Bab 47. Masih Menolak Anaknya

21.1K 764 14
                                    

Aku menangis hebat di tempat ku hingga tersungkur ke lantai, aku yakin betul anak yang ku kandung adalah anak om Haris, selama menjadi istrinya aku tak pernah genit pada pria lain, apa lagi sampai melakukan hal yang tidak-tidak.


"Kak..."

Panggil kedua adikku mendekati ku, mereka memeluk ku membujukku tenang, bahkan mereka geram pada om Haris. Buk Ina juga buk Sari mendekatiku.

"Buk, ini anak mas Haris" ucapku pada mereka.

"Iya mbak, kami percaya, kami percaya itu anak pak Haris"

Ku peluk mereka kembali menumpahkan air mataku, aku bersyukur mereka mempercayai ku dan meyakini anak yang ku kandung adalah anak om Haris.

"Tenang yah mbak, pikirkan anak mbak, dia pasti merasakan apa yang mbak rasakan saat ini" bujuk buk Ina, ia pun tak hentinya menangis sedari tadi.

"Bagaimana aku bisa tenang buk saat mas Haris salah paham pada ku"

"Biarkan pak Haris tenang dulu, mungkin pak Haris masih tidak menyangka dengan mukjizat ini, biarkan beliau tenang dulu sehingga bisa berpikir lebih baik"

Aku berusaha untuk tenang pula, aku juga tak mau terus bersedih dan marah, rasanya perut ku sakit sekali saat aku tak bisa mengontrol emosiku.

Ku minta kedua adikku ke kamar mereka beristirahat dan tak perlu mengkhawatirkan diriku. Aku ke lantai menyusul om Haris.

Tiba di depan pintu aku tak segera membukanya, kembali kesedihan menggelayuti hatiku mengingat penolakan om Haris tadi untuk mengakui anaknya.

Cklet..

Ku lihat kamar kosong tak ada ia di dalam. Aku bergerak ke arah balkon kamar mendapatinya berdiri di depan pagar sembari merokok berkali-kali mengacak-acak rambutnya hingga memukul pagar pembatas.

Aku sangat mengharapkan seorang anak untuk melengkapi kebahagiaan kami, tapi justru hubungan kami renggang karena hadirnya seorang anak.

Ku dekati ia, memeluknya dari belakang, aku tak berucap, aku hanya ingin ia merasakan kejujuran ku dan bisa merasakan ini anaknya.

Ia tak membalas ataupun sekedar berkata sepatah katapun, ia terus diam menikmati rokoknya tak mengindahkan ku.

"Mas,." ia tak menjawab, sekali lagi ia bersikap cuek. "Mas, ini anak kamu" lagi air mata ku terjun bebas tak tertahankan.

"Istirahat lah, kasihan anakmu" balasnya tanpa menoleh.

"Kita istirahat yah"

"Nggak, kamu saja istirahat, jangan pikirkan aku, aku bisa istirahat sendiri"

Ia masih keras hati tak menganggap ini anaknya, bahkan ia berbicara tak dengan kalimat mas, tapi aku, apa secepat itu cintanya padaku hilang. Ku lepaskan pelukanku meninggalkan ia seorang diri. Ku putuskan beristirahat saja, perutku rasanya sakit sekali terus menangis.

Saat mataku kian berat, ku lihat ia keluar dari kamar.



***

Pagi menjelang aku terbangun, ku putar tubuhku melihat tak ada om Haris berbaring di samping ku, ia tak kembali saat keluar tadi malam.
Aku pun turun ke lantai bawah untuk mencarinya.

"Mbak,." panggil buk Ina

"Lihat mas Haris nggak buk?"

"Pak Haris belum turun, memang pak Haris tidak bersama mbak tadi malam?" aku menggeleng, mataku kembali berembun. "Sabar nak, pikir kan anak mu, kasihan kalau terus merasakan ibunya menangis"

Pengantin Pengganti MamahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang