"Kamu nggak apa-apa?"
Tanya om Haris sekali lagi memastikan keadaanku. Kami telah berpindah ke dalam mobil bersiap untuk pulang ke rumah.
"Nggak mas"
"Kamu kelihatan lemas" seraya ia mengusap puncak kepalaku. "Perutmu masih sakit?"
"Sudah nggak terlalu, hanya badanku rasanya benar-benar lemas, mataku berat sekali"
"Mungkin itu pengaruh atas apa yang dokter aborsi itu berikan padamu. Tapi kamu benar-benar nggak apa-apa kan?"
Aku menoleh menatap nya, ku lihat ia sangat mengkhawatirkan diriku. Ku angkat tangan ku menyentuh pipinya.
"Nggak apa-apa kalau mas nggak percaya ini anak mas, tapi jangan pula beranggapan ini anak orang lain, aku bersumpah mas, aku nggak pernah melakukan hubungan lain di belakang mu apa lagi sampai mengkhianatimu"
Ku dekat kan wajahku mengecup dahinya lama, saat ku lepas kecupan ku ia tertunduk.
"Mas masih mencintai ku kan?"
Ia mengangguk berkali-kali lalu mengangkat wajahnya. Ia pun mengusap pipiku.
"Aku sangat mencintaimu Tami"
"Cium aku mas, aku merindukanmu"
Tanpa berpikir lama ia mengangkat ku ke atas pangkuannya, mempertemukan bibir kami seperti biasa kami melakukannya,. Tak kurasakan kemarahan ataupun kecewa, ia benar-benar suamiku.
"Perutmu nggak apa-apa?"
Lagi ia menanyakan hal itu, tanpa ia sadari sebenarnya ia perhatian pada anaknya. Mungkin logikanya masih belum bisa menerima, tapi hatinya pasti terbesit ada rasa sayang pada darah dagingnya.
"Nggak, dia sudah lebih baik setelah mendengar perhatian mas padanya"
Ia terdiam menatapku, matanya bergetar berkaca-kaca, dahinya mengkerut menatap ku sayu. Aku yakin iapun bisa merasakan ini anaknya, hanya ia masih bingung menerima kenyataan dirinya yang tak subur.
Aku kembali duduk ke kursiku membiarkan ia melajukan mobilnya.
"Kamu benar-benar membuatku khawatir Tami, apa yang kau pikirkan melakukan itu?"
"Mengembalikan kepercayaan mu"
"Yang ada kau membunuh anak yang nggak berdosa, juga menyakiti dirimu sendiri"
Aku termenung menyesali tindakan kejam ku pada darah dagingku sendiri, karena kecewa akan penolakan om Haris, aku hampir membunuh buah cinta kami.
"Dokter aborsi itu nggak menyentuh mu sedikitpun kan? Alatnya belum ada yang menggapai bayi itu kan?"
"Nggak mas, hanya tadi di rumas sakit perut ku rasanya seperti di aduk-aduk sakit sekali, bahkan tadi di dalam mobil entah aku sadar atau tidak tapi aku melihat papah dan mamahku tersenyum padaku, aku mendekat bersama seorang bayi di gendonganku.."
Air mata ku bercucuran mengingat pertemuan singkat dengan kedua orang tuaku yang telah meninggal, om Haris menggenggam tanganku erat, ku dengar ia menangis kecil. Aku menoleh kearahnya, benar ia menangis.
"Aku bilang pada orang tuaku ingin ikut dengan mereka, tapi mereka menggeleng, justru mendorong ku menjauh bersama anak ku, mereka terus mendorong ku hingga keluar dari cahaya. Lalu aku sadar aku telah terbaring di atas ranjang perawatan"
"Orang tuamu pun nggak mau kau meninggalkanku" sahutnya.
"Mas nggak mau aku pergi?"
"AKU SANGAT MENCINTAIMU TAMI!! BAGAIMANA AKU SIAP KEHILANGANMU!! Selama tiga minggu saja tanpamu, tanpa suara mu, rasanya aku akan gila! Bagaimana aku bisa siap kau meninggalkanku selamanya!"
Bentakannya di sertai tangisan kecil membuat ku tersenyum, ia sangat mencintai ku tapi juga bingung untuk menerima anaknya, Tidak apa mas, aku akan terus berusaha meyakinkan mu ini anak kita.
Sesampainya di rumah buk Ina bersama buk Sari segera menghampiri ku sesaat aku turun dari mobil, mereka menangis memeluk ku. Kagi aku membuat mereka khawatir karena ulahku.
"Maaf buk" hanya itu yang bisa ku katakan untuk menghilangkan kesedihan mereka.
"Istirahat yah nak"
"Iya buk"
Om Haris membawaku ke atas kamar kami, ia membantuku berbaring.
Ia terus di samping ku seraya mengusap kepala ku. Ku gapai tangannya meletakkan ke atas perut ku, ia terdiam tak menggerakkan tangannya tak pula menarik tangannya."Meskipun mas belum percaya ini anak mas, tapi jangan pula membayangkan orang lain sebagai ayahnya yah"
Ia mengangguk lalu menurunkan tubuhnya berbaring di sampingku, ku putar tubuhku memeluknya.
"Maaf, mas belum bisa menerima anak itu" ucapnya lirih, membuat ku hanya bisa membuang nafas harus bersabar.
"Iya mas nggak apa-apa, asal mas nggak berubah padaku yah"
Kembali ia mengangguk, kami pun memejamkan mata menikmati tidur siang bersama yang jarang kami lakukan berdua.
Bangun-bangunku tak mendapatinya, Apa ia di ruang kerjanya atau ke hotel aku yak tahu. Ku putuskan membersihkan diri saja dulu agar lebih segar. Setelah mandi aku merasa lapar, entah mengapa semenjak om Haris salah paham padaku rasanya aku kehilangan nafsu makan, tapi kali ini aku benar-benar lapar, aku belum makan apapun.
Aku turun ke lantai bawah hendak ke dapur, ku lihat om Haris berada di ruang tamu dengan seseorang, tampaknya ia kedatangan tamu, aku mendekat penasaran siapa tamunya.
"Mas,."
Ia mengangkat mengedarkan pandangan menatapku, membuat tamunya berbalik.
"Gino!"
Gino berdiri segera menghampiri ku, anehnya om Haris diam saja di tempatnya menatap ku sedih.
"Aku bahagia mendengar kamu hamil Tami" ujar Gino di hadapan ku, dengan raut wajah bahagia. "Bagaimana keadaan anak kita?"
Hah! Anak kita! Apa maksudnya.
Ku dorong ia dari hadapanku. "INI BUKAN ANAKMU!!"
Ku lewati Gino mendekati om Haris yang hanya duduk berdiam diri di tempatnya, tak melakukan apa-apa untuk menahan anaknya yang mengatakan kebohongan.
"Mas! Kenapa mas membiarkan Gino masuk!? Usir dia mas!"
"Aku yang memintanya"
"Untuk apa mas!?"
"Untuk bertanya apa saja yang kalian lakukan"
"Mas! Kamu tahu bagaimana hubungan mu dengannya! Kamu juga tahu bagaimana perasaannya padaku! Dia mengatakan kebohongan mas!"
"Dia menjelaskan semuanya hubungan kalian yang sebenarnya yang kamu tutup-tutupi Tami, aku benar-benar kecewa"
"Apa yang kamu kecewakan mas!? Mas membodohi diri mas sendiri! Mas curiga padanya dan mengundangnya datang mengatakan kebohongan!"
"KARENA KAMU NGGAK MAU JUJUR!!"
"AKU SUDAH JUJUR!! MAS YANG NGGAK PERCAYA!!"
"Bagaimana aku bisa percaya kalau aku mand..." ucapannya terpotong di situ.
"Seharusnya mas nggak menghalangiku menggugurkannya!! BUNUH SAJA ANAKKU MAS BIAR KAMU PUAS!!"
Aku benar-benar geram sangat geram hingga rasanya aku kesulitan bernafas.
"Tami, tenanglah, pikirkan anak kita" bujuk Gino berbohong mendekati ku.
"INI BUKAN ANAKMU BRENGSEK!!" lalu ku tatap om Haris yang hanya terus bersedih dan menyalahkan ku saja. "Dan kamu mas" tunjuk ku mengetatkan rahangku. "Kalau mas nggak mau mengakui ini anak mas nggak apa, tapi jangan pernah membawa orang lain sebagai ayahnya!"
Ku tinggalkan mereka berdua, ku tatap mereka nyalang, benar-benar marah juga kecewa yang ku rasakan mengendalikan diriku.
"Aku akan menjadi orang tua tunggal untuk anakku? Aku nggak butuh ayah bohongan atau ayah kandungnya! Akan ku besarkan anakku seorang diri!"
Dan saat aku berbalik rasanya tubuh ku sangat lemas, juga pandangan ku gelap, aku tersungkur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pengantin Pengganti Mamah
RomanceBukannya menjadi anak tiri, aku justru menjadi istri bagi calon ayah tiriku.