Bab 32. Bimbang

20.3K 887 9
                                    

"Tami..!!"

Panggil Gino seraya melambaikan tangannya, ku percepat langkah ku melewati keramaian menghampiri nya.

"Gue pikir Lo nggak akan datang" sambungnya

"Kenapa harus di club sih?"

"Di mana lagi, Lo nggak mau ke festival terus mau kemana?"

Aku diam sejenak, aku hanya butuh ketenangan saat ini merenungkan apa yang sebenarnya ku inginkan.

"Ke taman pantai waktu itu aja yah" pintaku, Gino mengangguk menurut.

Dengan berboncengan, kami tiba di tujuan yang ku inginkan. Kami duduk di tempat yang sama seperti waktu itu, sama memandang laut malam yang gelap, aku tak bersuara begitu pun dia. Setelah keheningan hampir 15 menit lamanya Gino membuka suara.

"Suami Lo kapan pulang?"

"Sekitar lima hari lagi"

"Senang dong Lo bisa ketemu sama suami Lo lagi,. Tapi pertanyaannya Lo galau kenapa selama dua mingguan ini?"

Ku hela nafas berat hingga bahuku turun naik dengan jelas.

"Nggak ada apa-apa"

Kami kembali diam, sama-sama memandang ke depan. Karena tak berbuat apa-apa pun di sana, aku ingin pulang saja. Tapi Gino menahan ku dengan alasan kami baru tiba.

"Aku lagi nggak enak badan, aku mau istirahat"

"Ku antar"

"Nggak usah, aku naik taksi saja"

Ku tinggalkan Gino pulang lebih awal dari hari-hari biasanya kami pergi bersama.

Makin mendekat kepulangan om Haris, pikiran ku makin ruwet. Entahlah mungkin ini yang di namakan galau. Dan kali ini aku tak butuh apapun selain sendiri.

Tok! Tok! Tok!

"Mbak... Mbak belum makan dari kemarin, makan dulu yah mbak" seru buk Sari di depan pintu.

"Aku nggak lapar buk, nanti saja"

Aku hanya rebahan menatap langit-langit kamar.

"Tapi mbak, beberapa hari ini makan mbak tidak teratur, apa kata pak Haris nanti jika melihat mbak kurus, pak Haris nanti beranggapan kami tidak mengurus mbak" bujuk buk Ina

"Iya buk nanti saja"

Tak terdengar lagi suara di depan pintu, kembali keadaan sunyi hening.

Tin!

Ku raih ponselku melihat pesan dari siapa. Meski ku tahu itu tak mungkin om Haris, tapi barang kali dari keluarga ku, bisa juga dari keluarga om Haris.

"Ada film baru nonton yuk" pesan dari Gino

"Aku nggak mau kemana-mana"

"Nyesel nanti Lo, gue jemput"

"Tolong Gino aku lagi nggak mau kemana-mana"


Tak ada balasan lagi, ia pun meninggalkan percakapan.

Ku sandarkan kepalaku memejamkan mata mencoba untuk tidur. Meski tubuh ku rehat saat ini, tapi di dalam pikiranku selalu terbayang-bayang kemungkinan kedekatan om Haris dan mamahku selama di Bogor hingga akhirnya mereka ingin menikah. pasti banyak kenangan yang mereka lewati bersama.

Aku bangun dari tidurku menyudahi kebodohan ku yang terlalu baper tak jelas sebelum aku mencari tahu pada om Haris.

Ku tinggalkan kamar turun ke lantai bawah untuk mengambil segelas air minum.

"Mbak" panggil buk Ina, aku mengerjap menoleh.

"Iya buk"

"Ibu ingin bicara nak bisa?"

Tak biasanya buk Ina terlihat serius seperti ini, ada apa?, Mengapa semenjak aku mengetahui om Haris masih memikirkan mamahku, aku merasa semua seakan berubah bagi
ku.

Ku ikuti beliau ke ruang kerja om Haris, kami duduk di atas sofa. Kini ku lihat buk Ina bersikap seperti nenek ku, ku rasa apa pun yang ingin beliau sampaikan pasti hal yang serius.

"Nak,."

Beliau menggenggam tanganku sama seperti nenek ku.

"Iya buk"

"Kamu ada hubungan apa dengan den Gino?"

"Nggak ada buk"

Beliau tersenyum. "Ibu percaya" balasnya.

"Apa maksud ibu?"

"Hingga kini ibu masih melihat cinta dimatamu untuk suami mu, tapi mulai goyah entah karena apa, ibu melihat kamu seperti menanggung sesuatu seorang diri dan mulai kehilangan arah karena hal itu. Ada apa nak? Tolong cerita pada ibu, ibu tidak mau hubungan kalian rusak nak, ibu menyayangi kalian dan ibu tidak mau sesuatu merusak pernikahan kalian"

Air mata ku terjatuh menatap buk Ina. Hal ini yang ku inginkan, seseorang yang mengerti keadaan ku, dan siap memberikan pengajaran, yang mana tak ku dapat kan saat bersama Gino menghibur diri.

"Ada apa nak,? Bicara pada ibu?"

"Buk, mas Haris nggak mencintai ku buk" cicitku tersedu-sedu.

"Tidak nak, pak Haris mencintai mu, ibu bisa melihat itu, itu sangat jelas di mata dan setiap geraknya"

"Nggak buk, itu karena mas Haris menganggap ku sebagai mamahku"

"Apa maksudnya?"

"Ibu tahu kenapa kami bisa menikah?" buk Ina menggeleng. "Aku hanya pengantin pengganti mamah ku yang telah meninggal, seharusnya yang menikah dengan mas Haris itu mamah ku"

Buk Ina menatapku tercengang, tampaknya beliau tak mengetahui fakta tersebut.

"Kami menikah setelah mas Haris menyetujui beberapa persyaratan dariku. Aku bersedia menggantikan mamahku dengan imbalan mas Haris harus menerima kedua adikku dan menyayanginya seperti adiknya sendiri, dengan begitu aku berjanji akan berbakti padanya"

Buk Ina masih terdiam, hanya matanya yang berkedip-kedip mencerna ucapan ku. Beliau pasti syok mengetahui fakta di balik pernikahan ku bersama om Haris.

"Tapi ibu melihat cinta di matamu nak setiap kali bersama pak Haris"

"Iya buk, perjodohan dadakan itu pada akhirnya membuatku mencintai mas Haris"

"Pak Haris juga begitu nak"

"Itu karena mas Haris menganggap ku mamahku,. Hari di mana mas Haris akan pergi selama tiga minggu, aku mendapati mas Haris menangis menatap foto mamah ku. Mas Haris masih memikirkan mamah ku buk"

Rasa-rasanya aku hampir kesulitan bernafas karena tangis yang sekian tak berkesudahan.

"Tapi selama ini perhatian pak Haris pada mu...

"Karena itu perjanjian sebelum kami menikah, dan mungkin karena mas Haris... Kasihan pada ku juga pada kedua adik ku"

Buk Ina memelukku hingga menangis tersedu-sedu, begitu pun aku yang sedari tadi menangis rasanya aku kesulitan bernafas.

Pengantin Pengganti MamahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang