Tak terasa tiga hari lagi om Haris akan pulang. Bagaimana aku bersikap nanti padanya, apa aku berpura-pura saja tak tahu ia pernah tertangkap basah menangis menatap foto mamahku?, atau ku tanyakan bagaimana sebenarnya perasaannya padaku?.
"Hahhh..."
Kembali aku berbaring, hanya itu yang bisa ku lakukan saat ini.
Cring....!!!
Ku raih ponselku melihat siapa si penelepon lalu ku letakkan kembali melihat itu Gino, aku hanya ingin sendiri saja.
Tin!
"Bisa ketemu? Ini mungkin terakhir kalinya, gue mau pergi"
Hah! Gino akan pergi, mendadak.
"Di mana?"
Sekaligus aku ingin berpamitan, juga ingin mengucapkan terima kasih. Selama om Haris tak ada bersamaku dia selalu menemani ku.
"Di apartemen gue"
Aku segera bangun dari tidurku bersiap-siap ke apartemen Gino.
"Buk..." buk Ina segera memenuhi panggilan ku. "Aku keluar dulu yah buk" ekspresi wajah buk Ina seketika tegang. "hanya sebentar buk, Gino akan pergi, aku cuma mau berpamitan"
Buk Ina mengangguk terlihat terpaksa.
"Mbak mau kemana,?" Tanya pak Kuji mengikutiku hingga ke pintu gerbang.
"Ada urusan sebentar pak"
"Biar bapak antar yah mbak"
"Nggak usah pak"
"Tidak mbak, apa kata pak Haris nanti jika tahu saya tidak pernah mengantar mbak"
"Mas Haris nggak perlu tahu pak, saya hanya sebentar"
Ku teruskan langkahku ke taksi yang telah tiba, tak memperdulikan panggilan pak Kuji.
Tok! Tok! Tok!
Ketukan ku layangkan bertubi-tubi ke daun pintu apartemen Gino yang masih tertutup rapat. Langkah ku tak tenang.
Cklet..
"Kamu benar mau pergi?" tanya ku begitu Gino membukakan pintu.
"Ayo masuk dulu"
Aku pun masuk kedalam apartemen Gino, ku lihat sebuah ransel teriris penuh di atas sofa, tampak nya Gino benar-benar akan pergi, bahkan saat hubungan nya dengan ayahnya belum membaik.
"Benar kamu..."
Ucapanku terpotong sesaat aku berbalik Gino memelukku.
"Terima kasih atas waktu Lo buat gue selama dua minggu ini, gue nggak pernah punya alasan buat balik lagi ke sini, tapi kehadiran Lo buat gue berpikir sering-sering pulang"
"Ap-apa?"
Gino menguraikan pelukan, menangkup kedua pipiku, menatapku dekat.
"Gue suka sama Lo Tami"
Aku tergemap mendengar ucapan Gino itu. Bukan ini yang ku harapkan dari pertemanan kami. Datu-satunya cinta yang ku harapkan hanya dari om Haris suamiku.
"Gue tau Lo masih cinta sama suami Lo itu, gue ngerti, tapi Lo juga nggak bisa halangin gue buat suka sama Lo"
Aku mulai takut sekarang, sekalipun om Haris tak mencintai ku, tapi tak ada niatku untuk selingkuh darinya, apa lagi dengan anaknya sendiri.
"Gi-Gino, ini salah," aku mengikis jarak darinya.
"Gue tahu dan gue nggak perduli"
"Tapi aku istri ayahmu"
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti Mamah
RomansaBukannya menjadi anak tiri, aku justru menjadi istri bagi calon ayah tiriku.