meski aku sedikit terkejut tak mengira ia akan membalas di bagian itu, tapi aku tetap tenang menerima dan membalas. Ia lalu menarik selimut menutup tubuh kami.


***

Ku tatap wajah om Haris di pagi hari ku membuka mata, wajahnya adem saat lagi tertidur.

"Bangun mas,"

Ia tersenyum mengangguk pelan. Lalu aku turun membersihkan diri lebih dulu lalu turun ke lantai bawah membangunkan kedua adikku, lanjut ku buat sarapan untuk mereka, roti panggang tapi dengan resep berbeda.

"Pagi mbak,.." sapa buk Ina bersama buk Sari, pak Kuji juga pak Ego menyusul di belakang.

"Ibu,.!"

Segera aku ke arah mereka dan ku peluk.

"Maaf mbak, mbak harus repot-repot" ucap buk Ina

"Nggak kok buk, maaf yah buk rumah berantakan"

"Nggak apa-apa mbak, itu memang tugas kami"

"Oh iya sarapan bareng dulu yah buk sebelum bekerja"

"Nggak usah mbak" tolak mereka tak enak mungkin. Tak ku hiraukan, ku paksa mereka berempat duduk, lagipula kursi meja makan ada 8, mejanya saja panjang.

"Pagi buk, pak," sapa om Haris menyusul.

"Pagi pak, maaf pak, mbak Tami memaksa kami ikut sarapan" sahut buk Ina di anggukkan yang lain.

"Nggak apa-apa, kan bagus kalau ramai-ramai begini"

Om Haris pun duduk di kursinya yang biasa.

"Kita bantu yah mbak" buk Sari hendak berdiri dari duduknya. Tapi lagi ku tolak, untuk pagi ini aku masih ingin melakukan peranku.

Ku layani mereka seperti mereka melayani ku dengan baik setiap harinya. Ku pastikan mereka menikmati apa yang ku siapkan sebelum aku pun ikut sarapan bersama.

"Silahkan, roti panggang buatan istri ku ini enak sekali lho" sahut om Haris memuji, ia menikmati lebih dulu dengan lahap.

"Pagi semua..!" seru Reza dan Rezi ikut bergabung, di peluknya mereka satu persatu.

Di meja makan panjang itu kami menikmati sarapan sembari bercerita, tak ada bawahan ataupun atasan, kami bercengkrama seperti sebuah keluarga.

Pengantin Pengganti MamahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang