Begitu aku sadar, aku telah berbaring di atas tempat tidur di dalam kamar. Ku lihat samar-samar ada banyak wajah menatapku.
"Kamu tidak apa-apa?"
Suara itu terdengar khawatir seraya mengusap pipiku. Mataku mulai jelas melihat, itu om Haris. Aku senang mendengar ia bertanya keadaanku, ia masih perduli padaku.
"Gino, Gino, dimana dia? Usir dia mas" pintaku lirih, rasanya kepalaku kembali pusing mengingat nama pembohong itu.
"Tenang, tenang yah" bujuknya.
Rasanya pikiranku kacau, aku takut kehadirannya akan terus mencuci pikiran om Haris makin tak mempercayai ku.
"Dia sudah pergi, dia tidak ada di sini"
"Mas tolong, jangan bawa Gino kesini lagi" aku memelas menangis mencengkram kerah bajunya yang berusaha menenangkan ku.
"Iya, iya, tenang yah"
Aku bangun duduk mengatur nafasku yang sesak, aku merasa semua yang ku rasakan menguras emosiku juga energi ku. Aku ingat aku belum makan sedari kemarin, juga tujuanku turun untuk mengisi perut yang lapar. Ku usap perutku kasihan akan anakku, aku sudah mencoba membunuhnya, dan aku belum memberinya makan apapun.
"Ada apa? Perut mu sakit?" tanya Om Haris
"Aku lapar mas, aku belum makan apapun"
"Buk, siapkan makan" titah nya dan membantuku turun ke lantai bawah.
"Kamu nggak apa-apa? Tanganmu gemetar"
"Aku lapar mas"
"Sini, kau bisa jatuh nanti di tangga" ia membopongku menuruni anak tangga, membopongku hingga ke dapur di ikuti kedua adikku di belakang.
Aku tahu, aku bisa merasakannya, om Haris masih mencintaiku, ia juga mulai bisa menerima anaknya meski belum menganggapnya, tapi kehadiran Gino membuat keraguannya kembali. Entah apa tujuannya Gino berbohong mengakui anak om Haris sebagai anaknya, sedangkan kami tak pernah melakukan sesuatu yang tidak-tidak.
"Ayo di makan" om Haris mengambilkan nasi juga lauk-pauk ke piring ku, lalu duduk di samping ku.
"Aku nggak mau ini mas"
Buk Ina mendekatiku. "Mbak mau makan apa? Katakan saja apa yang mau anak mbak makan?"
"Saya mau makan sop buah buk"
"Malam-malam begini, tidak ada yang jual lagi" pekik om Haris nampak keheranan, tapi tidak dengan buk Ina juga buk Sari, ku rasa mereka mengerti akan keinginan ku, karena mereka pasti pernah melalui nya.
"Tidak apa pak, biar kami buatkan, kebetulan ada buah juga, sebentar yah mbak"
Aku mengangguk tetap duduk di tempat ku tak sabar ingin sekali menikmati sop buah. Kepala ku bergerak ke sana sini penasaran melihat buk InSar sibuk menyiapkan apa yang ku inginkan.
"Sebaiknya makan nasi dulu" bujuk om Haris aku menggeleng. "Kamu belum makan nasi sudah mau makan es, kasihan anakmu, makan dulu yah sedikit"
"Nggak mas, aku nggak mau makan apapun selain sop buah"
Ia tak perduli, ia menyendok kan nasi ke mulut ku, kalau begini bagaimana cara ku menolak.
"Buka mulutmu"
Aku tak ingin mengecewakannya, aku bersyukur ia masih perduli padaku juga pada anakku. Terpaksa ku buka mulutku menerima suapannya dan mecoba menguyah nya.
"Uuwweek..."
Segera aku berlari ke wastafel dapur memuntahkan nasi yang baru ku santap.
"Maaf pak, ibu hamil itu ngidamnya biasa aneh-aneh, tolong di maklumi" terang buk Sari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti Mamah
RomanceBukannya menjadi anak tiri, aku justru menjadi istri bagi calon ayah tiriku.