Bab 66. Dilema

24K 949 31
                                    

Dua hari berlalu kontrakan yang om Haris huni masih tertutup rapat. Tak biasanya ia tak ada di teras depan mengawasi kontrakan ku. Aku mulai khawatir ia kenapa-napa di dalam sana seorang diri. Ku putuskan mendatangi kontrakannya.

Tok! Tok! Tok!

Tak ada tanggapan, ku rasa ia telah pergi tanpa ku tahu, aku berbalik hendak pergi saja.

"Uhhuk.. uhhuk.."

Aku kembali menoleh mendengar suara batuk terdengar samar-samar dari dalam, aku makin khawatir dengan om Haris. Tanpa mengetuk lagi ku raih gagang pintu dan memutarnya. Pintunya tak terkunci.

Aku masuk perlahan sembari melihat-lihat, kontrakan itu kosong sama sekali tak ada isinya kecuali perlengkapan tidur di ruang tamu tapi tak ada om Haris kecuali tempat tidurnya yang kusut.

"Uhhuk.. uhhuk.."

Lagi aku mendengar suara batuk dari arah belakang, aku bergerak mengikuti suara itu.

"Mas,.."

Seraya aku mencari keberadaan nya. Dan aku mendapatinya di dapur tengah menenggak segelas air putih, ia menoleh menatap ku, wajahnya tampak pucat juga matanya terlihat sayu.

"Mas nggak apa-apa?"

Ia berdiri dari duduknya mendekati ku, tatapannya tak pernah luput dari menatapku. Tiba kami berhadapan, ku angkat tanganku menyentuh dahinya.

"Ya ampun dahi mas panas banget"

Aku benar-benar khawatir akan keadaanya, ia masih sama menatap ku terdiam. Ku lihat keadaan dapurnya sama seperti ruangan lainnya kosong, hanya ada panci untuk memasak air, selebihnya untuk makannya hanya ada mie instan cup. Selama ini ia mungkin hanya mengonsumsi mie instan.

"Tami,." panggilnya lesu memelukku, menyandarkan tubuhnya padaku.

"Mas nggak apa-apa?"

"Pulang yah"

Tubuhnya makin terasa berat memelukku sama seperti dulu saat aku yang tak sanggup lagi menahan diri dan aku pingsan di dalam pelukannya.

"Mas,. Mas Haris,."

Ku goyang-goyangkan tubuhnya ia tak menanggapi. Aku memapah nya keluar dari kontrakan.

"TOLONG....!!"

Para tetangga menanggapi teriakan ku. Mereka membantuku membawa om Haris ke rumah sakit terdekat dengan menggunakan bentor.

"Mas,. Mas,. Bangun, buka matamu"

Aku benar-benar khawatir ia tak merespons, dan tubuhnya makin lemas juga terasa dingin, sedangakan dahinya panas di tambah ia terlihat pucat.

Dengan di bantu sopir bentor ku bawa ia masuk kedalam rumah sakit dan meninggalkan ia di tangan dokter.

Saat ia di tangani tenaga ahli, ku hubungi buk Ina memberitahukan keadaannya. Tak lama berselang buk Ina bersama pak Kuji pun datang.

"Kok pak Haris bisa begini mbak?" tanya buk Ina

"Aku juga nggak tau buk, selama dua hari mas Haris nggak pernah keluar kontrakannya. Saat ku datangi keadaannya begini"

Buk Ina menyentuh kedua tanganku.

"Pulang yah nak, pak Haris nggak akan meninggalkan kontrakan itu sebelum mbak pulang"

"Tapi buk..

"Pak Haris sangat menyesali sikapnya, pak Haris bersumpah kalau mbak nggak pulang pak Haris juga demikian"

Apa salah jika sakit masih terbesit di hatiku, aku pun ingin kembali padanya dan pada pernikahan kami, tapi sakit hati yang kurasakan membuatku ragu untuk kembali bersama.

Pengantin Pengganti MamahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang